Mohon tunggu...
Nanang Kusmayana
Nanang Kusmayana Mohon Tunggu... Guru - Guru Pendidikan Pancasila

Seorang Guru Pendidikan Pancasila di SMA Pedesaan, Senang Traveling, dan Mencari sesuatu yang baru

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Relevansi Filsafat Ilmu dengan Pendidikan Kewarganegaraan

5 September 2024   21:40 Diperbarui: 5 September 2024   21:50 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dunia merupakan kehidupan yang kompleks dari apa yang dipikirkan manusia sebelumnya. Berbagai fenomena-fenomena di dunia terjadi di luar akal pemikiran manusia. Sedikit demi sedikit manusia mulai mempelajari gejala-gejala yang tejadi di dunia. Mereka mempelajari batuan, mendalami ilmu tanah, mempelajari luar angkasa dan lain sebagainya. Dan pada akhirnya manusia sendirilah yang membuat teori-teori mengenai fenomena di dunia.

Dengan permasalahan seperti inilah sebegian manusia tertarik mempelajari gelaja-gejala yang berada di muka bumi bahkan hingga mempelajari hal-hal yang terjadi di jagat raya. Para ilmuwan terus berusaha meneliti dan mempelajari hal tersebut hingga pada akhirnya munculah beberapa ilmu-ilmu baru. Menurut ruang lingkup yang dipelajari, ilmu kemudian dibagi-bagi kembali agar dapat fokus dalam ruang lingkupnya masing-masing. Hingga saat ini masih banyak perkembangan ilmu-ilmu baru.

Filsafat merupakan suatu wadah yang dapat menampung berbagai ilmu-ilmu yang telah diciptakan. Ilmu-ilmu yang sudah ada ataupun sedang berkembang saat ini sebagian besar pemikirannya bermula dari ruang lingkup filsafat. Filsafat dapat dikatakan sebagai awal pemikiran ilmu-ilmu yang sudah ada. Karena didalam filsafat mencakup semua hal yang berhubungan dengan kehidupan di dunia. Maka dari itu, filsafat dan ilmu pengetahuan tidak dapat dipisahkan karena memiliki keterkaitan satu sama lain.

Pertanyaan yang paling mendasar adalah apakah manusia dapat mempelajari atau menjelaskan seluruh fenomena-fenomena yang terjadi di muka bumi? Gejala-gejala yang terjadi di muka bumi sangatlah banyak terlebih lagi gejala-gejala yang terjadi di seluruh jagat raya ini, manusia tidak akan mungkin dapat menjawab seluruh fenomena-fenomena yang terjadi. Sebagai manusia maka sudah menjadi kewajiban untuk menuntut ilmu serta mengembangkan ilmu-ilmu yang sudah ada. Dengan semakin bertambahnya ilmu, maka pengetahuan pun akan ikut bertambah. Dengan mempelajari hal-hal yang mendasar terlebih dahulu, maka diharapkan dapat mengembangkan dasar-dasaar tersebut hingga menjadi suatu ilmu baru serta bermanfaat bagi dunia. 

Secara etimologis, filsafat berasal dari beberapa bahasa, yaitu bahasa Inggris dan Yunani. Filsafat dalam bahasa Inggris, yaitu philosophy, sedangkan dalam bahasa Yunani, filsafat merupakan gabungan dua kata, yaitu philein yang berarti cinta atau philos yang berarti mencintai, menghormati, menikmati, dan Sophia dan sofein yang artinya kehikmatan, kebenaran, kebaikan, kebijaksanaan, atau kejernihan. Berdasarkan teori tersebut, berfilsafat atau filsafat berarti mencintai, menikmati kebijaksaan atau kebenaran. Hal ini sejalan dengan apa yang diucapkan ahli filsafat Yunani kuno, Socrates, bahwa filosof adalah orang yang mencintai atau mencari kebijaksanaan atau kebenaran. Jadi, filosof bukanlah orang yang bijaksana atau berpengetahuan benar, melainkan orang yang sedang belajar dan mencari kebenaran atau kebijaksaan. Dalam bahasa Indonesia, filsafat berasal dari bahasa Arab filsafah, yang juga berakar pada istilah Yunani (Wiramihardja, 2006).

Pythagoras adalah orang yang pertama-tama memperkenalkan istilah philosophia, yang kemudian dikenal dengan istilah filsafat. Pythagoras memberikan defenisi filsafat sebagai the love wisdom. Menurutnya, manusia yang paling tinggi nilainya adalah manusia pecinta kebijakan (lover of wisdom), sedangkan yang dimaksud dengan wisdom adalah kegiatan melakukan perenungan tentang Tuhan. Pythagoras sendiri mengganggap dirinya seorang philosophos (pecinta kebijakan), baginya kebijakan yang sesungguhnya hanyalah dimiliki semata-mata oleh Tuhan (Susanto, 2021).

