Mohon tunggu...
nanik kartika
nanik kartika Mohon Tunggu... Jurnalis - menulislah, maka engkau ada!

wanita biasa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Social Distancing yang Ambyar Berdenting

10 Mei 2020   13:17 Diperbarui: 10 Mei 2020   13:21 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pandemi Covid 19 datang bagai gelombang tsunami. Datang begitu tiba-tiba tanpa memberi aba-aba terlebih dahulu. Terjadi hampir di seluruh dunia. Khusus untuk Indonesia, apakah awal mula tidak ada petunjuk atau tanda-tanda apapun?

Petunjuk secara klinis, medis ataupun tanda-tanda alam, mungkin tidak ada. Tetapi kalau kita mau menurunkan ke-jumawa-aan kita saat Covid menyerang Wuhan, mungkin kita bisa mempersiapkan diri lebih awal. Ah sudahlah, yang lalu biarlah berlalu. Hehehehe...

Tapi apakah bisa melupakan 'masalalu' begitu saja? Ternyata tidak bisa. Okey, lanjut mengenang lagi. Lebih tepatnya, merunut atau men-tracking, hehehhe.

Menurut data Gugus Tugas Penanganan Percepatan Covid 19, si Covid masuk ke Indonesia pada bulan Maret. Padahal sebelumnya, katanya Covid sudah masuk Indonesia pada bulan Pebruari. Artinya, ada dusta di antara kita. Okey baiklah, kita maafkan.

Setelah itu, ramai-ramai menerapkan social dan physical distancing, dan ramai-ramai pula semprot disinfektan. Semuanya disemprot, yang berakhir dengan mangkraknya sang bilik. Sebuah kekeliruan lagi. Okey, gak papa, jalan terus.

Di kalangan paramedis dan tenaga kesehatan, kekurangan alat pelindung diri (APD) termasuk masker. Kesannya, pemerintah tidak siap alias kedodoran.

Saat penerapan SD, PD ataupun PSBB, berapa banyak orang yang melanggar? Apa jawaban orang-orang yang tak patuh tersebut?

''Asal pemerintah berani menjamin kebutuhan makanan dan kuota selama pandemi berakhir, semua pasti patuh stay at home,'' begitu rata-rata jawabannya.

Trus, ada juga yang menganalisa. Untuk memberi bantuan 600 ribu rupiah kepada 100 juta penduduk dari 269,6 juta jiwa, jumlahnya 180 Trilyun. Jumlah tersebut dianggap sangat kecil, cukup diambilkan dari pemasukan bea cukai 2019 sebesar 213 Trilyun, diantaranya cukai rokok sebesar 158,8 T.

Artinya, pemerintah sebetulnya mampu menghidupi rakyatnya selama tiga bulan pandemi. Tetapi pada kenyataannya, mengapa masih banyak yang tercecer dan luput dari bantuan? Jawabnya adalah, tanyalah pada Mbah Gugel.

Belum tuntas dengan permasalahan-permasalahan sosial ini, pemerintah sudah mulai melakukan kelonggaran-kelonggaran, yang sebetulnya bertentangan dengan kebijakan awal dalam memerangi Covid ini. Yang semula tagarnya #bersatuMelawanCovid, kini berganti menjadi #BerdamaiBersamaCovid.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun