"Gimana, Cép?" Ki Rasta tak sabar.
"Gimana apanya?" Aku tersenyum.
"Ih, ya isi surat itu. Bagaimana menurut Encép soal surat itu? Terus terang, saya sangat kaget membaca tulisan itu. Terlebih si Keno tak pernah cerita soal itu. Barangkali Cep Nandar lebih tahu. Bukankah setiap pulang kampung anak itu suka langsung ke sini?"
Iya, sih. Tapi, masa sih tak hafal si Keno punya pacar orang Ambon?" aku balik bertanya.
"Kalau urusan Si Keno punya pacar orang Amban sih hafal. Si Keno pernah cerita soal foto perempuan yang terpajang di kamarnya. Tapi tak pernah menjelaskan bahwa latar belakang keyakinan perempuan itu Kristen!"
"Barangkali takut kena marah, Ki?"
"Ah, mengapa harus marah. Terserah dia mau menikah dengan yang berbeda agama juga. Agama juga membolehkan lelaki menikahi perempuan yang berbeda agama. Paling banter saya hanya akan mengingatkan, menikahi perempuan yang berbeda agama tidak lumrah di kampung kita. Betul, kan? Nah, persoalannya, mengapa tiba-tiba si Keno jadi sering melamun?"
"He..he..," aku terkekeh, "Ki Rasta seperti yang tidak pernah muda saja. Ya wajarlah. Keno kan sekarang sudah duda sebelum nikah, ha..ha..!"
Ki Rasta hanya tersenyum. "Tapi tidak akan terjadi apa-apa, kan?"
"Saya jamin, Ki. Si Keno telah mewarisi akal nalarku. Dia tidak mungkin berlaku konyol," jawabku meyakinkan KI Rasta.
"Syukurlah. Mudah-mudahan saja tidak berlarut-larut," Ki Rasta menarik napas lega, "Kalau begitu saya pamit dulu."