Pada tahun itu situasi politik sangat genting. Harga kebutuhan pokok melambung tinggi. Nilai mata uang Rupiah anjlok terhadap Dollar Amerika. Dan resesi ekonomi melanda juga negara wilayah asia lain.
Pemecatan pekerja kerah biru dan kerah putih terjadi dengan jumlah menakutkan. Ada kemacetan pembayaran kredit dalam jumlah banyak dari dunia usaha.
Banyak informasi tentang unjuk rasa untuk menggantikan penguasa dari media cetak. Banyak koran yang bandel tetap memberi informasi gerakan anti pemerintah walau di wilayah televisi informasi tersebut tak tampak.
Dari media radio khususnya radio anti pemerintah menjadi bersemangat memberi informasi aksi mahasiswa sembilan puluh delapan.
Selanjutnya rezim politik berganti. Kekuasaan di bidang informasi yang hanya di miliki oleh pemerintah pusat berubah ke arah pemilik media informasi.
Dahulu informasi harus melalui saringan politik di pihak pemerintah pusat, agar situasi keamanan politik tidak terganggu. Karena Presiden Republik Indonesia ke dua adalah orang yang kenyang dengan goncangan stabilitas keamanan negara. Pastinya beliau merasa bosan dan jengkel terganggu dari informasi yang tak pantas.
Makanya pada kondisi politik orde baru sering terjadi penutupan usaha media dan penangkapan wartawan yang bercerita horor.
Di era reformasi politik kebebasan informasi dilindungi oleh undang-undang.
Karena merasa bebas memberi informasi sering terjadi pemberitaan yang terlalu kejam sehingga melahirkan istilah berita bohong. Informasi yang di sebarkan tanpa data-data yang kuat.
Ternyata informasi itu tidak di dukung oleh arsip yang memadai dan di anggap telah melanggar hukum positif  maka jadilah informasi fitnah yang berlanjut ke ruang pengadilan.
Sekarang semua orang bisa jadi wartawan karena media sosial bisa menjadi alat penyebaran informasi. Sekarang semua orang bisa jadi redaktur berita dengan modal telepon pintar. Sekarang semua orang bisa jadi pemilik media cuma pakai pulsa internet.