Pengertian filsafat itu juga dapat dibedakan dari dua segi, yaitu segi yang statis dan dari segi yang dinamis. Dikatakan dinamis karena dimana pada akhirnya orang harus mencari kebijaksanaan itu dengan beraneka macam cara dan metode yang dimiliki dan kemampuan yang ada, dan dikatakan statis karena orang dapat mencukupkan diri atau merasa cukup untuk sekedar mencintai kebijaksanaan tersebut. Akan tetapi walaupun demikian, secara terinci dan secara khusus filsafat itu dapat diartikan sebagai suatu usaha untuk mencari kebenaran yang sesungguhnya dari segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada atau mencari hakikat segala sesuatu yang secara ringkas dapat dikatakan sebagai usaha mencari kebenaran yang hakiki (Abbas, 2010).

Ruang lingkup dalam pembahasan filsafat sesungguhnya sangatlah luas, maka dengan kondisi seperti ini banyak ahli filsafat yang turut andil dalam memberikan definisi filsafat. Baik ahli filsafat dari dunia barat maupun dari timur memberikan definisnya masing-masing. Berikut adalah definisi-definisi ilmu filsafat menurut beberapa ahli.

  • Plato (427 SM- 347 SM) seorang ahli filsuf Yunani menjelaskan filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang segala yang ada.
  • Aristoteles (382 SM – 322 SM) mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu yang meliputi kebenaran, yang di dalamnya terkandung ilmu-ilmu metafisika, logika, retrotika, etika, ekonomi, politik dan estetika.
  • Al Farabi (wafat 950 SM) seorang filsuf Muslim terbesar sebelum Ibnu Sina, mengatakan: filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam maujud dan bertujuan menyelidiki hakikat yang sebenarnya.
  • Prof. Dr. Fuad Hasan, guru besar psikologi UI, menyampaikan bahwa filsafat adalah suatu ikhtiar untuk berpikir radikal, artinya mulai dari radiksnya suatu gejal, dari akarnya suatu hal yang hendak dimasalahkan (Widyawati, 2013).

Dengan beberapa definisi dari para ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa filsafat adalah hasil akal seorang manusia yang mencari dan memikirkan seuatu dengan sedalam-dalamnya untuk mencari hakikat kebenaran dari suatu permasalahan.

Manfaat mengkaji filsafat menurut Franz Magnis Suseno adalah bahwa filsafat merupakan sarana yang baik untuk menggali kembali kekayaan, kebudayaan, tradisi, dan filsafat Indonesia serta untuk mengaktualisasikannya. Filsafatlah yang paling sanggup untuk mendekati warisan rohani, tidak hanya secara verbalistik, melainkan juga secara evaluatif kritis, dan reflektif, sehingga kekayaan rohani bangsa dapat menjadi modal dalam pembentukan identitas modern bangsa Indonesia secara terus menerus (Magnis-Suseno, 1992). Menurut para filsuf kegunaan secara umum filsafat adalah sebagai berikut.

  • Plato merasakan bahwa berpikir dan memikirkan itu sebagai suatu nikmat yang luar biasa sehingga filsafat diberi predikat sebagai keinginan yang maha beharga.
  • Rene Descartes yang termasyhur sebagai pelopor filsafat modern dan pelopor pembaruan dalam abad ke-17 terkenal dengan ucapannya cogito ergosum (Karena berpikir maka saya ada). Tokoh ini menyangsikan segala-galanya, tetapi dalam serba sangsi itu ada satu hal yang pasti, ialah bahwa aku bersangsi dan bersangsi berarti berpikir. Berfilsafat berarti berpangkalan kepada suatu kebenaran yang fundamental atau pengalaman yang asasi.
  • Alfred North Whitehead seorang filsuf modern merumuskan filsafat sebagai berikut: “Filsafat adalah keinsafan dan pandangan jauh ke depan dan suatu kesadaran akan hidup pendeknya, kesadaran akan kepentingan yang memberi semangat kepada seluruh usaha peradaban”.
  • Maurice Marleau Ponty seorang filsuf modern Existensialisme mengatakan bahwa jasa dari filsafat baru ialah terletak dalam sumber penyelidikannya, sumber itu adalah eksistensi dan dengan sumber itu kita bisa berpikir tentang manusia.
  • Menurut Asmoro Achmadi, mempelajari filsafat adalah sangat penting, dimana dengan ilmu tersebut manusia akan dibekali suatu kebijaksanaan yang didalamnya memuat nilai-nilai kehidupan yang sangat diperlukan oleh umat. Manfaat lain filsafat adalah didasarkan pada pengertian filsafat sebagai suatu integrase atau pengintegrasi sehingga dapat melakukan fungsi integrasi ilmu pengetahuan. Sebagian besar orang hanya menyangkutkan apa yang paling dekat dan apa yang paling dibutuhkannya pada saat dan tempat tertentu. Alam raya, ilmu pengetahuan, benda-benda, dan manusia hanya dipandangnya dari beberapa bagian kecil yang penting, serta menurut waktu, tempat, dan keadaan tertentu. Dengan demikian, pandangannya tentang segala sesuatu adalah sempit dan ekslusif. Alam raya seolah-olah dibagi-bagi, manusia seolah-olah dipotong-potong menjadi badan dan jiwa, sedangkan jiwanya dibagi-bagi menjadi emosi, motivasi, intelegensi dan lain-lain. Masyarakat dikotak-kotakan sehingga akan kehilangan arti menyeluruh dan hakikatnya. Filsafat memandang segala sesuatu dalam suatu sistem keseluruhan dan dalam segala aspeknya, sebagai akibat dari pandangan dasar atau akarnya (Wiramihardja, 2006).

