Entah ini perasaanku saja atau bukan, tapi malam ini teramat sangat dingin bukan main. Dingin ini menusuk kedalam tulangku tanpa perasaan seraya angin membelai wajahku tanpa sentuhan. Oh, serangga-serangga pun tidak mau kalah, mereka saling bersahutan seolah menertawakan kegelisahan yang kurasakan.Â
Namaku... Senja, aku sedang terduduk sendirian di halaman rumahku tanpa teman. Bilang saja aku aneh karena sudah tahu hawa dingin malam ini teramat sangat liar tapi tetap memilih duduk di luar.Â
Senja, nama yang cantik kan? Konon, senja melambangkan pesona dan karisma. Senja juga mengartikan tentang seorang pekerja keras yang memiliki mimpi besar juga semangat yang tidak habis habis! Keren, kan?
Aku juga Senja, tapi mungkin aku tidak terlalu sesuai dengan definisi yang ku sebutkan di atas tadi. Aku memang memiliki mimpi yang besar, namun terkadang aku masih mudah terpatahkan oleh kata kata yang diucapkan oleh orang sekitar. Aku---sedikit lemah.Â
Jujur, aku sedang sangat gelisah malam ini dan sumber kegelisahanku adalah diriku sendiri. Aku cukup sering merasa tidak percaya diri terhadap diriku sendiri dan entah aku tidak tau mengapa. Aku sering bertanya pada diriku sendiri, "Aku ini, sebenarnya bisa apa sih?" dan aku masih belum menemukan jawabannya sampai sekarang.Â
Terlebih, aku adalah pribadi yang cukup mudah terpengaruhi oleh perkataan orang yang berniat menjatuhkanku. Seperti halnya kejadian yang baru saja terjadi padaku beberapa waktu lalu, kawanku bertanya, namanya adalah Pelita, "Rencana kalian setelah ini apa?" yang dijawab oleh temanku yang bernama Nirwana, "Sesuatu yang sesuai dengan bakatku, aku akan coba untuk membuka sebuah toko roti!" lalu aku menyahut, "Aku sih, ingin menerbitkan sebuah novel, tapi entah itu bagaimana caranya."
Dan saat itu, masih ku ingat jelas, salah satu temanku yang ada disitu---dia Guntur, membalas perkataanku, "Kamu serius? aku bahkan tidak yakin kamu bahkan bisa merangkai kata sampai bisa dibukukan seperti itu." katanya sambil tertawa remeh. Pelita menyela, "Apa salahnya? Seseorang dibebaskan untuk memiliki mimpi yang besar, tidak ada larangan sama sekali!" Nirwana pun ikut menjawab, "Kamu ini siapa sih, berani menghakimi seseorang. Merasa dirimu lebih baik, iya?" sentaknya.Â
Aku memutuskan untuk melerai mereka, "Sudah, berhenti. Kalian ini seperti anak kecil saja. Yang dikatakan Guntur memang ada benarnya kok, mungkin, sekarang aku memang belum bisa apa-apa, tapi setidaknya aku masih memiliki niat untuk belajar" ku jawab seperti itu. Mereka semua terdiam.Â
Guntur tidak salah, ya mungkin memang betul aku tidak sepandai itu dalam berimajinasi dan merangkai kata, jadi dia meragukanku. Dan jujur saja, perkataannya cukup menggangguku sampai saat ini. Ditambah ada hal lain yang memang sudah lama aku pikirkan, perkataan Guntur seolah kerikil kecil yang tidak sengaja hadir namun kata kata yang ia keluarkan saat itu seolah menghantui pikiranku tiada hentinya. Bilang aku ini berlebihan, tapi itulah yang aku rasakan.Â
Dan saat ini pun, selain merasakan kegelisahanku saat ini, aku juga memikirkan tentang perkataan Guntur. Pikiranku berkecamuk. Suara-suara di dalam kepalaku saling bersahutan tiada hentinya. Aku larut dalam pikiranku sendiri sampai aku pun tak sadar bahwa adik-ku sudah duduk disebelah ku sedari tadi, namanya Renjana, biasa dipanggil Ana. Ia menyadarkanku, "Kak, ngapain sih? aku tanya sedari tadi tapi tidak dijawab, malah melamun!" aku tersentak dengan sedikit marah, "Sejak kapan kamu disini, mengagetkanku saja!"Â
"Sejak kamu terduduk disini sambil melamunkan entah hal apa itu sampai sampai kamu tidak sadar sudah dipanggil mama sedari tadi." balasnya dengan satu tarikan napas sambil mendelik.