Mohon tunggu...
Nandana Harsaya Satria
Nandana Harsaya Satria Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - pelajar sekolah

hobi bersosialisasi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kehidupan Remaja di Balik Layar

8 November 2024   21:55 Diperbarui: 20 November 2024   10:17 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Remaja (Sumber: Wordpress.com)

Begitu membuka mata, hal pertama yang dilakukan kebanyakan remaja langsung  mengambil ponsel. Membuka Instagram, scroll TikTok, mencari tahu apa yang baru dari teman atau selebriti favorit. Rutinitas ini sudah jadi bagian dari hidup mereka. 

Bahkan, ketika di sekolah pun, obrolan yang tadinya tentang tugas atau kegiatan ekstrakurikuler sekarang lebih sering berpusat pada tren TikTok terbaru atau siapa yang paling banyak mendapat like di postingan terakhir. Remaja terus-menerus merasa harus mengikuti dan menampilkan kehidupan "sempurna" yang serba dipoles di dunia maya. 

Di balik semua itu, ada tekanan besar yang jarang terlihat takut ketinggalan, minder melihat pencapaian orang lain, dan perasaan tak cukup baik karena standar kecantikan atau gaya hidup yang terus-menerus muncul di layar. Media sosial bukan sekadar hiburan, tapi bisa jadi cermin yang mengganggu pandangan mereka tentang diri sendiri.


Di Indonesia, kehidupan remaja sehari-hari sangat dipengaruhi oleh media sosial. Saat jam istirahat di sekolah, banyak siswa yang langsung membuka ponsel mereka untuk memeriksa Instagram atau TikTok. Mereka berusaha mengikuti tren terbaru, entah itu pakaian, lagu, atau gaya hidup yang dipamerkan oleh influencer. 

Tekanan untuk selalu "update" dan mendapatkan like membuat remaja merasa perlu untuk selalu tampil sempurna, meski dalam kenyataannya, hidup mereka jauh dari gambaran yang ditunjukkan di dunia maya. Ini sering kali menciptakan rasa tidak puas dengan diri sendiri, bahkan stres karena merasa tidak bisa mengikuti standar yang terus-menerus berubah. Berbeda dengan kondisi di negara seperti Jepang, di mana remaja cenderung lebih mengutamakan kehidupan nyata daripada media sosial. 

Di sana, mereka lebih banyak menghabiskan waktu dengan aktivitas produktif seperti belajar, olahraga, atau hobi di luar ruangan. Penggunaan media sosial pun lebih terkontrol. Banyak remaja Jepang yang tidak terlalu terobsesi dengan "likes" atau "followers" karena tekanan sosial dari media sosial tidak sebesar di Indonesia. Mereka lebih fokus pada interaksi langsung dengan teman dan keluarga, sehingga keseimbangan antara kehidupan online dan offline lebih terjaga.

Setiap pagi sebelum berangkat sekolah, seorang remaja sering kali menyempatkan diri membuka Instagram. Ia merasa perlu melihat apa yang sedang "hits" di kalangan teman-temannya. Jika ada tren baru, seperti pakaian yang sedang populer atau tantangan TikTok, ia merasa harus ikut serta agar tidak dianggap "ketinggalan zaman". Ketika sampai di sekolah, obrolan teman-temannya tidak jauh-jauh dari hal yang mereka lihat di media sosial tadi malam. 

Entah itu postingan selebgram yang baru atau konten lucu yang membeludak. Namun, ini membawa dampak buruk bagi remaja tersebut. Ia mulai membandingkan dirinya dengan apa yang dia lihat di media sosial. Teman-teman yang lebih sering liburan atau yang memiliki pakaian baru membuatnya merasa kurang beruntung. 

Bahkan, ia mulai merasa tidak cukup baik dan minder hanya karena tidak bisa mengikuti gaya hidup yang dipamerkan di media sosial. Ketika tidak mendapatkan banyak "likes" di postingannya, rasa cemas dan kecewa pun muncul. Padahal, semua ini hanya terjadi di dunia maya, tapi dampaknya terasa nyata dalam kehidupan sehari-harinya.

Disisi lain, ada remaja lain yang lebih jarang menggunakan media sosial. Ia lebih memilih menghabiskan waktunya bermain olahraga dengan teman-teman di lapangan setelah pulang sekolah. Dia juga aktif dalam kegiatan sekolah seperti debat dan teater. 

