Mohon tunggu...
Nandya DS
Nandya DS Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN Jakarta

Interested in social media fields and have eager to learn new things.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Budaya Menonton Melalui Platform Over-The-Top (OTT) dalam Meningkatkan Pembangunan Ekonomi Digital

26 Juni 2022   15:02 Diperbarui: 26 Juni 2022   15:17 1545
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di era digital ini, platform OTT menjadi salah satu produk yang diunggulkan dalam meningkatkan perekonomian digital nasional. Salah satu platform OTT, yaitu Netflix memiliki jumlah pelanggan hampir 1 juta per tahun 2021 di Indonesia (databoks.katadata.co.id). 

Selain itu, Disney Hotstar juga dikabarkan jumlah pelanggannya menyaingi Netflix dengan angka mencapai 2.5 juta pelanggan berbayar per tahun 2021. Jumlah pengguna aplikasi streaming film dari tahun ke tahun hampir selalu mengalami peningkatan.

Menurut Aliloupour (2016) dalam Laily (2021), pergeseran budaya menonton film dari konvensional ke digital didorong oleh aplikasi OTT yang menawarkan variasi dan jumlah film yang dapat diakses dari berbagai negara serta perbandingan harga yang lebih murah daripada bioskop. 

Aplikasi OTT memberikan akses untuk menonton berbagai macam film dari hampir seluruh negara hanya dengan membayar satu kali per bulannya. Di Indonesia, rentang harga berlangganan berbagai aplikasi OTT mulai dari Rp 20 ribu hingga diatas Rp 180 ribu per bulan. 

Sedangkan, untuk menonton film di bioskop harga tiketnya berkisar Rp 30-60 ribu per film. Perbandingan ini cukup menjadi bahan pertimbangan bagi masyarakat untuk menonton film, pilihan mana yang lebih hemat dan efisien tanpa mengubah esensinya.

Berdasarkan data di atas, dapat diperkirakan jumlah pendapatan yang diperoleh dari pergeseran budaya menonton film melalui platform OTT sangat besar. Bagi perusahaan-perusahaan yang menjalankan platform OTT tersebut, penggunaan layanan streaming ini menghasilkan keuntungan dengan jumlah milyar dalam setahun. 

Angka yang sangat besar dan menguntungkan tersebut dilihat sebagai peluang oleh negara Indonesia. Terlebih saat pandemi, jumlah pelanggan layanan OTT terus mengalami peningkatan. Hal ini kemudian dirumuskan negara untuk bagaimana caranya mendapatkan penerimaan dari keberadaan platform OTT melalui pajak.

Negara mendapatkan penerimaan atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) salah satunya melalui pajak. Selain e-commerce, layanan streaming atau SVOD termasuk salah satu bagian dari Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.

 Negara menetapkan platform OTT dikenakan pajak sejak Juli-Agustus 2020 dengan kategori PMSE yang tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 48/PMK.03/2020 (peraturannya). Produk digital termasuk platform OTT ini dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10%. 

Dalam prosesnya, memang negara masih memiliki keraguan dan kesulitan dalam menetapkan pajak pada platform OTT. Awalnya, pajak 10% dikenakan pada pelanggan secara langsung sehingga biaya yang dikeluarkan lebih besar dan cukup mempengaruhi pertimbangan masyarakat untuk berlangganan. Hingga saat ini, beberapa platform OTT diketahui telah menarifkan biaya berlangganan tanpa menambahkan pajak. 

Dalam arti ketika pelanggan bertransaksi, tidak tercantum penambahan pajak sebesar 10% di rincian transaksinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun