Antara Klopp dan Guardiola?
Jika kita menyebut deretan pelatih di Liga Inggris, nama Guardiola dan Klopp berada di barisan teratas. Keduanya sangat sulit untuk ditentukan siapa yang sangat layak menjadi nomor satu; pasalnya, mereka sudah memberikan trofi bagi klubnya masing-masing, baik sekarang, maupun sebelumnya.
Memang jika ditilik secara historis, nama Guardiola bisa dipromosikan menjadi nomor satu. Sebab, sejak 2009 dan bersama FC Barcelona, Guardiola layak duduk dibangku Top One, menggeser Ferguson yang mengantar "Setan Merah" meraih piala "Si Kuping Lebar" pada tahun sebelumnya.
Namun, dua tahun terakhir nama Klopp mulai menggema di Enfield, perlahan-lahan di tanah Britania Raya, hingga ke seantero dunia. Indonesia, termasuk yang sangat familiar dengan nama Klopp dan mengabadikannya dalam sejarah sepak bola bangsa.
Buktinya, sentuhan magis Klopp mengantar Liverpool menjadi juara Liga Champion dan Piala Dunia antar klub. Lantas, antara Klopp dan Guardiola, siapa yang layak berada di nomor satu?
"Para Tamu" Yang Merepotkan
Hegemoni Klopp dan Guardiola terganggu sejak kedatangan "para tamu" yang merepotkan. Sebut saja kedatangan Conte di Stanford Bridge. Pasalnya, hanya butuh dua tahun melatih, dia langsung mempersembahkan trofi Liga Inggris dan Piala FA bagi "The Blues". Rekor yang fantastis. Nama Conte langsung mencuat dan menggema.
Namun memasuki tahun ketiga, Conte dipecat lantaran performa "The Blues" yang merosot drastis. Nama Conte yang tenggelam itu diikuti oleh "The Special One" alias Mourinho. Mourinho juga memiliki kenangan manis sejak melatih "Setan Merah", namun gaya permainannya yang menjadi "juru parkir" membuat bos "Setan Merah" ikut memarkirkan (baca: memecat) dirinya.
Selain itu, Pochettino juga tak bisa dilupakan begitu saja. Dia hampir mempersembahkan trofi "Si Kuping Lebar" bagi mantan klubnya, Tottenham Hotspur. Nama, maurizio Sarri hanya mirip hantu yang membuat heboh Liga Inggris. Gaya permainannya yang terkenal dengan istilah "Bola Sarri" tidak berlaku di tanah Britania Raya.
Tak lama kemudian, gaya permainannya itu tiba-tiba bergaung di tanah Negeri "Pizza", Italia bersama Ronaldo, dkk. Akhirnya, dibalik nama-nama besar yang pernah duduk bangku kepelatihan Liga Top Inggris, Claudio Ranieri tetap menjadi legenda di dalam hati fans "Si Rubah", Leicester, dan Ferguson, serta Wenger tetap abadi.
Ledakan Amunisi "Meriam London"
Liga Inggris masih menjadi Liga Top One, jika dibandingkan Lima Liga Top Eropa. Faktor utamanya, hemat saya, adalah barisan pemain yang berkelas dan pelatih yang super power. Ironisnya, jika klub-klub Liga Inggris keluar dari ranah Liganya sendiri, mereka tak berkutik dengan hegemoni klub-klub asal negeri "Matador", Spanyol.
Namun, beberapa tahun terakhir klun Inggris mulai "unjuk gigi". Tahun lalu, 2019, taring tim Liga Inggris tiba-tiba tajam dan mematikan lawan-lawannya. Liverpool menjadi perwakilan utama bersama sentuhan Kloop.
Kini, di tahun baru, Liga Inggris kembali memberikan tontonan dramatis. Drama dimulai ketika bos Spurs memilih Mourinho melatih klubnya, hal ini diikuti oleh Lampard-mantan Legenda Chelsea- kembali reuni di "rumahnya" itu; kedatangan Lampard disusul oleh Anceloti yang menangani Everton.
Selain itu mantan "sang mesias", David Moyes, kembali ditunjuk dan diagungkan kembali guna mengulangi aksi penyelamatannya bersama West Ham United. Hal ini juga disusul oleh MU yang mempertahankan Solksjaer, dan ingin melihat senyumnya yang "imut" itu di kota Manchester.
Nama Brendan Rodgers bersama Leicester harus diwaspadai, pasalnya mereka terus menghantui Liverpool di urutan teratas. Jika saja Liverpool kewalahan melawan tim lawan, bisa saja Rodgers dan pasukannya mengulang memori manis bersama Ranieri.
Selain nama-nama hebat itu, lantas bagaimana dengan Mikel Arteta? Pelatih yang masih dijuluki si baby atau pendatang baru di Liga Inggris? Tentu dia masih dipandang sebelah mana, jika dibandingkan nama-nama hebat di atas. Namun, ilmu "tiki-taka" dan sihir a la Guardiola telah ditimbanya saat melatih Manchester City.
Kesetiaannya mendampingi M. City berbuah manis dengan pelbagai rekor dan trofi bersama ketuanya Guardiola. Kini, ilmu yang ia dapatkan itu akan dipraktekan bersama mantan klubnya, Arsenal. Kedatangan Arteta menjadi amunisi ampuh "Meriam London". Dia ingin menyulap "Meriam London" mirip dengan "Meriam" Portugis yang merobohkan tembok-tembok kokoh sang lawan. Sebut saja "Setan Merah" yang menjadi korban perdana keampuhan ledakan "Meriam London". Kemenangan 2-0 atas MU, membuat Arsenal naik ke papan tengah klasmen Liga Inggris.
Selanjutnya, Arteta akan meledakan tembok pertahan saat menjamu Leeds United pada piala FA. Bagaimana hasilnya? Kita nantikan saja, apakah Arteta akan kembali memberikan kado terindah atau malah amunisinya menjadi bumerang yang akan meruntuhkan tembok pertahanannya sendiri. Kita tunggu saja!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H