Dari ontologi pokok inilah berkembang konsep “Civics”, yang secara harfiah diambil dari bahasa latin yaitu “civicus” yang artinya warga negara pada masa yunani kuno, yang kemudian diakui secara akademis sebagai embrionya “civic education”. Saat ini tradisi itu sudah berkembang pesat menjadi suatu “Body of knowledge” yang dikenal memiliki paradigma sistemik, yang didalamnya terdapat tiga domain “Citizenship education”, yakni domain akademis, domain kurikuler, dan domain sosial kultural.
Ketiga domain tersebut satu sama lain saling memiliki keterkaitan struktural dan fungsional yang diikat oleh konsep “civic virtue and culture” yang mencakup civic knowledge, civic disposition, civic skills, civic confidence, civic commitment dan civic competence. Oleh karena itu ontologi Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) saat ini sudah lebih luas dari pada embrionya sehingga kajian keilmuan PKn, program kurikuler PKn, dan aktivitas sosial-kultural PKn saat ini benar-benar multifaset atau multi dimensional. Sifat multidimensional inilah yang membuat bidang studi PKn dapat disikapi sebagai : pendidikan kewarganegaraan, pendidikan politik, pendidikan nilai dan moral, pendidikan kebangsaan pendidikan kemasyarakatan, pendidikan hukum dan hak asasi manusia, dan pendidikan demokrasi.
Pendidikan Kewarganegaraan secara ontologikal memiliki dua dimensi, yakni obyek telaah dan objek pengembangan. Obyek telaah adalah keseluruhan aspek idiil, instrumental, dan praktis PKn yang secara internal dan eksternal mendukung sistem kurikulum dan pembelajaran PKn di sekolah dan di luar sekolah, serta format gerakan sosial-kultural kewarganegaraan masyarakat. Sedangkan obyek pengembangan atau sasaran pembentukan adalah keseluruhan ranah sosio-psikologis peserta didik yang oleh Bloom dkk, dikategorikan ke dalam ranah kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik, yang menyangkut status, hak dan kewajibannya sebagai warga negara yang perlu dimuliakan dan dikembangkan secara programatik guna mencapai kualitas warga negara yang “cerdas, dan baik” dalam arti religius, demokratis dan berkeadaban dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Aspek epistemologi pendidikan kewarganegaraan berkaitan erat dengan aspek ontologi pendidikan kewarganegaraan, karena memang proses epistemologis, yang pada dasarnya berwujud dalam berbagai bentuk kegiatan sistematis dalam upaya membangun pengetahuan bidang kajian ilmiah pendidikan kewarganegaraan sudah seharusnya terkait pada objek telaah dan obyek pengembangannya. Kegiatan epistemologis pendidikan kewarganegaraan mencakup metodologi penelitian dan metodologi pengembangan. Metodologi penelitian digunakan untuk mendapatkan pengetahuan baru melalui metode penelitian kuantitatif yang menonjolkan proses pengukuran dan generalisasi untuk mendukung proses konseptualisasi. Selain itu terdapat metode penelitian kualitatif yang menonjolkan pemahaman holistik terhadap fenomena alamiah untuk membangun suatu teori. Sedangkan, metodologi pengembangan digunakan untuk mendapatkan paradigma pedagogis dan rekayasa kurikulum yang relevan guna mengembangkan aspek-aspek sosial-psikologis peserta didik, dengan cara mengorganisasikan berbagai unsur instrumental dan kontekstual pendidikan.
Secara historis-epistemologis Amerika Serikat (USA) dapat dicatat sebagai negara perintis kegiatan akademis dan kurikuler dalam pengembangan konsep dan paradigma “civics”. Pelajaran civics dimulai pada tahun 1970 dalam rangka meng-amerika-kan bangsa Amerika (nation building), sebab bangsa amerika terdiri dari berbagai macam suku, bangsa, ras, maupun etnik. Usaha ini dinamakan dengan “theory of americanization”. Kemudian pada tahun 1880-an mulai diperkenalkan pelajaran civics di sekolah yang berisikan materi tentang pemerintahan. Seorang ahli bernama Chresore (1886), pada waktu itu mengartikan “civics” sebagai “the science of citizenship” atau ilmu kewarganegaraan, yang isinya mempelajari hubungan antar individu dan antar individu dengan negara. Selanjutnya pada tahun 1900-an berkembang mata pelajaran civics yang diisi dengan materi mengenai struktur pemerintahan negara bagian dan federasi.
Mencermati penjelasan diatas, maka konsep civics tidak pernah lepas dari civic education dan citizenship education, begitu pula perkembangannya di Indonesia, civics dan civics education telah muncul pada tahun 1957, dengan istilah Kewarganegaraan, lalu pada tahun 1962 pelajaran civics masuk dalam kurikulum sekolah. Sampai saat ini secara garis besar mata pelajaran Kewarganegaraan memiliki 3 dimensi yaitu: (1) Dimensi Pengetahuan Kewarganegaraan (Civics Knowledge) yang mencakup bidang politik, hukum dan moral; (2)Dimensi Keterampilan Kewarganegaraan (Civics Skills) meliputi keterampilan partisipasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; (3) Dimensi Nilai-nilai Kewarganegaraan (Civics Values) mencakup antara lain percaya diri, penguasaan atas nilai religius, norma dan moral luhur.nPendidikan Kewarganegaran akan membawa warga negara pengetahuan yang diaplikasikan dalam kehidupan sehari hari melalui sikap, keterampilan dan nilai-nilai kebangsaan. Hal ini sejalan dengan tujuan Pendidikan Kewarganegaraan yang mengembangkan kecerdasan warga negara yang diwujudkan melalui pemahaman, keterampilan sosial dan intelektual, serta mampu memecahkan masalah di lingkungannya.
Secara aksiologi, Pendidikan Kewarganegaraan didukung oleh hakikat nilai kebenaran, kebaikan, keindahan, dan religius. Oleh sebab itu, filsafat moral merupakan pendukung ilmu Pendidikan Kewarganegaraan. Filsafat moral menjadi penting, terutama dalam upaya mengembangkan cara berpikir suatu bangsa tentang moralitas. Nilai etika yang dipelajari dalam filsafat moral pada hakekatnya adalah nilai moral universal atau nilai sosial bersama, misalnya nilai hak asasi manusia. Hak asasi manusia juga dapat dimasukkan dalam aspek ilmu politik dan juga merupakan aspek yang sangat penting dalam pembangunan negara hukum dan penerapannya.
Tujuan mengembangkan pendidikan kewarganegaraan (PKn) adalah agar setiap warga negara menjadi warga negara yang baik (to be good citizens), yakni warga yang memiliki kecerdasan (Civic Intelligence) baik intelektual, emosional, sosial, maupun spiritual; memiliki rasa bangga dan tanggung jawab (Civic Responsibility); dan mampu berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara (Civic Participation) agar tumbuh rasa kebangsaan dan cinta tanah air.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H