2. Pertanggungjawaban PidanaÂ
Meskipun seseorang telah memenuhi unsur perbuatan pidana atau telah melakukan seluruh bagian perbuatan pidana sebagaimana diatas, namun belum tentu dapat dipertanggungjawabankan perbuatan itu padanya. Itu tergantung pada hal lain yaitu :
a. Orang itu memiliki kemampuan bertanggung jawab
b. Adanya Kesalahan berwujud Kesengajaan atau Kelalaian
c. Tidak adanya alasan pemaaf
Kemampuan bertanggungjawab dimaknai orang tersebut baligh (dewasa) berakal, dalam keadaan sadar tidak gila. Sementara kesalahan itu terkait sikap batin pelaku saat melakukan perbuatan pidana yang tercerminkan dalam bentuk kesengajaan dan kelalaian. Panjang lebar akan kita bahas pada bagian lain mengenai hal ini.
Yang terakhir adalah tidak adanya alasan pemaaf yaitu alasan yang menghapus kesalahan yang diperbuatan pelaku tindak pidana. Hal itu adalah ketidakmampuan bertanggungjawaban (Pasal 44 KUHP), daya paksa (overmacht) (Pasal 48 KUHP), pembelaan terpaksa yang melampaui batas (Pasal 49 ayat 2 KUHP), menjalankan perintah jabatan tanpa wewenang (Pasal 51 ayat 2 KUHP).
3. Perbuatan Bharada EÂ Â
Jika kita mengacu pada pemberitaan awal yang berkembang sebelum penyelidikan diambil alih oleh Mabes Polri, Brigadir J menembak terlebih dahulu, baru kemudian Bharada E melakukan tembakan balasan, sehingga menyebabkan kematian Brigadir J. (Note : Konstruksi ini masih belum tentu benar, dan diuji oleh penyelidikan dan penyidikan Tim Khusus Mabes Polri) maka perbuatan tersebut dapat diklasifikasikan sebagai pertama, pembelaan pembelaan terpaksa (49 ayat 1 KUHP), kedua, menjalankan perintah Undang-undang, Pasal 50 KUHP dan ketiga menjalankan perintah jabatan (Pasal 51 ayat (1) KUHP).
Perbuatan itu menghapus sifat melawan hukum atas adanya tindak pidana merampas nyawa yang ada . Namun, jika penetapan tersangka merampas nyawa (pembunuhan) sebagaimana disampaikan Mabes Polri sebagaimana dimaksud Pasal 338 jo. 55 jo. 56 tanpa ada embel-embel pembelaan diri, maka konstruksi peristiwanya bukan seperti diatas dan konsekwensinya perbuatan Bharada E tidak dapat dikategorikan pembelaan diri.
Pembelaan diri berkenaan dengan unsur obyektif pada saat peristiwa terjadi. Jika ada pembelaan diri, perintah UU atau perintah jabatan maka perbuatan itu sesungguhnya dibenarkan oleh pandangan masyarakat. Contoh yang kerap terjadi adalah penembakan terhadap pelaku tindak pidana terorisme. Polisi yang bersenjata khusus melakukan tembak menembak dengan teroris baik dengan pistol atau senjata lain. Jika teroris tersebut tertembak dan meninggal maka terhadap polisi tersebut sama sekali tidak dapat dikategorikan melakukan tindak pidana merampas nyawa atau pembunuhan. Â