Mohon tunggu...
Nanik Sulistiani
Nanik Sulistiani Mohon Tunggu... Guru - BIRUL WALIDAIN

Nanik Sulistiani lahir di Surabaya. Pembina ekstrakurikuler KIR dan Jurnalistik sekaligus pemimpin redaksi majalah madrasah Asmaa ul Husna. Karya Nanik Sulistiani dan peserta didik MTsN 4 Blitar berbentuk buku dan ber-ISBN: 1. Antologi Puisi Boom, Membuncah Asaku, 2. Antologi Cerpen Untukmu, Ibu. 3. Kumpulan KIR Siswa MTsN 4 Blitar Prestasiku adalah Ibadahku 4. Kumpulan Resensi Guru Terbesar Saya adalah Otak Saya. 5. Bunga Rampai Karya Ilmiah, Laporan Percobaan, dan Esai Generasi Emas. 6. Antologi Cerita Pendek, Cermin Diri. 7. Kumpulan Resensi, Mahkota Bunda. 8. Novel Perdana Berjudul JAMILAH 9. Buku Berjudul Takrir, Kumpulan Karya Ilmiah 10. Antologi Cerpen Berjudul Membuatku Mengerti 11. Buku Kumpulan Teks Diskusi, berejudul Open Minded and Closed Minded Semoga, perjalanan karir menulisnya berjalan lurus, tetap pada komitmen awal menulis dengan nurani, berusaha untuk tidak menghakimi, dan membuka diri untuk kritik konstruktif. Gerakan memberantas Buta Membaca Lumpuh Menulis semoga terus menjadi arah tujunya. Amin.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Kasih Tertepikan di Bendelonje

11 Agustus 2020   11:39 Diperbarui: 11 Agustus 2020   12:04 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

2011

Niatan mulia dari seorang Handayah

Janda beranak tiga

Untuk 2 ibu yang terlantarkan oleh kondisi

Dia manusiakan, ibu yang telah melahirkan.

Kini

Ber-27, riuh memenuhi istana lansia

Kalamullah bergema di setiap sudut

Ajaran ke-Ilahian

Menuntun hati mengarah ketauhidan.

Menimang bimbang di antara sungging senyum

rambut memutih, tubuh bungkuk menulang, kulit keriput dengan aroma khas.

Rabun tak bisa menengara, genggam tak lagi kokoh

rasa tak bisa bohong dari sepi tak bertepi.

Cintanya tak lagi bertuan, hidup dari belas kasih

di lorong tua yang tak terukur seberapa panjang.

Kemana berlalunya belahan hati yang dulu menyita

waktu, tenaga, dan materi

Di masa lalunya yang manis.

"Siapa menanam akan menuai."

Apa yang telah para ibu itu tanam sehingga menuai ketertepian kasih di usia senja

Secara kodrati, setiap diri memiliki arti

Ilahi Robi menorehkannya dalam kalam

Seberapa berartinya ibu sehingga dia tergolek penuh harap.

Duhai nasib...

yang tak berpihak pada yang tertepikan.                                                     

Bukankah ibu adalah sumber cinta yang tak habis untuk digali

Ibu adalah rahim, dimana akar kasih menghujam

bagi anak yang berbudi.

Kini dan entah sampai kapan

kesendirian mengakrabi

Para filsof  perumus makna 'amour'

 acapkali kehabisan kata untuk melukiskan.

Tak ada kata yang dapat mewujudkan keterwakilan cinta

Tak habis untuk dibahas, tak lekang dimakan waktu

Ejawantahnya beragam

dan itu tidak berlaku ada di Bendelonje.

Cinta ada ketika masih ada yang termanfaatkan

Selebihnya, sepah dibuang.

Kasih tetaplah anggun di tahtamu

 masa lalu ibu terhapus termakan usia

Tercipta ikhlas,

Untuk budi yang tak berbalas.

Jangan diambil hati,

karena mengasihi adalah memberi

Ibu...

takdirmu berakhir di Bendelonje

karena definisi cinta sudah kehilangan makna.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun