Beberapa waktu yang lalu muncul usulan dari para politisi pintar dan baik hati untuk memulangkan anak-anak dari orang tua berdarah Indonesia yang bergabung dengan kelompok ISIS.
      Namun usulan tersebut terhambat oleh perdebatan tentang hak azasi manusia.
      Adalah pemikiran tentang hak azasi manusia bahwa setiap individu berhak mendapatkan perlindungan dari negara.
      Lalu yang menjadi inti masalah adalah siapa pihak yang tidak peduli dengan hak azasi manusia. Setiap pihak yang mendukung dan anti pemulangan anak-anak dari  orang tua yang terlibat ISIS di negara Suriah memberikan data kuat kenapa harus ada sikap toleransi.
      Bagi pihak yang mendukung sikap pemulangan anak-anak dari orang tua Warga Indonesia pendukung ISIS di Suriah memberikan alasan bahwa, anak-anak itu masih bersih dari pemikiran terorisme.
      Sedangkan pihak yang anti pemulangan beralasan bahwa, anak-anak tersebut sudah terpengaruh pemikiran terorisme yang bisa menjadi ancaman baru sehingga menambah beban pemerintah saat ini.
      Cerita itu membuat otak kanan dan kiri saya berdebat pula.
      Saya masih ingat ketika masih di sekolah dasar tentang nasehat dari orang tua sendiri untuk jangan bermain dengan anak nakal dan anak bodoh.
      Karena dengan saya bermain anak nakal dan anak bodoh maka saya pasti jadi anak nakal dan anak bodoh.
      Orang tua ingin saya jadi anak pintar dan santun sehingga mampu membanggakan harga diri mereka.
      Akhirnya saya ikut saja apa yang mereka katakan karena berbakti kepada orang tua bisa masuk surga.
      Ketika masuk umur empat puluh tahun tanpa sadar saya mulai berfikir hidup itu untuk apa?
      Bahkan sempat berfikir kenapa Tuhan mencipta iblis si biang kerok penghancur hamba sang pencipta.
      Dua cerita di atas terjadi saat saya duduk bengong sesaat di kamar mandi.
      Pelan-pelan selama lima tahun sepertinya saya punya jawaban.
      Rupanya manusia hidup itu harus berfikir kritis dan berfikir kreatif.
      Nah saya pun berfikir pula tentang usulan pemulangan anak-anak keturunan Indonesia dari orang tua pengikut ISIS.
      Tapi kisah pilu tentang anak-anak itu menjadi nasehat bagi saya yang sudah punya dua jagoan ganteng.
      Bahwa menjadi orang tua bukan berarti menjadi manusia paling pintar, bukan berarti menjadi manusia paling berkuasa, bukan berarti menjadi manusia paling suci di antara manusia lain.
      Menjadi orang tua harus tetap belajar membaca buku, jangan sombong, kadang-kadang harus mengalah dengan argumen sang anak. Biar tidak tersesat logika.
      Terasa sedih melihat anak-anak yang menjadi korban bencana politik. Mereka bingung dengan realita hidup. Mereka hidup dengan derita yang entah kapan berakhir.
      Mereka bisa punya pertanyaan rahasia pribadi, kenapa ini terjadi.
      Padahal mereka berusaha berbuat baik untuk membuat bangga orang tua sendiri. Anak-anak itu sudah berbuat baik yang benar menurut adat tradisional dan agama.
      Namun semakin hari rasa bahagia berkurang. Berganti rasa sedih yang harus di terima dengan hati terpaksa.
      Memang benar ucapan suci nabi terakhir dari agama Islam, Nabi Muhammad SAW.
      Jangan menghina suatu kaum. Bisa jadi kaum itu lebih baik dari kamu.
      Anak-anak punya takdir sendiri. Orang tua hanya penuntun gelapnya cerita hidup. Orang tua harus membawa generasi penerus menjadi pemenang yang mulia.
      Orang tua harus tahu bahwa anak-anak bukan dijadikan teroris. Bahwa mereka bukan alat pemusnah massal.
      When the children cry, give them a love.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI