Ramai nian orang berbincang di  sudut-sudut perkumpulan. Tidak secara khusus mengulas isu pandemi melainkan liburnya anak sekolah yang berbeda di setiap institusi. Khalayak belum fokus pada apa yang sebenarnya terjadi dan harus bagaimana.menyikapi Kerumuan pasar, aktivitas sekolah, dan jamaah di tempat ibadah masih riuh sebagaimana biasa. Di beberapa lembaga pendidikan belum mengambill kebijakan yang sama perihal keberlangsungan pembelajaran . Di tempatku bekerja ujian bertaraf nasionalpun tetap berlangsung selama tiga hari dengan pengawas ujian silang penuh. Suasana masih kondusif.
Geliat songsong dan sukseskan UNBK masih bergema. Banner-baneer motivasi ujian terpancang di halaman utama. Ujian Nasional adalah Marwah. Harga Diri, dan Wajah Madrasah, semangat menjemput tidakdir dengan usaha termaksimal. Sampai pada masa pembelajaran dialihkan dari face to face meeting  ke online. Siswa pun stay at home, daring e-learning.
Asumsi tetap tergelarnya UNBK sebagai rangkaian dari proses belajar yang sudah terjalani tidak terpngaruh adanya isu peniadaan ujian. Media sosial gencar melangsir pemimpin negara memaklumatkan UNBK ditiadakan. Lembaga pendidikan menanti instruksi resmi.Tidak dinyana, penghapusan ujian terwujud setahun lebih awal dari yang direncanakan menteri pendidikan dan kebudayaan RI 2020. Siswa pun ria. Himpitan gunung es serasa mencair seketika. Laiknya ujian adalah penjara bagi siswa.
Tidak terselenggaranya UNBK berdampak pada menurunnya daya belajar siswa. Tradisi belajar saat ujian masih membumi. Menafikan akademik mengedepankan skill berujung pada dilema. Malas membaca. Literasi belum menjadi budaya. Alhasil penguasaan konsep atau teori lemah. Jika dirunut alur belajar dimulai dari membaca. Membaca adalah merambah dan meramu ilmu. Membaca seharusnya disikapi sebagai olahraga otak, memfungsikan saraf benak. Asupan atau dasar dari skill yang dijalani. Jika membaca masih menjadi beban bagi pelajar maka bisa ditebak yang pelajar lakukan atas dasar feeling. Keluasan berpikir dan kebijakan tindakan sangat dipengaruhi oleh ilmu.
Bagaimanapun juga pembelajaran online mengisahkan masalah tidak bersolusi. Lemahnya sinyal internet, Â rentannya pemadaman listrik di daerah pegunungan, kepemilikan ponsel yang belum merata, daya beli pulsa yang relatif rendah, belum lagi minat belajar online siswa belum menunjukkan keseriusan. Dibuktikan dengan pengumpulan tugas online yang masih mencapai 75% dari total siswa yang diampu.
Pembelajaran online di masa pandemi bisa dimaknai sebagai awal mengenalkan moto "Merdeka Belajar, Guru Penggerak" Uji coba formula baru dalam interaksi belajar mengajar antara guru dan siswa. Nuansa kelaa diganti dengan rumah sebagai sentra belajar dengan orang tua sebagai pengomtrol belajar anak. Rasa nyaman home sweet home akan berdampak pada hasil belajar optimal. Keterbukaan siswa untuk memahami materi online, dengan berani bertanya, berinovasi merupakan langkah pembentukan karakter  berani, mandiri, berkompetensi, serta santun. Setidaknya angka partisipasi belajar siswa sebesar 75% sudah bisa dikatakan berhasil dalam proses belajar mengajar online.
April 2020
Covid 19, coronavirus disease. Istilah medis  yang merebak dan langsung viral. Respon panik mulai tampak. Borong sembako selama lockdown, sosial distancing, dan pemblokiran tempat berkerumunnya massa. Trend setter berubah haluan, cuci tangan jadi keharusan, pemakaian masker menjadi imbauan nasional BNPN (Badan Nasional Penanggulan Bencana), dan PSBB  (Pembatasan Sosial Berskala Besar) memiliki dasar hukum PP nomor 21/2020.
Bilik-bilik hand wash yang didirikan secara mandiri mennjukkan jika msyarakat peduli pandemi. Ritual cuci tangan pun menjadi pemandangan sehari-hari. Pandemi tidak selalu berdampak buruk, nyatanya kesadaran akan bersih diri tumbuh pesat saat ini.
 Satu bulan berselang setelah imbauan lockdown, warga mulai terdampak secara psikis. Tidak semata-mata karena virus corona tapi lebih pada dampak ekonomi. Secara geografis, desa tempat tinggalku sangat strategis, 1 km dari pusat kota. Luas desa 129,245  ha yang kurang lebih wilayahnya merupakan tanah kering, cenderung minus alias kurang subur. Hanya 5% dari luas wilayah yang dijadikan lahan pertanian intensif. 242 dari 1.696   kepala keluarga terklasifikasikan miskin. 64,85 % merupakan penduduk usia produktif. Dilema, bantuan dari pemerintah provinsi tidak bisa menjangkau semua lini masyarakat yang membutuhkan.
Sektor swasta yang bergerak di bidang barang dan jasa kembang kempis karena daya beli menurun. Aneka toko pracangan, palen, konveksi, maupun jasa cuci mobil, tegel, cukur tidak seramai biasanya. Sektor usaha mengencangkan ikat pinggang dengan cara meliburkan sebagaian karyawan. Ekonomi bergerak statis.