Berdasarkan uraian para ahli  di atas dapat disimpulkan filsafat adalah suatu cara yang digunakan untuk memperoleh kebenaran atau kebijakan tentang alam semesta dan isinya melalui pemikiran yang mendalam, tidak terbatas, dan mencari kebenaran atau kebijakan tersebut sampai ke akar-akarnya. Dalam pemikiran tersebut akan timbul pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa di jawab oleh indera manusia, dan disanalah manusia mulai berfilsafat. Semenjak dilahirkan manusia sebenarnya telah mulai berfilsafat, mereka ingin mengetahui dari mana mereka berasal, siapa yang menciptakan mereka, untuk apa mereka dilahirkan, dan pertanyaan-peratnyaan mendalam lainnya. Sehingga dari pemikiran tersebut, pertanyaan yang terdapat dalam otak mereka akan terjawab oleh pemikiran-pemikran yang mendalam tentang hakekat manusia. Filsafat membantu manusia untuk mengembangkan pemikiran-pemikirannya yang tidak terbatas. Filsafat membuktikan bahwa manusia mempunyai akal dan pemikiran yang kritis terhadap suatu kejadian. Filsafat sebenarnya merupakan sebuah ilmu yang tidak sulit untuk dipahami, tetapi kebanyakan orang terlebih dahulu menganggap filsafat itu sebagai sesuatu yang sut untuk dipahami, sehingga orang-orang yang ingin belajar filsafat terpengaruh untuk tidak mempelajarinya. Maka, mulailah untuk melatih diri untuk bisa menyukai filsafat, karena yang terpenting adalah belajar berfilsafat bukan belajar filsafat.

Filsafat merupakan induk dari ilmu pengetahuan. Seiring dengan perkembangan zaman, maki muncullah ilmu-ilmu pengetahuln yang mempelajari bidang-bidang tertentu, namun apabila ditelusur sesungguhnya akan kembali pada filsafat. pada konteks yang lain fitsafat juga sebagai suatu sikap terhadap kehidupan dengan meninjau problem-problem yang ada secara luas dan mendaram secara kritis dan terbuka terhadap semua sudut pandang problem yang ada. Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa filsafat merupakan ilmu pengetahuan yang paling luas cakupannya (Nasiwan, 2014).

Pengertian Ilmu Pengetahuan

Ilmu berasal dari bahasa Arab “Al ‘Ilm” yang berarti pengetahuan (knowledge). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ilmu merupakan suatu pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu, yang dapat menjelaskan gejala-gejala tertentu. Dari kedua definisi tersebut dapat disimpulkan ilmu adalah suatu pengetahuan teratur yang membahas suatu masalah dan pemikirannya terpusat pada masalah tersebut.

Ilmu merupakan sebuah istilah umum untuk menyebut segenap pengetahuan ilmiah yang dipandang sebagai satu kebulatan. Jadi, dalam arti yang pertama ini ilmu mengacu pada ilmu seumumnya (science-in-general) (Gie, 2012). Definisi lain ilmu merupakan suatu pengetahuan, sedangkan pengetahuan merupakan informasi yang didapatkan dan segala sesuatu yang diketahui manusia. Ilmu merupakan pengetahuan yang berupa informasi yang didalami sehingga menguasai pengetahuan tersebut yang menjadi suatu ilmu (Dafrita, 2015).

Dalam Encyclopedia Americana, ilmu adalah pengetahuan yang bersifat positif dan sistematis. Paul Freedman, dalam The Principles of Scientific Research mendefinisikan ilmu sebagai bentuk aktifitas manusia yang dengan melakukannya umat manusia memperoleh suatu pengetahuan dan senantiasa lebih lengkap dan cermat tentang alam di masa lampau, sekarang dan kemudian hari, serta suatu kemampuan yang meningkat untuk menyesuaikan dirinya dan mengubah lingkungannya serta mengubah sifat-sifatnya sendiri. S. Ornby mengartikan ilmu sebagai susunan atau kumpulan pengetahuan yang diperoleh melalui penelitian dan percobaan dari fakta-fakta. Poincare, menyebutkan bahwa ilmu berisi kaidah-kaidah dalam arti definisi yang tersembunyi. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam proses untuk memperoleh suatu ilmu adalah dengan melalui pendekatan filsafat(Wahid, 2012).

Membahas ilmu dan pengetahuan tidak semua pengetahuan dapat dikatakan sebagai ilmu, sebab kalau semua pengetahuan dikatakan ilmu tentu banyak yang bisa dikatakan ilmu, karena pengetahuan itu sifatnya baru sebatas tahu, akan tetapi sebaliknya semua ilmu adalah pengetahuan, akan tetapi yang dikatakan ilmu adalah pengetahuan yang disusun secara sistematis, memiliki metode dan berdiri sendiri, tidak memihak kepada sesuatu (Abbas, 2010). Charles Singer merumuskan bahwa ilmu adalah proses yang membuat pengetahuan. Oleh karena itu, ilmu dapat dipandang sebagai suatu bentuk aktivitas manusia, maka dari makna ini orang dapat melangkah lebih lanjut untuk sampai pada metode dari aktivitas itu. Menurut Prof. Harold H. Titus, banyak orang telah mempergunakan istilah ilmu untuk menyebut suatu metode guna memperoleh pengetahuan yang objektif dan dapat diperiksa kebenaranya (Gie, 2012).

Pengertian ilmu itu saling bertautan logis dan berpangkal pada satu kenyataan yang sama bahwa ilmu hanya terdapat dalam masyarakat manusia. Suatu penjelasan yang sistematis harus dimulai dengan segi pada manusia yang menjadi pelaku dari fenomenon yang disebut ilmu. Hanyalah manusia yang memiliki kemampuan rasional, melakukan aktivitas kognitif, dan mendambakan berbagai tujuan yang berkaitan dengan ilmu. Jadi, tepatlah bilamana pengertian ilmu pertama dipahami dari seginya sebagai serangkaian aktivitas yang rasional, kognitif, dan bertujuan. Sesuatu aktivitas hanya dapat mencapai tujuannya bilamana dilaksanakan dengan metode yang tepat. Dengan demikian, penjelasan mengenai aktivitas para ilmuwan yang merupakan penelitian akan beralih pada metode ilmiah yang dipergunakan. Ilmu lalu mempunyai pengertian yang kedua sebagai metode. Dari serangkaian kegiatan studi atau penyelidikan secara berulang-ulang dan harus dilaksanakan dengan tata cara yang metodis, akhirnya dapat dibuahkan hasil berupa keterangan baru atau tambahan mengenai sesuatu hal. Dengan demikian, pada pembahasan terakhir pengertian ilmu mempunyai arti sebagai pengetahuan (Gie, 2012).       

Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa ilmu bukan sekedar pengetahuan (knowledge), tetapi merupakan rangkuman dari sekumpulan pengetahuan berdasarkan teori-teori yang disepakati atau berlaku umum dan diperoleh melalui serangkaian prosedur sistematik, diuji dengan seperangkat metode yang diakui dalam bidang ilmu tertentu. Ilmu merupakan suatu pengetahuan, sedangkan pengetahuan merupakan informasi yang didapatkan dan segala sesuatu yang diketahui manusia. Itulah bedanya dengan ilmu, karena ilmu itu sendiri merupakan pengetahuan yang berupa informasi yang didalami sehingga menguasai pengetahuan tersebut yang menjadi suatu ilmu.

Ilmu pengetahuan itu harus memiliki instrumen, paling tidak ada lima instrumen ilmu pengetahuan yang mungkin dapat digunakan, yaitu: pertama, pengalaman yang memfungsikan inderawinya sebagai instrumen utama untuk mendapatkan gambaran atau arti dari sesuatu itu, (pengetahuan perseptual indrawi), dengan kata lain pengalaman adalah sensoris yang menentukan kebenaran tentang sesuatu, pengalaman itu ada yang bersifat objektif, yaitu pengalaman terhadap alam di luar diri yang berada atau terjadi secara mandiri dan di luar diri dan ada pengalaman yang bersifat subjektif, yaitu pengalaman milik pribadi, berada di dalam diri seperti rasa takut, rasa bahagia, rasa enak atau rasa malu dan lain-lain sebagainya. Pengalaman hanya melalui pengamatan semata-mata, kebenaran yang dicari itu akan mengalami distorsi (penyimpangan), konsep dan konstruk akan terungkap dalam rumusan yang berbeda. Kedua, berpikir (rasio) atau menalar dimana akal atau intelek berfungsi dalam upaya mencapai kebenaran. Berpikir itu tidak bisa terlepas dari realitas, juga tidak bisa terlepas dari potensi-potensi yang ada di dalam diri manusia. Berpikir adalah suatu sistem dan proses kognitif yang kompleks, justeru kekompleksannya inilah yang merangsang para pakar untuk terus menelitinya. Ketiga, intuisi adalah sebagai kejadian eksperensial dan di dalam kalangan ahli psikologi menggambarkan intuisi itu sebagai kejadian perilaku, yang juga bisa sampai kepada kebenaran. Keempat, fatwa yaitu pernyataan atau pendapat dari kalangan para ahli atau pakar (di dalam Islam disebut dengan alim jamaknya ulama) yang ahli atau pakar di bidangnya masing-masing. Kelima, wahyu yang merupakan sumber ilmu pengetahuan yang memiliki sifat kebenaran yang mutlak (absolut), akan tetapi keterungkapan kebenarannya itu sangat tergantung kepada bagaimana manusia itu menganalisis dan menafsirkan makna dan maksud dari wahyu itu (Abbas, 2010).

