Sejak kecil kita sudah diajari mengenai Pancasila dan sila-silanya. Mulai dari jaman ayah saya dahulu (yang namanya masih P4) hingga jaman anak-anak abad 21 seperti saya ini, yang disosialisasikan dalam mata pelajaran PPKn (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan). Tetapi sekarang sudah berubah dan omong-omong, pernahkah terpikir di benak kita bahwa seiring berjalannya waktu, setiap sila yang terdapat di Pancasila semakin sulit untuk direalisasikan?
Ya, hal itu sendiri tersirat lagi di dalam benak saya setelah mendengar kejadian 4 November silam.
Pada 4 November 2016, kita melihat suatu kejadian yang cukup menakutkan, yakni Aksi Demo Damai II yang berakhir dengan kericuhan. Sebelumnya Aksi Demo yang diprakarsai oleh FPI ini merupakan respon dari isu penistaan Surat Al Maidah oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di Kepulauan Seribu. Jujur, pada waktu itu, waktu saya melihat berita, saya hampir merasa menyesal Indonesia menganut demokrasi, sehingga mengakibatkan demonstrasi tersebut direalisasikan. Â
Lalu, apakah berdemo itu tidak pantas??
Sama sekali tidak. Justru demonstrasi adalah suatu bentuk kritik, dan menurut saya tidak boleh ada yang kebal dari kritik, bahkan untuk Ahok sekalipun.
Tetapi Jika demosntrasi yang didasari permainan politik yang tidak sehat, menggunakan isu SARA, dan mengakibatkan tindakan anarkis dan sikap demonstran yang tanpa etika, hal itu sangatlah memalukan dan tidak pantas. Coba bayangkan, betapa malunya kita sebagai warga negara Indonesia, melakukan aksi yang sangat tidak mencerminkan kepribadian Indonesia kepada masyarakat nasional maupun internasional, mempermalukan Islam, dan menimbulkan rasa takut maupun geram bagi umat atau etnis lainnya. Apakah betul Islam di Indonesia seperti itu?
Tentu saja tidak!Â
Tentu saja itu ulah provokator yang ingin memecah belah bangsa!Â
Tentu saja itu ulah illuminati wahyudi!
..dan lain-lainnya
..dan saya terus berharap itu benar, karena jauh lebih menyedihkan apabila saya sadar kalau negara Indonesia yang saya cintai sama sekali belum siap berkorban, belum siap untuk menjadi negara maju, padahal sudah dipimpin oleh pemimpin-pemimpin yang berintegritas.
Namun melalui peristiwa itu saya mendapatkan pelajaran yang berharga, yakni Pancasila, terutama sila pertama, harus dirombak besar-besaran! bukan secara tekstual formalistik, namun lebih pada pengaplikasian dan paradigma masyarakat. Contoh yang saya maksud adalah seperti jika aksi demo pada 4 November silam dapat menjadi contoh yang memalukan, maka melihat dari sudut lain kita dapat meninggikan martabat, mempertahankan agama dengan mempertahankan negara begitu pula sebaliknya, mempertahankan negara dengan mempertahankan agama.
Dalam sila pertama, kita sudah di wajibkan untuk memiliki keyakinan kepada Tuhan YME yang bersifat mutlak dan tidak langsung. Hal ini sesuai dengan asal mula Pancasila yakni berupa nilai-nilai agama , nilai-nilai kebudayaan, yang telah ada pada bangsa Indonesia sejak zaman nenek moyang, yang harus direalisasikan dalam setiap aspek penyelenggaraan negara untuk hidup dengan berpedoman nilai-nilai yang berasal dari Tuhan, dengan kata lainnya berpedoman dengan nilai-nilai agama. Namun tidak dapat terbantahkan lagi jika keberagaman agama maupun pemeluk agama di Indonesia merupakan sebuah kenyataan, kenyataan yang menuntut adanya kesadaran dari setiap pemeluk agama untuk menjaga keharmonisan hubungan antar umat beragama.
Maka dari itu sebagai umat yang berketuhanan kita harus berupaya menjamin keamanan dan keharmonisan agar Indonesia menjadi tempat tumbuh suburnya kehidupan beragama walaupun dengan keberagaman yang ada. Kita harus bisa taat dalam beragama namun juga waspada dan jeli akan ajakan, sikap, maupun tindakan provokasi, berpegang teguh pada nilai toleransi untuk mengurang kemungkinan terjadinya konflik yang mengatasnamakan agama.
keelah se'lai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H