Karyawan yang tidak terlibat cenderung tidak memberikan kinerja terbaiknya, sehingga menyebabkan penurunan tingkat produktivitas dalam organisasi.
Kurangnya produktivitas ini dapat berdampak pada kinerja secara keseluruhan, sehingga berdampak pada keuntungan dan keunggulan kompetitif organisasi.
Meskipun beberapa orang mungkin berpendapat bahwa quiet quitting adalah pilihan pribadi, penting untuk mempertimbangkan implikasi yang lebih luas hal ini dalam dunia kerja.
Alasan pribadi untuk keluar secara diam-diam mungkin sahih, namun organisasi juga harus mengatasi dampak dari karyawan yang (belum) ikut-ikutan quiet quitting terhadap produktivitas dan semangat tim.
Mendorong komunikasi terbuka dan memberikan dukungan bagi karyawan yang menghadapi tantangan pribadi dapat membantu mencegah quiet quitting agar tidak menjadi masalah yang meluas dan memengaruhi kinerja organisasi.
Selain itu, quiet quitting dapat berdampak signifikan terhadap moral tim dengan menciptakan lingkungan kerja yang negatif.
Ketika karyawan keluar tanpa komunikasi atau transisi yang tepat, hal ini dapat menimbulkan ketidakpastian dan kegelisahan di antara anggota tim yang tersisa.
Kurangnya transparansi dapat menimbulkan ketidakpercayaan dan mengarah pada budaya kerja yang beracun, sehingga kolaborasi dan kerja sama tim terhambat.
Pada akhirnya, penurunan kolaborasi dalam tim dapat menghambat kemajuan proyek dan menghambat efektivitas tim secara keseluruhan.
Meskipun beberapa orang berpendapat bahwa quiet quitting tidak selalu menunjukkan adanya masalah dalam organisasi, penting bagi para pemimpin untuk bersikap proaktif dalam mengatasi potensi masalah yang dapat menyebabkan karyawan mengundurkan diri secara diam-diam.
Dengan memupuk budaya komunikasi terbuka dan transparansi, organisasi dapat menciptakan lingkungan yang mendukung sehingga karyawan merasa nyaman mendiskusikan kekhawatiran dan tantangan mereka.