Berdasarkan uraian pemaparan diatas penulis mengambil kesimpulan ilmu adalah serangkaian pengetahuan yang sistematis, dapat diuji kebenaranya dan menggunakan metode-metode untuk mendapatkan. Tidak semua pengetahuan dapat dikatakan ilmu itu memang benar, karena pengetahuan didapatkan bisa kapan saja dan dimana saja, sedangkan ilmu harus melalui proses-proses tertentu yang terdiri dari beberapa pengetahuan dan disimpulkan menjadi suatu ilmu. Oleh karena itu orang-orang sering menyebut ilmu dengan ilmu pengetahuan. Padahal sebenarnya ada perbedaan di antara keduanya. 

Hubungan Filsafat dengan Ilmu Pengetahuan

Filsafat berbicara tentang ilmu, begitulah Kattsoff mengutarakan jalinan filsafat dengan ilmu. Bahasa yang dipakai dalam filsafat berusaha untuk berbicara mengenai ilmu dan bukannya di dalamnya ilmu. Sementara itu Saifullah memberikan kesimpulan umum bahwa pada dasarnya filsafat tiada lain adalah hasil pemikiran manusia, hasil spekulasi manusia betapapun tidak sempurnanya daya kemampuan pikiran manusia. Antara filsafat dan ilmu memiliki persamaan, dalam hal bahwa keduanya merupakan hasil ciptaan pikiran manusia, yaitu berpikir filosofis, spekulatif, dan empiris ilmiah. Perbedaan antara keduanya, terutama untuk filsafat menentukan tujuan hidup dan ilmu menentukan sarana untuk hidup. Karenanya, filsafat inilah kemudian disebut sebagai induknya ilmu pengetahuan (Susanto, 2021).

Meskipun secara historis antara ilmu dan filsafat pernah merupakan suatu kesatuan, namun dalam perkembangannya mengalami divergensi, dimana dominasi ilmu lebih kuat mempengaruhi pemikiran manusia, kondisi ini mendorong pada upaya untuk memposisikan keduanya secara tepat sesuai dengan batas wilayahnya masing-masing, bukan untuk mengisolasinya melainkan untuk lebih jernih melihat hubungan keduanya dalam konteks lebih memahami khazanah intelektual manusia. Harold H. Titus mengakui kesulitan untuk menyatakan secara tegas dan ringkas mengenai hubungan antara ilmu dan filsafat, karena terdapat persamaan sekaligus perbedaan antara ilmu dan filsafat, di samping di kalangan ilmuwan sendiri terdapat perbedaan pandangan dalam hal sifat dan keterbatasan ilmu, demikian juga di kalangan filsuf terdapat perbedaan pandangan dalam memberikan makna dan tugas filsafat. Adapun persamaan (lebih tepatnya persesuaian) antara ilmu dan filsafat adalah bahwa keduanya menggunakan berpikir reflektif dalam upaya menghadapi atau memahami fakta-fakta dunia dan kehidupan, terhadap hal-hal tersebut baik filsafat maupun ilmu bersikap kritis, berpikiran terbuka serta sangat konsen pada kebenaran, di samping perhatiannya pada pengetahuan yang terorganisir dan sistematis (Wahid, 2012).

Sementara itu perbedaan filsafat dengan ilmu lebih berkaitan dengan titik tekan, dimana ilmu mengkaji bidang yang terbatas, ilmu lebih bersifat analitis dan deskriptif dalam pendekatannya, ilmu menggunakan observasi, eksperimen dan klasifikasi data pengalaman indra serta berupaya untuk menemukan hukum-hukum atas gejala-gejala tersebut, sedangkan filsafat berupaya mengkaji pengalaman secara menyeluruh sehingga lebih bersifat inklusif dan mencakup hal-hal umum dalam berbagai bidang pengalaman manusia, filsafat lebih bersifat sintetis dan kalaupun analitis maka analisisnya memasuki dimensi kehidupan secara menyeluruh dan utuh, filsafat lebih tertarik pada pertanyaan kenapa dan bagaimana dalam mempertanyakan masalah hubungan antara fakta khusus dengan skema masalah yang lebih luas, filsafat juga mengkaji hubungan antara temuan-temuan ilmu dengan klaim agama, moral serta seni. Dengan memperhatikan ungkapan di atas nampak bahwa filsafat mempunyai batasan yang lebih luas dan menyeluruh ketimbang ilmu, ini berarti bahwa apa yang sudah tidak bisa dijawab oleh ilmu, maka filsafat berupaya mencari jawabannya, bahkan ilmu itu sendiri bisa dipertanyakan atau dijadikan objek kajian filsafat (Filsafat Ilmu), namun demikian filsafat dan ilmu mempunyai kesamaan dalam menghadapi objek kajiannya yakni berpikir reflektif dan sistematis, meski dengan titik tekan pendekatan yang berbeda. (Wahid, 2012).

