Modernisasi dan Perkembangan Teknologi
Modernisasi merupakan salah satu fenomena yang tidak dapat ditolak kehadirannya. Modernisasi sangat lekat dengan konsep pembangunan nasional dimana segala aspek kehidupan mengalami kemajuan mengikuti perkembangan zaman.
 Bagi teori modernisasi yang mendasarkan pemikirannya pada teori evolusi, kehidupan selalu bergerak maju secara linear. Sebagaimana perspektif Durkheim, perubahan-perubahan yang terjadi identik dengan transformasi masyarakat tradisional ke masyarakat maju hingga masyarakat teknologi.
Modernisasi memiliki karakteristik diantaranya adalah melalui proses yang bertahap dan bersifat progresif. Artinya, modernisasi tidak terjadi begitu saja tanpa melalui proses yang panjang. Modernisasi memerlukan adaptasi dan berkembang secara perlahan sebagaimana konsep evolusi.Â
Seiring dengan perkembangan zaman, dunia akan selalu semakin maju dan semakin canggih dalam hal modernitas. Selain itu, modernisasi juga bagian dari proses homogenisasi, baik homogenisasi internal maupun eksternal.Â
Hal ini karena dengan adanya modernisasi ketimpangan sosial masyarakat di suatu negara akan berkurang, penggunaan barang atau jasa yang seragam, dan sebagainya. Juga secara eksternal, negara berkembang dapat bersaing dan mengejar ketertinggalan dari dunia barat.
Perkembangan teknologi merupakan salah satu produk dari modernisasi. Pesatnya perkembangan teknologi yang semakin canggih memberikan dampak yang sangat besar bagi kehidupan di dunia. Sangat banyak bermunculan alat-alat canggih yang menyederhanakan dan membantu pekerjaan manusia.Â
Dengan teknologi, masyarakat sangat dimanjakan oleh konsep otomatis, serba mudah, dan efisien. Banyak sekali pola kehidupan yang mengalami pergeseran dari cara konvensional ke cara-cara praktis dan modern. Salah satunya budaya menonton film di masyarakat.
Platform Digital sebagai Produk Modernisasi
Kecanggihan teknologi menghadirkan platform over-the-top atau OTT. Platform OTT merupakan media dimana semua orang dapat mengakses layanan melalui internet. Platform OTT juga disebut sebagai aplikasi streaming subscription video on-demand (SVOD), diantaranya ada Youtube, Netflix, Disney, Vidio, dan lain sebagainya.Â
Penggunaan platform OTT mulai marak di Indonesia sejak awal hingga pertengahan tahun 2000-an, dimana penggunaan teknologi sedang mengalami perkembangan yang cukup pesat dan permintaan konsumen film yang meningkat.Â
Platform OTT menawarkan kemudahan bagi para penikmat film untuk bisa menonton dimana saja, kapan saja, dan apa saja sesuai keinginan tanpa batas. Sebagian besar platform OTT juga memberikan harga yang murah untuk berlangganan sehingga mudah menarik masyarakat sebagai konsumen mereka dengan benefit yang sepadan.
Perlu dibedakan antara platform OTT dengan situs streaming lainnya, dimana OTT bersifat legal karena penayangan suatu film di aplikasi tersebut telah melalui kesepakatan tertentu dan untuk menontonnya perlu berlangganan berbayar di aplikasi OTT. Sedangkan, situs streaming yang banyak bertebaran di internet sifatnya ilegal karena melanggar hak cipta. Oleh karena itu, terjadi juga pergeseran budaya menonton film streaming dari situs ilegal ke platform OTT.
Peran Platform Over-The-Top (OTT) sebagai Media Menonton Online di Era Digital
Kehadiran platform OTT sangat memudahkan para penikmat film, sebagaimana konsep modernisasi, bahwa dengan OTT mereka tidak perlu membuang waktu, tenaga, dan biaya yang lebih besar seperti menonton di bioskop. Platform OTT menawarkan kenyamanan dan kebebasan bagi para penggunanya untuk mengakses dan menonton sepuasnya tanpa batas dengan harga terjangkau dan tidak menyalahi hak cipta.Â
Meski begitu, penayangan suatu film tetap memiliki jangka waktu tertentu di aplikasi OTT terkait. Kemudahan-kemudahan tersebut diterima dengan sangat baik oleh masyarakat, khususnya di Indonesia.Â
Tidak jarang ditemukan mereka yang berlangganan salah satu atau lebih aplikasi OTT sekaligus. Hal ini yang menjadi salah satu faktor terjadinya pergeseran budaya menonton film.Â
Dari yang sebelumnya masyarakat harus ke bioskop sebagai satu-satunya cara menonton film yang baru tayang secara legal berubah karena adanya pilihan lain, yaitu menunggu filmnya tayang di aplikasi OTT.
Semakin meningkatnya konsumen film, ditambah lagi dengan kondisi pandemi Covid-19 sejak 2019 lalu, penggunaan platform OTT dapat dikatakan semakin menjadi unggulan di kalangan kreator dan penikmat film. Bagi para kreator, platform OTT menjadi media alternatif untuk menayangkan karya-karya mereka dengan sasaran penonton yang lebih luas.Â
Sedangkan, bagi para penikmat film, mereka tidak perlu takut keluar rumah untuk sekedar menonton film, tetapi bisa melalui gadget dan streaming di rumah. Terlebih lagi saat ini banyak sekali kreator baru bermunculan dan menayangkan karya-karya terbaiknya di berbagai platform OTT yang cukup bervariasi di Indonesia.Â
Pengguna OTT juga bukan hanya berasal dari kalangan anak muda, bahkan para orang tua juga berlangganan agar bisa menonton ulang film-film yang diinginkan.
Meningkatkan Pembangunan Ekonomi Digital melalui Platform Over-The-Top (OTT)
Di era digital ini, platform OTT menjadi salah satu produk yang diunggulkan dalam meningkatkan perekonomian digital nasional. Salah satu platform OTT, yaitu Netflix memiliki jumlah pelanggan hampir 1 juta per tahun 2021 di Indonesia (databoks.katadata.co.id).Â
Selain itu, Disney Hotstar juga dikabarkan jumlah pelanggannya menyaingi Netflix dengan angka mencapai 2.5 juta pelanggan berbayar per tahun 2021. Jumlah pengguna aplikasi streaming film dari tahun ke tahun hampir selalu mengalami peningkatan.
Menurut Aliloupour (2016) dalam Laily (2021), pergeseran budaya menonton film dari konvensional ke digital didorong oleh aplikasi OTT yang menawarkan variasi dan jumlah film yang dapat diakses dari berbagai negara serta perbandingan harga yang lebih murah daripada bioskop.Â
Aplikasi OTT memberikan akses untuk menonton berbagai macam film dari hampir seluruh negara hanya dengan membayar satu kali per bulannya. Di Indonesia, rentang harga berlangganan berbagai aplikasi OTT mulai dari Rp 20 ribu hingga diatas Rp 180 ribu per bulan.Â
Sedangkan, untuk menonton film di bioskop harga tiketnya berkisar Rp 30-60 ribu per film. Perbandingan ini cukup menjadi bahan pertimbangan bagi masyarakat untuk menonton film, pilihan mana yang lebih hemat dan efisien tanpa mengubah esensinya.
Berdasarkan data di atas, dapat diperkirakan jumlah pendapatan yang diperoleh dari pergeseran budaya menonton film melalui platform OTT sangat besar. Bagi perusahaan-perusahaan yang menjalankan platform OTT tersebut, penggunaan layanan streaming ini menghasilkan keuntungan dengan jumlah milyar dalam setahun.Â
Angka yang sangat besar dan menguntungkan tersebut dilihat sebagai peluang oleh negara Indonesia. Terlebih saat pandemi, jumlah pelanggan layanan OTT terus mengalami peningkatan. Hal ini kemudian dirumuskan negara untuk bagaimana caranya mendapatkan penerimaan dari keberadaan platform OTT melalui pajak.
Negara mendapatkan penerimaan atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) salah satunya melalui pajak. Selain e-commerce, layanan streaming atau SVOD termasuk salah satu bagian dari Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.
 Negara menetapkan platform OTT dikenakan pajak sejak Juli-Agustus 2020 dengan kategori PMSE yang tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 48/PMK.03/2020 (peraturannya). Produk digital termasuk platform OTT ini dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10%.Â
Dalam prosesnya, memang negara masih memiliki keraguan dan kesulitan dalam menetapkan pajak pada platform OTT. Awalnya, pajak 10% dikenakan pada pelanggan secara langsung sehingga biaya yang dikeluarkan lebih besar dan cukup mempengaruhi pertimbangan masyarakat untuk berlangganan. Hingga saat ini, beberapa platform OTT diketahui telah menarifkan biaya berlangganan tanpa menambahkan pajak.Â
Dalam arti ketika pelanggan bertransaksi, tidak tercantum penambahan pajak sebesar 10% di rincian transaksinya.
Berdasarkan data diatas, dapat dilihat bahwa pergeseran budaya menonton film melalui platform OTT memberikan peluang besar bagi negara untuk mendapatkan penghasilan. Dibandingkan dengan ketika masyarakat hanya menonton melalui bioskop, dengan besaran pajak yang sama tetap tidak lebih besar daripada penghasilan dari platform OTT.Â
Hal ini karena jumlah pengguna platform OTT lebih besar dan terus meningkat setiap tahunnya daripada penonton bioskop yang jumlahnya naik turun pada setiap film yang ditayangkan.
Jika dianalisis lebih jauh, kehadiran platform OTT menjadi alternatif media bagi para kreator film dan serial untuk merilis karyanya. Platform OTT membuka peluang bagi para kreator film dan serial untuk mendapatkan lebih banyak penonton, baik dari dalam negeri maupun luar negeri sekalipun.Â
Beragam platform OTT yang tersedia di Indonesia juga memudahkan para kreator senior hingga pemula untuk mempromosikan karya mereka. Persaingan pun tidak terlalu ketat karena banyaknya pilihan media aplikasi OTT yang bisa digunakan.Â
Bahkan jika ditelusuri lebih lanjut, kehadiran platform OTT sebagai bagian dari ekonomi digital justru mengurangi persaingan bisnis yang ketat. Hal ini karena alih-alih bersaing, mereka justru bekerja sama untuk mensukseskan satu sama lain. Ini yang kemudian menjadi hubungan mutualisme di antara para kreator.
Bagi para penikmat film dan serial, kehadiran platform OTT menjadi salah satu media yang diprioritaskan. Layanan streaming video on-demand (SVOD) memperbolehkan mereka menonton kapan saja, dimana saja, dan melalui media apa saja. Ini yang menjadi nilai plus karena mereka tidak perlu membuang waktu dan tenaga untuk pergi ke bioskop.Â
Harga yang terjangkau dan sepadan dengan keuntungan yang didapat dari layanan OTT juga mendorong masyarakat untuk berlangganan. Selain itu, platform OTT juga memberikan akses bagi para pengguna untuk menonton film dan serial dari berbagai negara hanya dengan sekali bayar per bulan.
Hubungan para kreator dan penikmat film saling berkaitan dan timbal balik. Para kreator membutuhkan penonton agar karyanya laku dan berhasil di pasaran sehingga mereka bisa mendapat balik modal. Para penikmat film membutuhkan kreator untuk memenuhi kebutuhan hiburan mereka.Â
Melalui platform OTT sebagai penghubung baru antara kreator dan penikmat film di era digital ini, mereka sama-sama mendapatkan keuntungan. Keuntungan berupa uang tentu didapatkan oleh para kreator.Â
Dari sinilah negara mendapatkan penghasilan. Para kreator harus membayar pajak untuk segala kebutuhan syuting yang sebagiannya mungkin telah termasuk dalam barang atau jasa yang dibeli. Pajak-pajak tersebut masuk ke keuangan negara sebagai anggaran pendapatan.
Lebih lanjut, setelah karyanya masuk ke berbagai platform OTT yang telah dikenakan pajak kategori PMSE, negara kembali mendapatkan penghasilan dari perdagangan ini. Platform OTT sendiri yang berjalan di Indonesia berjumlah lebih dari 5 aplikasi.Â
Jika masing-masing aplikasi digunakan oleh orang yang sama dalam waktu yang sama, tentu pendapatannya semakin berlipat ganda, ditambah lagi biaya langganan tiap aplikasi bervariasi. Sebagai contoh, aplikasi Netflix dan Disney digunakan oleh 1 orang pada waktu yang sama selama satu tahun. Penghasilan masing-masing aplikasi yang dikenakan pajak 10% dapat terhitung sangat besar bagi negara.
Dengan begitu, penghasilan negara dari penggunaan platform OTT dapat dikatakan sangat sukses dan akan terus meningkat seiring dengan peningkatan pelanggan berbayar tiap-tiap aplikasi. Penghasilan negara ini kemudian dapat dikategorikan ke dalam penghasilan di bidang ekonomi digital.Â
Ekonomi digital merupakan bidang ekonomi yang berjalan dan menghasilkan keuntungan melalui platform digital. Dapat dikatakan bahwa pergeseran budaya menonton film melalui platform OTT sangat menguntungkan bagi negara dalam meningkatkan perekonomian melalui digital. Dengan platform OTT, negara dapat bersaing dengan negara berkembang lainnya dan mengejar negara maju dalam hal ekonomi dan teknologi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H