Aku baru saja menyalakan komputer ketika Ki Rasta mengetuk pintu dan langsung menerobos ruang kerjaku.
"Maaf, Cép. Saya mengganggu sebentar. Ada hal penting yang ingin diobrolkan," ucap Ki Rasta. Raut mukanya serius..
Setelah duduk, ia merogoh sakunya dan mengeluarkan dua bungkus rokok kretek.
"Nih, rokok kesukaanmu. Lumayan, buat teman ngobrol," ucapnya sambil tersenyum.
Jidatku agak mengkerut. Ki Rasta tidaklah termasuk orang yang suka ngobrol ngalor-ngidul tak karuan. Butuh waktu yang cukup panjang untuk menghabiskan dua bungkus rokok kretek. "Alamak, mesti ada hal serius yang hendak dibicarakannya," batinku.
"Tumben, Ki, ada apa?" tanyaku setelah menghidangkan segelas kopi hangat, "Wah, tau saja Ki Rasta ini kalau rokokku sudah habis, hehe..." Tanganku bergerak dan menyalakan sebatang rokok.
"Begini, Cép," ucapnya memulai percakapan seraya meluruskan pecinya.  "Si Keno, anak saya, belakangan ini kerap terlihat murung dan melamun. Saya jadi khawatir, jangan-jangan.."
"Hus, Â jangan menduga-duga apalagi berpikir negatif. Salah-salah malah jadi kutuk!" Â Kupotong kalimatnya dengan nada tinggi.
Ki Rasta yang berniat menyulut rokok terkejut. "Astagfirullah... Iya, juga. Terima kasih telah diingatkan, "Itulah masalahnya. Sejak masuk kuliah, saya sering tidak bisa memahami perlikau dan jalan pikiran anak saya."
"Lha, bukankah hal itu sudah sering kita obrolkan, Ki? Terus, si Keno sudah ditanya sabab-musabab sikapnya sekarang?"
"Begini, Cep. Ah, sebaiknya Cep Nandar baca dulu tulisan ini." Ki Rasta menyodorkan lipatan kertas yang diambilnya dari lipatan peci.