Filsafat dan keseluruhan ilmu itu bertemu pada satu titik, titik itu adalah semua yang ada dan yang mungkin ada, yang disebut dengan objek material, akan tetapi ilmu dan filsafat tetap berbeda, tidak sama, karena berbeda pada objek formalnya. Objek formal ilmu itu adalah mencari sebab yang sedalam-dalamnya, sedangkan objek formal filsafat adalah mencari keterangan yang sedalam-dalamnya. Ilmu pengetahuan, dengan metodenya sendiri mencoba berusaha mencari kebenaran tentang alam semesta beserta isinya dan termasuk di dalamnya adalah manusia. Filsafat dengan wataknya sendiri, juga berusaha mencari kebenaran, baik kebenaran tentang alam maupun tentang manusia (sesuatu yang belum atau tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan, karena di luar atau di atas jangkauannya) ataupun tentang Tuhan, Sang Pencipta segala-galanya (Abbas, 2010).

Filsafat mencoba mencari kebenaran dengan cara menjelajahi atau menziarahi akal-budi secara radikal (berpikir sampai ke akar-akarnya), mengakar, sistematis (logis dengan urutan dan adanya saling hubungan yang teratur) dan integral (universal atau berpikir mengenai keseluruhan) serta tidak merasa terikat oleh ikatan apapun, kecuali oleh ikatan tangannya sendiri, yaitu logika. Ilmu pengetahuan mencari kebenaran dengan menggunakan metode atau cara penyelidikan (riset), pengalaman (empiris) dan percobaan (eksperimen) atau sangat terkait dengan tiga aspek, yaitu aspek hipotesis, aspek teori, dan aspek dalil hukum. Selanjutnya kebenaran ada yang bersifat spekulatif atau kebetulan saja adalah kebenaran yang bersifat dugaan atau perkiraan yang tidak dapat dibuktikan secara empiris, secara riset dan secara eksperimen. Kebenaran ilmu pengetahuan adalah kebenaran yang bersifat positif, bukan bersifat spekulasi atau kebetulan saja, yaitu kebenaran yang masih berlaku sampai saat ini yang dapat diuji. Baik kebenaran filsafat maupun kebenaran ilmu pengetahuan kedua-duanya bersifat nisbi atau relatif, artinya sifatnya sementara dan sewaktu-waktu dapat berubah sesuai dengan perkembangan pemikiran manusia, yang sangat tergantung kepada situasi dan kondisi, termasuk perubahan alam (Abbas, 2010).

Mengenai lapangan pembahasan ilmu dan filsafat. Lapangan ilmu pengetahuan mempunyai daerah-daerah tertentu, yaitu alam dengan segala kejadiannya. Sedangkan, filsafat adalah tentang hakikat yang umum dan luas. Mengenai tujuannya, tujuan ilmu pengetahuan adalah berusaha menentukan sifat-sifat dari kejadian alam yang di dalamnya juga terdapat manusia. Sedangkan filsafat bertujuan untuk mengetahui tentang asal-usul manusia, hubungan manusia dengan alam semesta dan bagaimana akhirnya (hari kemudiannya). Mengenai cara pembahasannya, filsafat dalam pembahasannya tidak mempergunakan percobaan-percobaan serta penyelidikannya mempergunakan pikiran dan akal. Sedangkan ilmu pengetahuan dalam pembahasan dan penyelidikannya mempergunakan panca indera dan percobaan-percobaan. Mengenai kesimpulannya, ilmu pengetahuan dalam menentukan kesimpulan-kesimpulannya dapat diterapkan dengan dalil-dalil yakin yang didasarkan pada penglihatan dan percobaan-percobaan. Sebaliknya, filsafat dalam menentukan kesimpulan tidak memberi keyakinan mutlak, sebagai kesimpulan selalu mengandung keraguan yang mengakibatkan perbedaan-perbedaan pendapat di antara ahli-ahli filsafat, serta jauh dari kepastian, kerja sama, serta keyakinan (Susanto, 2021)

Dengan demikian, ilmu mengkaji hal-hal yang bersifat empiris dan dapat dibuktikan, filsafat mencoba mencari jawaban terhadap masalah-masalah yang tidak bisa dijawab oleh Ilmu dan jawabannya bersifat spekulatif, sedangkan Agama merupakan jawaban terhadap masalah-masalah yang tidak bisa dijawab oleh filsafat dan jawabannya bersifat mutlak atau dogmatis. Menurut Sidi Gazalba, Pengetahuan ilmu lapangannya segala sesuatu yang dapat diteliti (riset dan atau eksperimen) batasnya sampai kepada yang tidak atau belum dapat dilakukan penelitian. Pengetahuan filsafat segala sesuatu yang dapat dipikirkan oleh budi (rasio) manusia yang alami (bersifat alam) dan nisbi batasnya adalah batas alam namun demikian ia juga mencoba memikirkan sesuatu yang di luar alam, yang disebut oleh agama “Tuhan”. Sementara itu Oemar Amin Hoesin, mengatakan bahwa ilmu memberikan kepada kita pengetahuan, dan filsafat memberikan hikmat. Dari sini nampak jelas bahwa ilmu dan filsafat mempunyai wilayah kajian-kajian tersendiri. (Wahid, 2012)

Adapun persamaan (lebih tepatnya persesuaian) antara ilmu dan filsafat adalah bahwa keduanya menggunakan berpikir reflektif dalam upaya menghadapi atau memahami fakta-fakta dunia dan kehidupan, terhadap hal-hal tersebut baik filsafat maupun ilmu bersikap kritis, berpikiran terbuka serta sangat konsen pada kebenaran, di samping perhatiannya pada pengetahuan yang terorganisir dan sistematis. Sementara itu perbedaan filsafat dengan ilmu lebih berkaitan dengan titik tekan, dimana ilmu mengkaji bidang yang terbatas, ilmu lebih bersifat analitis dan deskriptif dalam pendekatannya, ilmu menggunakan observasi, eksperimen dan klasifikasi data pengalaman indra serta berupaya untuk menemukan hukum-hukum atas gejala-gejala tersebut, sedangkan filsafat berupaya mengkaji pengalaman secara menyeluruh sehingga lebih bersifat inklusif dan mencakup hal-hal umum dalam berbagai bidang pengalaman manusia, filsafat lebih bersifat sintetis dan kalaupun analitis maka analisisnya memasuki dimensi kehidupan secara menyeluruh dan utuh, filsafat lebih tertarik pada pertanyaan kenapa dan bagaimana dalam mempertanyakan masalah hubungan antara fakta khusus dengan skema masalah yang lebih luas, filsafat juga mengkaji hubungan antara temuan-temuan ilmu dengan klaim agama, moral serta seni.

Dengan kata lain, filsafat mempunyai batasan yang lebih luas dan menyeluruh ketimbang ilmu, ini berarti bahwa apa yang sudah tidak bisa dijawab oleh ilmu, maka filsafat berupaya mencari jawabannya, bahkan ilmu itu sendiri bisa dipertanyakan atau dijadikan objek kajian filsafat (Filsafat Ilmu), namun demikian filsafat dan ilmu mempunyai kesamaan dalam menghadapi objek kajiannya yakni berpikir reflektif dan sistematis, meski dengan titik tekan pendekatan yang berbeda (Wahid, 2012).

Hubungan Filsafat Ilmu dengan Pendidikan Kewarganegaraan

Landasan berpikir filsafat terdiri dari ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Ontologi memiliki makna bahwa ilmu yang mempelajari setiap hal yang dianggap ada. Terdapat dua jenis objek ontologi yaitu formal dan material, ontologi memiliki fungsi reflektif atas objek asumsi dan postulat ilmu. Dengan ontologi bangunan keilmuan diharapkan dapat menggambarkan objek yang jelas. Epistemologi dapat dipahami sebagai teori ilmu pengetahuan yang berupaya untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang sesuatu yang dianggap ada. Fungsi epistemologi sebagai landasan tindakan manusia, dasar pengembangan dan sarana mengenai kebenaran pengetahuan. Metode keilmuan dalam epistemologi adalah deduktif dan induktif. Aksiologi memiliki manfaat secara moral yang dapat dilihat apakah ilmu ini memiliki manfaat untuk kualitas kehidupan manusia. Secara filsafat keilmuan, Pendidikan Kewarganegaraan memiliki Ontologi pokok ilmu politik khususnya konsep demokrasi dan hak dan kewajiban warga negara serta hubungan warga negara dengan negara.

Dari ontologi pokok inilah berkembang konsep “Civics”, yang secara harfiah diambil dari bahasa latin yaitu “civicus” yang artinya warga negara pada masa yunani kuno, yang kemudian diakui secara akademis sebagai embrionya “civic education”. Saat ini tradisi itu sudah berkembang pesat menjadi suatu “Body of knowledge” yang dikenal memiliki paradigma sistemik, yang didalamnya terdapat tiga domain “Citizenship education”, yakni domain akademis, domain kurikuler, dan domain sosial kultural.

Ketiga domain tersebut satu sama lain saling memiliki keterkaitan struktural dan fungsional yang diikat oleh konsep “civic virtue and culture” yang mencakup civic knowledge, civic disposition, civic skills, civic confidence, civic commitment dan civic competence. Oleh karena itu ontologi Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) saat ini sudah lebih luas dari pada embrionya sehingga kajian keilmuan PKn, program kurikuler PKn, dan aktivitas sosial-kultural PKn saat ini benar-benar multifaset atau multi dimensional. Sifat multidimensional inilah yang membuat bidang studi PKn dapat disikapi sebagai : pendidikan kewarganegaraan, pendidikan politik, pendidikan nilai dan moral, pendidikan kebangsaan pendidikan kemasyarakatan, pendidikan hukum dan hak asasi manusia, dan pendidikan demokrasi.

Pendidikan Kewarganegaraan secara ontologikal memiliki dua dimensi, yakni obyek telaah dan objek pengembangan. Obyek telaah adalah keseluruhan aspek idiil, instrumental, dan praktis PKn yang secara internal dan eksternal mendukung sistem kurikulum dan pembelajaran PKn di sekolah dan di luar sekolah, serta format gerakan sosial-kultural kewarganegaraan masyarakat. Sedangkan obyek pengembangan atau sasaran pembentukan adalah keseluruhan ranah sosio-psikologis peserta didik yang oleh Bloom dkk, dikategorikan ke dalam ranah kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik, yang menyangkut status, hak dan kewajibannya sebagai warga negara yang perlu dimuliakan dan dikembangkan secara programatik guna mencapai kualitas warga negara yang “cerdas, dan baik” dalam arti religius, demokratis dan berkeadaban dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Aspek epistemologi pendidikan kewarganegaraan berkaitan erat dengan aspek ontologi pendidikan kewarganegaraan, karena memang proses epistemologis, yang pada dasarnya berwujud dalam berbagai bentuk kegiatan sistematis dalam upaya membangun pengetahuan bidang kajian ilmiah pendidikan kewarganegaraan sudah seharusnya terkait pada objek telaah dan obyek pengembangannya. Kegiatan epistemologis pendidikan kewarganegaraan mencakup metodologi penelitian dan metodologi pengembangan. Metodologi penelitian digunakan untuk mendapatkan pengetahuan baru melalui metode penelitian kuantitatif yang menonjolkan proses pengukuran dan generalisasi untuk mendukung proses konseptualisasi. Selain itu terdapat metode penelitian kualitatif yang menonjolkan pemahaman holistik terhadap fenomena alamiah untuk membangun suatu teori. Sedangkan, metodologi pengembangan digunakan untuk mendapatkan paradigma pedagogis dan rekayasa kurikulum yang relevan guna mengembangkan aspek-aspek sosial-psikologis peserta didik, dengan cara mengorganisasikan berbagai unsur instrumental dan kontekstual pendidikan.

Secara historis-epistemologis Amerika Serikat (USA) dapat dicatat sebagai negara perintis kegiatan akademis dan kurikuler dalam pengembangan konsep dan paradigma “civics”. Pelajaran civics dimulai pada tahun 1970 dalam rangka meng-amerika-kan bangsa Amerika (nation building), sebab bangsa amerika terdiri dari berbagai macam suku, bangsa, ras, maupun etnik. Usaha ini dinamakan dengan “theory of americanization”. Kemudian pada tahun 1880-an mulai diperkenalkan pelajaran civics di sekolah yang berisikan materi tentang pemerintahan. Seorang ahli bernama Chresore (1886), pada waktu itu mengartikan “civics” sebagai “the science of citizenship” atau ilmu kewarganegaraan, yang isinya mempelajari hubungan antar individu dan antar individu dengan negara. Selanjutnya pada tahun 1900-an berkembang mata pelajaran civics yang diisi dengan materi mengenai struktur pemerintahan negara bagian dan federasi.

Mencermati penjelasan diatas, maka konsep civics tidak pernah lepas dari civic education dan citizenship education, begitu pula perkembangannya di Indonesia, civics dan civics education telah muncul pada tahun 1957, dengan istilah Kewarganegaraan, lalu pada tahun 1962 pelajaran civics masuk dalam kurikulum sekolah. Sampai saat ini secara garis besar mata pelajaran Kewarganegaraan memiliki 3 dimensi yaitu: (1) Dimensi Pengetahuan Kewarganegaraan (Civics Knowledge) yang mencakup bidang politik, hukum dan moral; (2)Dimensi Keterampilan Kewarganegaraan (Civics Skills) meliputi keterampilan partisipasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; (3) Dimensi Nilai-nilai Kewarganegaraan (Civics Values) mencakup antara lain percaya diri, penguasaan atas nilai religius, norma dan moral luhur.nPendidikan Kewarganegaran akan membawa warga negara pengetahuan yang diaplikasikan dalam kehidupan sehari hari melalui sikap, keterampilan dan nilai-nilai kebangsaan. Hal ini sejalan dengan tujuan Pendidikan Kewarganegaraan yang mengembangkan kecerdasan warga negara yang diwujudkan melalui pemahaman, keterampilan sosial dan intelektual, serta mampu memecahkan masalah di lingkungannya.

Secara aksiologi, Pendidikan Kewarganegaraan didukung oleh hakikat nilai kebenaran, kebaikan, keindahan, dan religius. Oleh sebab itu, filsafat moral merupakan pendukung ilmu Pendidikan Kewarganegaraan.  Filsafat moral menjadi penting, terutama dalam upaya mengembangkan cara berpikir suatu bangsa tentang moralitas. Nilai etika yang dipelajari dalam filsafat moral pada hakekatnya adalah nilai moral universal atau nilai sosial bersama, misalnya nilai hak asasi manusia. Hak asasi manusia juga dapat dimasukkan dalam aspek ilmu politik dan juga merupakan aspek yang sangat penting dalam pembangunan negara hukum dan penerapannya.

Tujuan mengembangkan pendidikan kewarganegaraan (PKn) adalah agar setiap warga negara menjadi warga negara yang baik (to be good citizens), yakni warga yang memiliki kecerdasan (Civic Intelligence) baik intelektual, emosional, sosial, maupun spiritual; memiliki rasa bangga dan tanggung jawab (Civic Responsibility); dan mampu berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara (Civic Participation) agar tumbuh rasa kebangsaan dan cinta tanah air.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun