Menjelang peringatan hari Gerakan 30 September1965, masyarakat Indonesia tentu masih ingat dengan kekejaman yang dilakukan oleh PKI (Partai Komunis Indonesia) yang menimbulkan banyak korban jiwa. Dengan melihat bukti sejarah kekejaman G-30 S PKI apakah rakyat Indonesia masih mau mengganti ideologi Pancasila yang sangat istimewa dibandingkan ideology lainya. Penetapan Pancasila sebagai dasar negara yang menghapuskan perbedaan (indifferentism), tetapi merangkum semuanya dalam satu semboyan empiris khas Indonesia yang dinyatakan dalam seloka “Bhinneka Tunggal Ika”. Beberapa sejarah Bukti Kekejaman G 30 S-PKI :
PERISTIWA REVOLUSI SOSIAL DI LANGKAT (9 MARET 1946)
Lahirnya Republik Indonesia belum sepenuhnya diterima oleh kerajaan-kerajaan terutama yang berada di Sumatra Timur. Pada tanggal 3 Maret 1946 terjadilah Revolusi Sosial yang dilakukan oleh PKI yang tidak hanya menghapus pemerintah kerajaan pada tanggal 9 Maret 1946 PKI dibawah pimpinan Usman Parinduri dan Marwan menyerang istana Sultan Langit Darul Aman di Tanjung Pura
PEMBUNUHAN DI KAWEDANAN NGAWEN (BLORA) (20 SEPTEMBER 1948)
Pada tanggal 18 September 1948 Markas Kepolisian Distrik Ngawen (Blora) diserang oleh pasukan PKI. Dua puluh empat orang anggota polisi itu ditahan dan tujuh orang yang masih muda dipisahkan. Kemudian dating perintah dari Komandan Pasukan PKI Blora agar mereka dihukum mati. Pada tanggal 20 September 1948, tujuh orang anggota polisi dibawa ke suatu tempat terbuka dekat kakus di belakang Kawedanan. Secara bergantian para tawanan itu dibunuh dengan dua batang bamboo yang di pegangi ujungnya oleh dua orang yang di jepit ke lehernya. Ketika tawanan mengerang-ngerang kesakitan, pasukan PKI bersorak gembira. Kemudian di buang ke kakus dan di tembak.
PERISTIWA KENTUNGAN YOGYAKARTA (21 OKTOBER 1965)
Pada tanggal 1 Oktober 1965 di Yogyakarta, G.30 S/PKI berhasil menguasai RRI, Markas Korem 072 dan megumumkan pembentukan Dewan Revolusi. Pada sore harinya mereka menculik Komandan Korem 072, Kolonel Katamso dan Kepala Staf Korem Letnan Kolonel Sugiono dan membawanya kedaerah Kentungan. Kedua perwira tersebut dipukul dengan kunci mortar dan tubuhnya dimasukan dalam sebuah lubang yang sudah disiapkan. Kedua jenazah baru ditemukan pada tanggal 21 Oktober 1965 dalam keadaan rusak, setelah dilakukan pencarian secara intensif.
PENCULIKAN MEN/PANGAD LETJEN TNI A. YANI (1 OKTOBER 1965)
Pukul 02.30 tanggal ! Oktober 1965 pasukan penculik G.30 S/PKI sudah berkumpul di Lubang Buaya. Pasukan dengan nama Pasopati dipimpin Lettu Dul Arief. Pasukan penculik Men/Pangad Letjen TNI A. Yani memakai seragam Cakrabirawa tiba di sasaran pukul 04.00 dan berhasil melucuti regu pegawai. Mereka memasuki rumah dan bertemu dengan seorang putera Jendral A. Yani. Para penculik menyuruh anak tersebut untuk membangunkan ayahnya. Jendral A. Yani keluar dari kamar dengan berpakaian piyama. Setelah seorang penculik mengatakan bahwa bapa diminta segera menghadap Presiden. Beliau akan mandi dan berpakaian dulu. Setelah seorang anggota penculik mengatakan tidak perlu mandi dan mencuci muka pun tidak boleh. Melihat sikap yang kurang ajar itu, Jendral A. Yani marah dan menampar oknum tersebut. Beliau berbalik dan menutup pintu. Ketika itu pak Yani dibrondong dengan senjata Thomson dan gugur seketika. Kemudian tubuh Jendral A. Yani yang berlumuran darah diseret ke luar rumah dan dilempar ke atas truk, lalu di bawa ke Lubang Buaya.
PENGANIAYAAN DILUBANG BUAYA (1OKTOBER 1965)
Di hari tanggal 1 Oktober 1965 gerombolan G.30.S/PKI menculik 6 pejabat teras TNI AD dan seorang peristiwa pertama. Di Lubang Buaya tubuh mereka dirusak dengan benda-benda tumpul dan senjata tajam, yang masih hidup disiksa atau demi satu kemudian kepalanya di tembak. Sesudah disiksa para korban dilemparkan kedalam sumur tua yang sempit. Penyiksaan dan pembunuhan itu dilakukan oleh anggota Pemuda Rakyat (PR), Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) dan ormas-ormas PKI lainnya.
PENGANGKATAN JENAZAH (4 OKTOBER 1965)
Setelah menguasai halim perdanakusuma pasukan RPKAD melakukan gerakan ke Lubang Buaya. Setelah daerah itu diamankan, mulai melakukan pencarian jenazah perwira-perwira TNI-AD yang diculik oleh gerombolan G.30.S/PKI. Sore hari tanggal 3 Oktober 1965 diperoleh petunjuk dari anggota POLRI yang pernah di tawan oleh grombolan G.30S/PKI. Ia memberitahu bahwa perwira-perwira tersebut sudah dibunuh dan jenazahnya dikubur di sekitar tempat pelatihan musuh. Ternyata jenazah dimasukan kedalam sumur tua, lalu ditimbun dengan sampah kering, daun-daun singkong secara berselang-seling. Pengangkatan jenazah dilakukan pada tanggal 4 Oktober 1965 oleh anggota-anggota Kesatuan Intai Para Amfibi (KIPAM) dari mariner (KKO-TNI-AL) dan anggota RPKAD. Pengangkatan jenazah tersebut disaksikan oleh mayor Jendral TNI Soeharto.
SUMUR MAUT
Partai Komunis Indonesia ingin merebut kekuasaan Pemerintah Indonesia dengan menggunakan aksi kekerasan yaitu melakukan penculikan dan pembunuhan terhadap enam perwira tinggi dan satu perwira pertama yang terjadi pada tanggal 1 oktober 1965 Setelah diculik, tujuh perwira tersebut dibawa ke desa Lubang Buaya di daerah Pondok Gede, Jakarta Timur. Dari ke tujuh perwira tersebut, empat diantaranya masih dalam keadaan hidup. Sesampainya dilubang buaya, ke empat perwira yang masih hidup disiksa beramai-ramai secara keji dan biadab oleh gerombolan G.30S/PKI kemudian dibunuh satu persatu. Jenazah ke tujuh perwira tersebut kemudian dimasukan kedalam sebuah sumur tua dengan kedalaman 12 m dan berdiameter 75 cm dengan posisi kepala di bawah. Selanjutnya para gerombolan G.30S/PKI menutup sumur dengan timbunan batang-batang pisang, sampah secara berselang seling beberapa kali dan terakhir sumur tersebut ditutup dengan tanah diatasnya. Sebagai tipuan mereka menggali Lubang-lubang sehingga dapat menyesatkan bagi orang-orang yang akan mencari jenazah ke tujuh perwira tersebut. Dari sumur tua ditemukan tujuh jenazah yaitu Letnan Jenderal TNI A. Yani, Mayor Jenderal S. Parman, Mayor Jenderal TNI MT. Hardjono, Mayor Jenderal TNI Soeprapto, Brigadir Jenderal TNI Soetodjo Siswomihardjo, Brigadir Jenderal D.I. Pandjaitan, dan Letnan Satu Pierre Andries Tendean. Berkat kerja keras dari satuan-satuan ABRI, jenazah-jenazah tersebut dapat diangkat pada tanggal 4 Oktober 1965 dalam keadaan rusak akibat penganiayaan secara kejam di luar batas-batas kemanusiaan.
TUGU, PATUNG DAN RELIEF
Tugu Pahlawan Revolusi terletak 45 m sebelah utara cungkung sumur maut. Patung Pahlawan Revolusi berdiri dengan latar belakang sebuah dinding setinggi 17 m dengan hiasan patung Garuda Pancasila. Dinding berbentuk trapesium tersebut berdiri diatas landasan yang berukuran 17 x 17 m2 dengan tangan yang tingginya 7 anak tangga. Ketujuh Patung Pahlawan Revolusi berdiri berderet dengan setengah lingkaran dari barat ketimur yaitu: Patung Brigjen TNI Soetodjo Siswomiharjo, Brigjen TNI D.I Panjaitan, Mayjen TNI R. Soeprapto, Letjen TNI Ahmad Yani, Mayjen TNI MT. Hardjono, Mayjen TNI S. Parman, dan Kapten Pierre Andries Tandean. Ketujuh patung berdiri pada alas yang merbentuk lengkung dengan hiasan relief yang melukiskan peristiwa prolog, kejadian dan penumpasan G.30.S/PKI oleh ABRI dan Rakyat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H