Musim lebaran 2024, ada cerita sedih menangis di hati.
   Kenapa? Karena kisah nyata yang di tulis di media berita online seakan  terasa menjadi takdir pribadi .
   Di mulai seorang komedian muda yang wafat karena auto imun kemudian ada penyanyi muda yang menyusul saudari kembarnya ke surga.
   Umur mereka belum empat puluh tahun namun sudah saatnya untuk pindah ke dunia lain.Â
   Memang mereka berbeda suku (suku Batak ) dan sang vocalis juga nonis , tapi rasa di hati saya seperti menangis.
   Mereka bukan orang dekat secara darah. Mungkin ini hasil dari penulisan artikel yang hebat sehingga mampu menyentuh emosi sang pembaca media berita online tersebut.
   Selanjutnya ada kisah sedih dari jalan bebas hambatan yang akhirnya menjadi hambatan untuk mencapai tujuan akhir yaitu kampung halaman.
  Ada musibah banjir air mata akibat lalainya si pengemudi seketika membawa mobil berpenumpang mudik.
   Karena ada paksaan dari logika dan mungkin ada rayuan indah dari pimpinan akhirnya rasa paksaan berubah harus menjadi rasa enak.
   Kita semua sepakat bahwa pada hari lebaran, kita harus terlihat sedap di pandang mata dan pantang terlihat mirip kaum lusuh.
   Hal ini penting karena rasa indah pada saat hari suci bisa lenyap . Pertemuan antar saudara sedarah bagaikan kumpulan calon siswa baru di sekolah.
   Banyak orang tapi sepi kehangatan dan kaku.
   Mau nggak mau, suka nggak suka akhirnya jadi nekat karena tuntutan keadaan.
   Lautan dalam akan ku sebrangi, gunung tinggi harus ku daki demi cinta kepada anak dan istri.
   Hanya untuk nilai harga diri pada suasana idul Fitri, tak peduli aturan yang menghambat.
   Walau tubuh minta tidur namun logika terus menggonggong agar punya uang banyak.
   Tapi manusia biasa tetap menjadi manusia biasa.
   Walau berjuang keras namun ada takdir yang tak bisa di tolak.
   Untungnya tak bisa di raih musibah tak bisa di tolak.
   Ada beberapa penumpang yang harusnya bertemu keluarga di kampung halaman ternyata berpisah untuk selamanya.
   Rasa bahagia bertemu dengan orang tersayang namun berubah suasana karena terjadi perpisahan.
   Bertemu dengan senyuman yang tulus tapi yang terlihat oleh mata ada bungkus terakhir menuju rumah terakhir.
   Dua kisah tadi mirip rasa ketupat dan lontong yang di makan tanpa kuah sayur juga kerupuk.
   Hambar dan membuat rasa mual.Â
   Semoga di tahun depan para pemimpin jiwa yang haus akan kebahagiaan bisa mendapatkan usulan cemerlang akan rasa nyaman. Semoga.
   Mari kita berdoa.
 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H