Nyatanya pengaruh media sosial terhadap remaja dapat dilihat dari perilaku sejumlah selebriti media sosial yang memiliki banyak pengikut. Mereka sering memposting foto-foto atau video yang memperlihatkan kehidupan sempurna, seperti liburan ke tempat eksotis, makan di restoran mewah, atau berpose dengan barang-barang branded. Banyak remaja yang merasa terinspirasi atau bahkan tertekan untuk meniru gaya hidup tersebut.
 Seperti yang dialami oleh remaja contohnya Aira, seorang pelajar SMA yang mengikuti jejak influencer untuk mendapatkan popularitas di Instagram. Aira mulai merasa cemas dan tidak percaya diri ketika melihat foto-foto dirinya yang tidak sehebat teman-temannya. Ia merasa harus selalu tampil sempurna, padahal kenyataannya hidupnya jauh berbeda. Hal ini adalah contoh bagaimana media sosial dapat mengaburkan pandangan remaja tentang realitas hidup mereka sendiri.
Media sosial memang menawarkan kebebasan ekspresi, tetapi dampak negatif yang ditimbulkannya terhadap remaja sering kali lebih besar daripada manfaatnya. Saya percaya bahwa media sosial seharusnya tidak menjadi satu-satunya acuan untuk menentukan identitas diri. Ketika remaja terlalu bergantung pada dunia maya untuk mengukur nilai diri mereka, mereka cenderung kehilangan keaslian dan bahkan bisa mengalami gangguan mental.Â
Seharusnya, kita sebagai pribadi harus bisa lebih fokus pada pentingnya membangun karakter yang kuat dan harga diri yang sehat. Pendidikan di sekolah juga harus menekankan tentang pentingnya keseimbangan antara dunia maya dan dunia nyata. Tanpa adanya pembekalan yang baik, remaja akan mudah terjebak dalam kesan palsu yang dibangun oleh dunia maya.
Media sosial bagi remaja ibarat sebuah cermin besar yang memantulkan berbagai gambaran kehidupan. Namun, cermin itu tidak selalu jujur. Sebagian besar remaja yang terpengaruh oleh media sosial seperti melihat diri mereka di cermin retak yang mana, apa yang mereka lihat tidak selalu sesuai dengan kenyataan.Â
Meskipun mereka mungkin tampak baik-baik saja di luar, ketidaksempurnaan dalam diri mereka tetap ada, dan itu sering kali disembunyikan di balik filter digital dan editan gambar. Dunia media sosial sering kali menciptakan bayangan yang tak bisa disentuh, membuat remaja merasa terasing dari versi diri mereka yang sebenarnya, hanya untuk mengejar sesuatu yang tidak nyata.
Di ruang kelas, beberapa siswa diam-diam melihat ponsel mereka, mengeksplor media sosial sambil menunggu pelajaran dimulai. Tampak di layar ponsel mereka gambar-gambar hidup dari dunia luar yang jauh berbeda dengan kehidupan sehari-hari mereka. Ada yang menunjukkan foto liburan keluarga di pantai, ada pula yang memamerkan pencapaian akademis yang luar biasa.
 Namun, di balik kebahagiaan yang dipamerkan itu, terselip perasaan tidak puas yang sulit diungkapkan. Ketika melihat teman-teman mereka dengan pencapaian sempurna di dunia maya, rasa iri dan ketidakpercayaan diri muncul begitu saja.Â
Begitu pun dengan senyum yang mereka tampilkan di media sosial, yang sebenarnya berbalut ketegangan dan kecemasan. Dunia maya ini seakan menawarkan kebahagiaan palsu, sementara kenyataannya, remaja sering kali berjuang dengan perasaan tidak cukup baik dan tekanan yang datang bersama media sosial.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H