Mohon tunggu...
Nanda Putri
Nanda Putri Mohon Tunggu... Foto/Videografer - mahasiswi

hobi saya adalah menggambar dan mendengar musik

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Review Book "Hukum Perkawinan Islam" Karya H. Mahmudin Bunyamin, Lc., M.A. dan Agus Hermanto, M.H.I.

12 Maret 2024   17:49 Diperbarui: 12 Maret 2024   18:00 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nanda Putri Solekhah (222121005)
Universitas Islam Negri Raden Mas Said Surakarta, Indonesia

Identitas Buku
Judul               : Hukum Perkawinan Islam
Penulis            : H. Mahmudin Bunyamin, Lc., M.A.
Agus Hermanto, M.H.I.
Pengantar        : Prof. Dr. H. M. Damrah Khair, M.A
Penertbit       : CV PUSTAKA SETIA jl. BKR (Lingkar Selatan) No. 162-164 Telp. (022)    5210588, Faks. (022) 5224105 E-mail: pustaka_seti@yahoo.com, Bandung 40253
Tahun Terbit   : 2017
Cetakan I         : 2017

A.Latar Belakang
Perkawinan merupakan sebuah institusi yang melampaui sekadar hubungan individu, karena ia merangkul aspek-aspek keagamaan, sosial, hukum, dan kultural yang kompleks. Dalam Islam, perkawinan dianggap sebagai salah satu langkah yang sangat penting dalam menjalani kehidupan, karena tidak hanya mengatur hubungan antara dua individu, tetapi juga memainkan peran penting dalam membangun masyarakat yang berkeadilan dan harmonis. Definisi perkawinan yang berasal dari bahasa dan etimologi memberikan pemahaman mendalam tentang makna dan konsep dasar dari ikatan perkawinan itu sendiri. Perkawinan tidak hanya dipahami sebagai sekadar akad formal antara seorang pria dan seorang wanita, tetapi juga sebagai sebuah janji dan komitmen untuk saling mendukung, menghormati, dan melindungi satu sama lain dalam perjalanan hidup mereka.

Dasar hukum perkawinan dalam Islam bersumber dari Al-Qur'an, kitab suci umat Islam, yang memberikan landasan moral dan etika bagi setiap aspek kehidupan, termasuk perkawinan. Ayat-ayat Al-Qur'an memberikan pedoman tentang kewajiban, anjuran, dan larangan dalam menjalani hubungan perkawinan. Selain itu, hadis Nabi Muhammad juga memberikan petunjuk praktis dan contoh-contoh nyata tentang bagaimana menjalani perkawinan yang bahagia dan bermakna. Hal ini memperkuat urgensi institusi perkawinan dalam Islam sebagai salah satu fondasi utama dalam membangun keluarga yang kokoh dan harmonis.

Penjabaran tentang syarat dan rukun perkawinan menjadi penting dalam memahami proses formal dan syariat yang terlibat dalam ikatan perkawinan. Akad nikah dan mahar menjadi bagian integral dari proses perkawinan, yang tidak hanya memiliki nilai simbolis, tetapi juga merupakan syarat sahnya sebuah pernikahan dalam Islam. Praktik-praktik seperti poligami, nikah siri, dan nikah beda agama memberikan wawasan tentang keragaman praktik perkawinan dan pengaturannya dalam hukum Islam dan Indonesia. Meskipun praktik-praktik ini memiliki dasar hukum dalam Islam, namun pengaturannya sering kali menjadi polemik di masyarakat, terutama dalam konteks sosial dan kultural yang berbeda.

Diskusi tentang usia perkawinan membuka ruang untuk menjelajahi perbedaan pandangan antara hukum Islam dan regulasi hukum di Indonesia. Perlindungan anak dari pernikahan dini menjadi perhatian utama dalam konteks ini, karena perkawinan yang terlalu dini dapat berdampak negatif bagi perkembangan anak dan stabilitas keluarga. Pemahaman tentang praktik dan hukum perceraian, termasuk prosedur, syarat, dan konsekuensinya, juga sangat penting dalam membentuk pemahaman yang lebih holistik tentang regulasi hubungan perkawinan dan perceraian di Islam dan Indonesia. Dengan demikian, latar belakang ini memberikan pandangan yang komprehensif tentang perkawinan dalam Islam dan konteks hukum di Indonesia. Melalui pemaparan yang mendalam tentang definisi, dasar hukum, syarat dan rukun, praktik-praktik, usia perkawinan, dan perceraian, kita dapat memahami kompleksitas dan signifikansi institusi perkawinan serta relevansinya dalam membangun masyarakat yang adil, harmonis, dan sejahtera.

B.Isi Buku
Penulis dalam buku ini membagi kedalam 10 sub bab dengan 212 halaman, penulis membagi kajian menjadi 14 sub bab dengan tujuan agar pembaca mudah memahami dan mempelajari bab yang akan di bahas secara rinci dan runtut mengenai hukum perkawinan islam.


