Mohon tunggu...
M Ali Fernandez
M Ali Fernandez Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat Konsultan Hukum

S1 Hukum Pidana UIN Jakarta (Skripsi Terkait Tindak Pidana Korupsi) S2 Hukum Pidana Program Pasca UMJ (Tesis Terkait Tindak Pidana Pencucian Uang) Konsultan Hukum/Lawyer (081383724254) Motto : Yakusa

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Pembelaan Diri dalam Konstruksi Perbuatan dan Pertanggungjawaban Pidana

8 Agustus 2022   07:17 Diperbarui: 8 Agustus 2022   07:19 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh : Muhammad Ali Fernandez, SHI., MH.

Istilah bela diri atau pembelaan terpaksa santer dan nyaring terdengar seiring mencuatnya kasus meninggalnya Brigardir J, di rumah dinas IrjenPol. Ferdy Sambo. Bharada E yang diduga melakukan penembakan terhadap Brigadir J, diduga melakukan itu karena adanya serangan tembakan terhadap dirinya terlebih dahulu. Meskipun, ini harus dibuktikan melalui serangkaian penyelidikan dan penyidikan oleh Tim Khusus Bareskrim Polri, tetapi linimasa pemberitaan masyarakat terlanjur ramai dengan hiruk pikuk isu ini.

Salah satu pertanyaan publik adalah, Apakah perbuatan Bharada E melakukan pembelaan diri dibenarkan secara hukum? Bagaimana sesungguhnya hukum pidana mengatur hal tersebut.

1. Perbuatan Pidana (Actus Reus)

Dalam ajaran dualistis, seseorang dapat dikategorikan melakukan perbuatan pidana (actus reus) jika telah terpenuhinya tiga hal yaitu:

a. Adanya perbuatan yang memenuhi unsur delik.

b. Perbuatan tersebut terkandung unsur sifat melawan hukum materil.

c. Tidak adanya alasan pembenar.

Perbuatan seseorang masuk kualifikasi unsur pidana jika setelah di cocoki dengan unsur delik, semuanya sesuai dan terpenuhi. Baik itu delik materil, delik yang hanya mensyarakat terciptanya akibat perbuatan atau delik formil yaitu delik yang mengharuskan terpenuhi semua elemen dalam Pasal tindak pidana tersebut. Kadang kala untuk terpenuhinya suatu perbuatan mengharusnya subyek tertentu, misal pejabat negara dalam tindak pidana korupsi.

Adanya sifat melawan hukum materil bermakna perbuatan tersebut dipandang oleh masyarakat sebagai itu perbuatan yang benar-benar tidak patut dan tidak boleh dilakukan. Masyarakat menilai suatu perbuatan itu tercela dan tidak boleh dilakukan karena menggangu rasa keadilan masyarakat.

Sementara itu alasan pembenar, dapat dimaknai sebagai alasan yang menghapus sifat melawan hukum perbuatan sehingga perbuatan terdakwa menjadi perbautan yang patut dan dapat dibenarkan. Hal itu antara lain pembelaan terpaksa (49 ayat 1 KUHP), menjalankan perintah Undang-undang, Pasal 50 KUHP dan menjalankan perintah jabatan (Pasal 51 ayat (1) KUHP).

2. Pertanggungjawaban Pidana 

Meskipun seseorang telah memenuhi unsur perbuatan pidana atau telah melakukan seluruh bagian perbuatan pidana sebagaimana diatas, namun belum tentu dapat dipertanggungjawabankan perbuatan itu padanya. Itu tergantung pada hal lain yaitu :

a. Orang itu memiliki kemampuan bertanggung jawab

b. Adanya Kesalahan berwujud Kesengajaan atau Kelalaian

c. Tidak adanya alasan pemaaf

Kemampuan bertanggungjawab dimaknai orang tersebut baligh (dewasa) berakal, dalam keadaan sadar tidak gila. Sementara kesalahan itu terkait sikap batin pelaku saat melakukan perbuatan pidana yang tercerminkan dalam bentuk kesengajaan dan kelalaian. Panjang lebar akan kita bahas pada bagian lain mengenai hal ini.

Yang terakhir adalah tidak adanya alasan pemaaf yaitu alasan yang menghapus kesalahan yang diperbuatan pelaku tindak pidana. Hal itu adalah ketidakmampuan bertanggungjawaban (Pasal 44 KUHP), daya paksa (overmacht) (Pasal 48 KUHP), pembelaan terpaksa yang melampaui batas (Pasal 49 ayat 2 KUHP), menjalankan perintah jabatan tanpa wewenang (Pasal 51 ayat 2 KUHP).

3. Perbuatan Bharada E  

Jika kita mengacu pada pemberitaan awal yang berkembang sebelum penyelidikan diambil alih oleh Mabes Polri, Brigadir J menembak terlebih dahulu, baru kemudian Bharada E melakukan tembakan balasan, sehingga menyebabkan kematian Brigadir J. (Note : Konstruksi ini masih belum tentu benar, dan diuji oleh penyelidikan dan penyidikan Tim Khusus Mabes Polri) maka perbuatan tersebut dapat diklasifikasikan sebagai pertama, pembelaan pembelaan terpaksa (49 ayat 1 KUHP), kedua, menjalankan perintah Undang-undang, Pasal 50 KUHP dan ketiga menjalankan perintah jabatan (Pasal 51 ayat (1) KUHP).

Perbuatan itu menghapus sifat melawan hukum atas adanya tindak pidana merampas nyawa yang ada . Namun, jika penetapan tersangka merampas nyawa (pembunuhan) sebagaimana disampaikan Mabes Polri sebagaimana dimaksud Pasal 338 jo. 55 jo. 56 tanpa ada embel-embel pembelaan diri, maka konstruksi peristiwanya bukan seperti diatas dan konsekwensinya perbuatan Bharada E tidak dapat dikategorikan pembelaan diri.

Pembelaan diri berkenaan dengan unsur obyektif pada saat peristiwa terjadi. Jika ada pembelaan diri, perintah UU atau perintah jabatan maka perbuatan itu sesungguhnya dibenarkan oleh pandangan masyarakat. Contoh yang kerap terjadi adalah penembakan terhadap pelaku tindak pidana terorisme. Polisi yang bersenjata khusus melakukan tembak menembak dengan teroris baik dengan pistol atau senjata lain. Jika teroris tersebut tertembak dan meninggal maka terhadap polisi tersebut sama sekali tidak dapat dikategorikan melakukan tindak pidana merampas nyawa atau pembunuhan.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun