Bilik-bilik hand wash yang didirikan secara mandiri mennjukkan jika msyarakat peduli pandemi. Ritual cuci tangan pun menjadi pemandangan sehari-hari. Pandemi tidak selalu berdampak buruk, nyatanya kesadaran akan bersih diri tumbuh pesat saat ini.
Satu bulan berselang setelah imbauan lockdown, warga mulai terdampak secara psikis. Tidak semata-mata karena virus corona tapi lebih pada dampak ekonomi. Secara geografis, desa tempat tinggalku sangat strategis, 1 km dari pusat kota. Luas desa 129,245 Â ha yang kurang lebih wilayahnya merupakan tanah kering, cenderung minus alias kurang subur. Hanya 5% dari luas wilayah yang dijadikan lahan pertanian intensif. 242 dari 1.696 Â Â kepala keluarga terklasifikasikan miskin. 64,85 % merupakan penduduk usia produktif. Dilema, bantuan dari pemerintah provinsi tidak bisa menjangkau semua lini masyarakat yang membutuhkan.
Sektor swasta yang bergerak di bidang barang dan jasa kembang kempis karena daya beli menurun. Aneka toko pracangan, palen, konveksi, maupun jasa cuci mobil, tegel, cukur tidak seramai biasanya. Sektor usaha mengencangkan ikat pinggang dengan cara meliburkan sebagaian karyawan. Ekonomi bergerak statis.
Berbanding terbalik dengan aktivitas anak muda yang sepertinya tidak berpengaruh pandemi. Hingar bingar sound sistem saat sahur dengan dangdut koplo sebagai aliran musiknya menandakan generasi always happy fun.Â
Sementara poskamling di tiap RT memegang peranan penting menghalau maling. Maling yang bergerak serentak di tiga desa berbeda. Nasib para maling pun beragam, ada yang berhasil meloloskan diri dan ada yang babak belur di massa. Penutupan jalan pada jam malam  di gang-gang desa menjadi pemandangan yang familiar. Semuanya untuk waspada corona. Satu ikhtiar untuk kebaikan bersama.
Konklusi Mei 2020
Tugas kemanusiaan yang bisa kita emban adalah menjaga kesehatan mental masing-masing agar imun tubuh tetap terjaga, dengan cara memperlakukan diri sendiri dengan bijak. Berjemur, menanam pohon, sayur, atau pun buah. Memanfaatkan pengaruh kuat antara alam dan kesehatan tubuh untuk memunculkan kebahagiaan. Secara teori manusia mengalami tiga dimensi yaitu ancaman, dorongan, dan kepuasaan. Setiap dimensi membawa perasaan dan motivasi yang berbeda, di antaranya kecemasan, kegembiraan, dan ketenangan. Jika respon ancaman akan pandemi berlebihan maka imun tubuh terganggu. Back to religion, solusi tanpa kompromi.
Ramadan 1441 H adalah momentum untuk mawas diri untul tidak saling memaki, saling berbagi bagi yang terdampak secara ekonomi akibat pandemi.MUI mengeluarkan fatwa Nomor 23 Tahun 2020 tentang zakat, infaq dan sedekah dapat dimanfaatkan secara optimal dalam mengatasi masalah yang ditimbulkan oleh wabah. Termasuk masalah kelangkaan APD, masker, kebutuhan pokok masyarakat. Ramadan merupakan ibadah yang memiliki dampak sosial yakni berbagi dan bagi pribadi berlatih menahan diri.Ramadan sebagaimana makna harfiah panas yang menghanguskan akan meleburkan khilaf manusia dan mengenyahkan wabah.
Memadumadankan antara tauhid dan ilmiah populer membutuhkan kebijakan berpikir. Agama adalah sumber solusi yang tidak habis untuk terus digali kebenaran hakikatnya. Pikiran-pikiran liar mengembara mencari celah bahwa tidak ada akibat tanpa sebab yang pasti. Mencari jawab atas pandemi sebagai solusi manusiawi. Manusia sebagai makhluk harus terus dalam posisi sadar memahami bahwasanya yang terjadi adalah rangkaian dari skenarioNya. Manusia harus berpikir ulang atas kesewenangannya memperlakukan alam yang berakibat ketidakseimbangan. Alam tidak pernah menghukum. Alam hanyalah perespon bijak dari hukum kausalitas.
Tidak ada penyakit yang tidak ada obatnya. Tidak ada masalah yang tidak ada solusinya. Sebagaimana pandemi-pandemi yang pernah melanda dunia sebelum corona sirna seiring berjalannya waktu. Semua ada masanya. Insha Allah.
Pertengahan Maret 2020