Bagi remaja ini, media sosial hanyalah alat komunikasi untuk berhubungan dengan teman lama, bukan tempat untuk mencari validasi. Karena itulah, ia jarang merasa tertekan oleh tren media sosial. Kehidupan sehari-harinya lebih santai dan penuh interaksi nyata, sesuatu yang kini mulai langka di kalangan remaja.

Nyatanya pengaruh media sosial terhadap remaja dapat dilihat dari perilaku sejumlah selebriti media sosial yang memiliki banyak pengikut. Mereka sering memposting foto-foto atau video yang memperlihatkan kehidupan sempurna, seperti liburan ke tempat eksotis, makan di restoran mewah, atau berpose dengan barang-barang branded. Banyak remaja yang merasa terinspirasi atau bahkan tertekan untuk meniru gaya hidup tersebut.

 Seperti yang dialami oleh remaja contohnya Aira, seorang pelajar SMA yang mengikuti jejak influencer untuk mendapatkan popularitas di Instagram. Aira mulai merasa cemas dan tidak percaya diri ketika melihat foto-foto dirinya yang tidak sehebat teman-temannya. Ia merasa harus selalu tampil sempurna, padahal kenyataannya hidupnya jauh berbeda. Hal ini adalah contoh bagaimana media sosial dapat mengaburkan pandangan remaja tentang realitas hidup mereka sendiri.

Media Sosial (Sumber: JurnalBengkulu.com)
Media Sosial (Sumber: JurnalBengkulu.com)

Media sosial memang menawarkan kebebasan ekspresi, tetapi dampak negatif yang ditimbulkannya terhadap remaja sering kali lebih besar daripada manfaatnya. Saya percaya bahwa media sosial seharusnya tidak menjadi satu-satunya acuan untuk menentukan identitas diri. Ketika remaja terlalu bergantung pada dunia maya untuk mengukur nilai diri mereka, mereka cenderung kehilangan keaslian dan bahkan bisa mengalami gangguan mental. 

Seharusnya, kita sebagai pribadi harus bisa lebih fokus pada pentingnya membangun karakter yang kuat dan harga diri yang sehat. Pendidikan di sekolah juga harus menekankan tentang pentingnya keseimbangan antara dunia maya dan dunia nyata. Tanpa adanya pembekalan yang baik, remaja akan mudah terjebak dalam kesan palsu yang dibangun oleh dunia maya.

Media sosial bagi remaja ibarat sebuah cermin besar yang memantulkan berbagai gambaran kehidupan. Namun, cermin itu tidak selalu jujur. Sebagian besar remaja yang terpengaruh oleh media sosial seperti melihat diri mereka di cermin retak yang mana, apa yang mereka lihat tidak selalu sesuai dengan kenyataan. 

Meskipun mereka mungkin tampak baik-baik saja di luar, ketidaksempurnaan dalam diri mereka tetap ada, dan itu sering kali disembunyikan di balik filter digital dan editan gambar. Dunia media sosial sering kali menciptakan bayangan yang tak bisa disentuh, membuat remaja merasa terasing dari versi diri mereka yang sebenarnya, hanya untuk mengejar sesuatu yang tidak nyata.

Di ruang kelas, beberapa siswa diam-diam melihat ponsel mereka, mengeksplor media sosial sambil menunggu pelajaran dimulai. Tampak di layar ponsel mereka gambar-gambar hidup dari dunia luar yang jauh berbeda dengan kehidupan sehari-hari mereka. Ada yang menunjukkan foto liburan keluarga di pantai, ada pula yang memamerkan pencapaian akademis yang luar biasa.

 Namun, di balik kebahagiaan yang dipamerkan itu, terselip perasaan tidak puas yang sulit diungkapkan. Ketika melihat teman-teman mereka dengan pencapaian sempurna di dunia maya, rasa iri dan ketidakpercayaan diri muncul begitu saja. 

Begitu pun dengan senyum yang mereka tampilkan di media sosial, yang sebenarnya berbalut ketegangan dan kecemasan. Dunia maya ini seakan menawarkan kebahagiaan palsu, sementara kenyataannya, remaja sering kali berjuang dengan perasaan tidak cukup baik dan tekanan yang datang bersama media sosial.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun