Politisasi agama dalam pembahasan kali ini adalah mengenai seorang pendiri tempat ibadah misalnya masjid atau gereja di lingkungan masyarakat dengan tujuan ingin memperkenalkan diri mereka dan ingin disegani oleh masyarakat dan masyarakat percaya dengan orang tersebut sehingga masyarakat menganggap bahwa beliau itu adalah yang paling baik dan benar.
Suatu ketika setelah pendirian mushola itu jadi dan bisa ditempati, seketika warga masyarakat terpecah belah menjadi dua kubu. Kubu pertama masih mempertahankan masjid yang sudah ada sejak dahulu kala dan kubu kedua memilih mushola sebagai tempat ibadahnya.
Disini masjid dan mushola bukanlah sumber permasalahanya, tetapi orang-orang yang tidak bisa menggunakan akal pikirannya untuk menerapkan nilai-nilai yang tidak baik, misalnya yang dulunya sangat menjunjung tinggi nilai kebersamaan sekarang terpecah belah kebersamaanya. Mendirkan masjid dan mushola itu adalah perbuatan yang mulia di mata Allah SWT. tetapi dengan Tujuan yang baik dan hanya mengaharapkan ridho dari Allah SWT. Tetapi jika Tujuan adalah untuk mempopulerkan diri sendiri maka itu tidak boleh dan akan mendapatkan dosa yang besar karena masjid dan mushola adalah tempat ibadah yang suci.
Ketika tempat Ibadah berada ditengah komuitasnya sendiri bisa dipastikan tidak akan pernah menimbulkan masalah, dan dianggap wajar oleh masyarakat, namun ketika berada ditengah komunitas agama yang berbeda pasti menimbulkan ketidaknyamanan, kegelisahan, bahkan gesekan, karena mengusik rasa keadilan masyarakat dalam kehidupan beragama.
Dalam kenyataannya, persoalan pendirian rumah ibadah tidak hanya terjadi di Indonesia melainkan juga di berbagai negara lain. Agama di dunia terdiri dari 6 yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Khong Hu Chu. Tempat ibadah seperti masjid, gereja, vihara, atau lainnya memiliki fungsi beragam. Selain sebagai sarana yang menunjang berjalannya praktik peribadatan, rumah ibadah juga berfungsi sebagai sarana musyawarah untuk memecahkan problematika sosial dan keumatan. Rumah ibadah menjadi semacam simbol bagi tegaknya marwah keagamaan dan bahkan marwah negara.
Satu hal yang harus dijaga dan dilakukan masyarakat untuk mencegah konflik atau permasalahan tentang pendirian tempat ibadah yang menyebabkan terpecah belahnya masyarakat adalah sikap toleransi. Sikap toleransi juga merupakan sikap saling menghormati dan menghargai, jangankan didalam beragama, dalam bersosial dan bertetangga juga harus memiliki sikap toleransi.
Salah satu contoh kecil dari toleransi adalah saling tolong menolong dengan tetangga, kemudian contohnya dalam beragama adalah saling menghormati dan menghargai ketika sedang menjalankan ibadah, misalnya non muslim yang tidak makan-makan didepan muslim yang sedang berpuasa padahal mereka tidak harus berpuasa dan bisa makan kapan saja. Untuk menunjukkan sikap toleransi kita tidak harus sampai mengikuti ibadah dan kebiasaan agama lain, kita cukup menghargai dan menghormati ibadah mereka saja, Karena didalam bertoleransi juga ada batasan-batasannya.
Tujuan dari toleransi beragama adalah untuk mewujudkan kerukunan dan kedamaian antar umat beragama, sehingga terhindar dari konflik. Wujud dari toleransi dalam praksis hidup beragama di Indonesia adalah tidak boleh memaksakan kebebasan agama lain untuk memeluk agama kita walaupun mereka adalah minoritas, tidak mencela atau menjelekkan agama lain walaupun mereka berbeda dengan alasan apapun, dan juga tidak mengganggu jalannya peribadahan agama yang lain, serta memberikan ruang bagi agama lain, walaupun mereka minoritas untuk membangun rumah ibadah mereka. Wujud toleransi tersebut apabila dipraktikkan dalam kehidupan bersama maka akan indah dan terwujudya situasi kehidupan yang damai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H