Langkah pertama ini menuntut compassion, pemahaman atas siapa diri kita sebenarnya.
Dengan berhasil menempatkan diri kita di posisi orang lain, maka setiap tingkah laku kita akan selalu bisa kita kontrol untuk tidak menyakiti orang lain.
Satu hal yang selalu saya ingat dari para mentor saya adalah ketika cermin sudah retak maka tetap akan retak seberapa pun besar usaha kita untuk memperbaikinya.
2. Secara jelas mengomunikasikan tujuan dan ekspektasi kita
Bias Atribusi ini sangat mudah muncul ketika dalam lingkungan yang tidak sehat secara komunikasi. Bias Atribusi ini akan tumbuh dengan cepat dalam lingkungan kerja, sosial, dan pribadi yang mengalami kebuntuan komunikasi.
Sehingga dengan membangun komunikasi dua arah yang baik maka Bias Atribusi ini akan dapat diminimalisasi.
Keterbukaan komunikasi juga akan membangun suasana egaliter dan cair sehingga kita akan saling mengenal dan membangun personal bounding yang kuat.
3. Meningkatkan Emotional Intelligence
Berbeda dengan Intellectual Intelligence yang secara genetis, Emotional Intelligence saat ini telah menjadi salah satu alat ukur kesiapan mental kita dalam menghadapi berbagai permasalahan.
Emotional Intelligence juga menjadi alternatif dari Intellectual Intelligence dalam menjadi alat analisis perilaku manusia.
Seseorang dikatakan mempunyai Emotional Intelligence yang tinggi ketika seseorang mampu memiliki kontrol penuh terhadap emosi diri dan dalam mengekspresikan emosi tersebut secara positif.
Dengan demikian, jika saya kaitkan dengan Bias Atribusi ini, maka dapat dihipotesiskan bahwa seseorang dengan Emotional Intelligence yang tinggi akan mampu melakukan kontrol atas semua ucapan dan perbuatan yang mungkin menyakiti orang lain.
Konklusi dari hal-hal tersebut di atas adalah Bias Atribusi ini nyata adanya dan sangat berbahaya tidak hanya bagi keseimbangan tim namun juga kesehatan mental kita dalam jangka panjang.