Pada bab 1 dan bab 2 penulis membahas mengenai hukum perkawinan islam dan larangan perkawinan. Dimulai dengan pengertian perkawinan yang merujuk pada akad yang membolehkan bersenang-senang antara laki-laki dan perempuan. Dasar hukum perkawinan diambil dari Al-Qur'an Surat Ar-Rum ayat 21 dan dibagi menjadi lima kategori: wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah. Pembahasan mengenai syarat dan rukun perkawinan meliputi batasan usia, persyaratan bagi kedua mempelai serta wali perempuan. Sub bab ini juga menjelaskan akad nikah, syarat bagi calon mempelai pria dan wanita, peran wali dalam perkawinan, dan konsep mahar. Tujuan perkawinan dijelaskan dalam lima aspek, yaitu personal, sosial, ritual, moral, dan kultural. Terakhir, disinggung larangan perkawinan dalam Islam yang bersifat abadi, seperti larangan menikahi kerabat dekat, pernikahan musaharah, dan susuan. Dengan demikian, sub bab ini memberikan pemahaman yang komprehensif tentang hukum perkawinan Islam, dari konsep dasarnya hingga larangan yang berlaku.


Pada bab 3 penulis membahas tentang konsep hadanah dalam Islam. Secara etimologi, hadanah berarti menghimpun, memelihara, dan memeluk anak sampai sanggup berdiri sendiri. Secara terminologi, hadanah merujuk pada pendidikan dan pemeliharaan anak secara lahir sampai ia mampu mandiri. Menurut istilah ahli fiqh, hadanah mencakup pemeliharaan anak dari segala bahaya, menjaga kesehatan jasmani dan rohaninya, serta menyediakan pendidikan hingga sanggup mandiri sebagai seorang Muslim. Dasar hukum hadanah diambil dari Al-Qur'an Surat At-Tahrim ayat 6 dan Surat Al-Baqarah ayat 233. Syarat-syarat hadanah meliputi baligh, berakal, merdeka, beragama Islam, terpercaya, dan mampu mendidik. Orang yang berhak melakukan hadanah adalah ibu kandung, dan jika tidak bisa, hak hadanah dialihkan kepada ibu dari ibu (nenek) dan seterusnya. Selain itu, ayah kandung juga memiliki hak hadanah. Faktor-faktor yang menyebabkan gugurnya hadanah antara lain menjadi musafir, memiliki penyakit yang tidak bisa disembuhkan, tidak dapat dipercaya, bukan beragama Islam, belum baligh, tidak sehat/gila, tidak mampu mendidik anak, dan status budak. Sub bab ini memberikan pemahaman yang komprehensif tentang konsep hadanah dalam Islam, baik dari segi etimologi, terminologi, hukum, syarat, dan faktor-faktor yang menyebabkan gugurnya hadanah.


Pada bab 4 penulis membahas tentang poligami dalam konteks perkawinan Islam. Poligami adalah perkawinan antara seorang suami dengan dua orang istri atau lebih, dan dapat dibagi menjadi poligini (suami beristri banyak) dan poliandri (istri bersuami banyak). Menurut Mahmud Syaltut, hukum poligami dalam Islam adalah mubah (diperbolehkan), selama tidak terjadi penganiayaan terhadap istri. Dalam Islam, poligami memperbolehkan suami memiliki hingga empat istri, dengan syarat berlaku adil kepada mereka dalam segala hal, termasuk nafkah, tempat tinggal, dan pakaian. Namun, jika suami tidak mampu berlaku adil, maka disunahkan untuk hanya memiliki satu istri, sesuai dengan ayat Al-Qur'an Surat An-Nisa ayat 3. Di Indonesia, hukum poligami diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, yang menetapkan dasar perkawinan bersifat monogami. Namun, terdapat kemungkinan mendapatkan izin poligami dari pengadilan dengan alasan tertentu, seperti ketidakmampuan istri sebelumnya, kecacatan, atau ketidaksuburan, dengan syarat mendapat persetujuan dari istri sebelumnya, mampu memberikan nafkah, dan mampu berlaku adil. Sub bab ini menyoroti pentingnya keadilan dan persetujuan istri dalam pelaksanaan poligami, serta menggambarkan bahwa poligami hanya diizinkan dalam kondisi-kondisi tertentu yang ketat sesuai dengan prinsip "menutup pintu terbuka".


Pada bab  5 ini menjelaskan tentang usia perkawinan dalam ajaran Islam dan regulasi yang berlaku di Indonesia. Dalam Islam, usia perkawinan berkaitan dengan kematangan fisik dan mental seseorang, yang ditandai dengan baligh. Berbagai pandangan dari empat madzhab menyebutkan indikator baligh, seperti mimpi dan keluarnya mani bagi laki-laki, serta haid atau pertumbuhan rambut bagi perempuan.Di Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menetapkan batasan usia minimal untuk menikah, yaitu 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita. Namun, dengan izin tertulis dari hakim dan persetujuan orang tua, seorang wanita di bawah 16 tahun juga dapat menikah. Sub bab ini juga mencatat upaya-upaya untuk meningkatkan batasan usia perkawinan guna melindungi anak-anak dari pernikahan yang terlalu dini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun