Kamu tahu Tik Tok? Menyalin dari laman Wikipedia, TikTok adalah sebuah jaringan sosial dan platform video musik Tiongkok yang dluncurkan pada September 2016 oleh Zhang Yiming, pendiri Toutiao.
Aplikasi tersebut membolehkan para pemakai untuk membuat video musik pendek mereka sendiri.
Tapi apakah kamu tahu juga bahwa di 2021 yang baru berlalu, TikTok melewati Google sebagai situs web yang paling banyak dikunjungi? Itu berarti mereka juga mengalahkan Facebook, Youtube, Wikipedia, dan lainnya.
Pretty cool, isn’t it?
Bagi beberapa orang yang pernah saya tanya mengenai aplikasi ini, bagi mereka ini jelas merupakan aplikasi yang sangat adiktif, ketika kamu melihat seberapa besar popularitasnya telah meledak.
Faktanya, sekarang Youtube dan platform lain mencoba menyalin ide yang sama dengan mempromosikan lebih banyak video pendek.
Sekarang, inilah pendapat saya mengenai hal ini di 2022, tren video pendek dan "keterlibatan" dari si kreator akan sangat mendominasi dan hal akan banyak ditiru bahkan sampai di level korporasi.
Pertanyaannya adalah: bagaimana korporasi bisa memanfaatkan tren ini untuk meningkatkan engagement dengan konsumen yang menjadi target marketnya dan menciptakan merek yang lebih valuable di 2022.
Alasan Hal Ini Penting
Apa pun aplikasinya, Tik Tok, Instagram, Facebook, atau bahkan yang terbaru Meta, merek adalah tentang membayar potensi.
Korporasi membayar untuk harapan bahwa sesuatu akan terjadi, meskipun ada kemungkinan itu tidak akan terjadi.
Untungnya, perkembangan digital saat ini telah sangat membantu pengembangan dan penciptaan merek jauh berkembang dibandingkan sepuluh tahun yang lalu.
Dengan logika pemikiran ini, apakah mengherankan bahwa korporasi menjadi gila untuk pendekatan baru penciptaan suatu merek ini?
Dari algoritma hingga blockchain, dari kecerdasan buatan hingga transformasi digital, sepertinya setiap tahun selalu ada trending topik baru di merek.
Semua itu dilakukan hanya untuk menciptakan sesuatu yang bernama "potensi."
Potensi inilah yang harus diciptakan untuk membuat merek baru yang kuat serta di saat bersamaan memperkuat merek lama yang mungkin sudah nyaris mati.
Apakah worth it? Jawabannya sangat tergantung sejauh mana willingness korporasi untuk memanfaatkan dengan jeli peluang ini.
Yang Harus Dilakukan Perusahaan
Belajar dari kesuksesan nama-nama besar korporasi yang saat ini merajai dunia seperti facebook, netfix, Instagram, ada beberapa hal yang bisa dilakukan korporasi sebagai berikut:
1. Menciptakan lebih banyak Merek
Dengan penciptaan merek-merek baru dalam suatu line up produk atau bahkan cross line up, maka korporasi akan lebih mempunyai alat untuk berkompetisi.
Secara teoritis merek bisa diciptakan dari segmentasi konsumen yang berbeda. Misalnya yang terbaru dalam dunia otomotif adalah penciptaan merek Toyota Veloz menjadi terpisah dengan Toyota Avanza.
Padahal sebelumnya dua merek ini adalah dalam satu line up produk yang sama.
Dengan penciptaan merek Veloz secara terpisah maka akan membuat kompetisi semakin menarik.
2. Biaya Iklan yang lebih besar
Yes, I know it sounds tidak menarik bagi korporasi di era pandemi yang membutuhkan survival mode.
Tapi, pertanyaannya adalah bagaimana suatu merek bisa berhasil bertahan tanpa tingkat pengenalan yang tinggi dari konsumen?
Betul, bahwa memperkenalkan suatu merek bukan hanya tergantung dari iklan. Namun, kita saat ini hidup di era persaingan sudah dalam hitungan jam bahkan detik.
Suka atau tidak suka korporasi harus menjual merek tersebut semaksimal mungkin dengan proposisi setepat mungkin.
Salah satu metode perkenalan yang efektif (jika dengan proposisi yang tepat) adalah iklan.
Jadi, bagaimana? Mau cara konvensional, butuh waktu, tapi hemat biaya atau sebaliknya?
3. Pendekatan Konten merek
Saat in tren yang sedang happening adalah bagaimana suatu merek bisa memberikan konten yang tepat dan menghasilkan efek kejut bagi konsumen.
Premis ini yang pada akhirnya menghasilkan tren influencer marketing di beberapa merek ternama, tidak lagi hanya bergantung kepada satu brand ambassador, tapi lebih ke arah beberapa influencer secara masif.
Namun di sisi lain, tren influencer ini jika tidak dipastikan secara tepat profil dan persona sang influencer cocok dengan karakteristik merek tersebut, maka akan menjadi bom waktu bagi merek di masa depan.
4. Fokus kepada pesan yang dihasilkan oleh merek tersebut
Instagram sadar bahwa pengguna menggunakan platformnya tidak hanya untuk berbagi konten, tetapi juga untuk berkomunikasi satu sama lain.
Nah, hal ini yang harus dipelajari oleh korporasi bagaimana merek-merek yang diciptakan mampu “berkomunikasi” dengan konsumen.
Salah satunya adalah dengan penggunaan sosial media, pesan yang tepat, proposisi merek yang sesuai, dan tentunya kualitas produk yang mumpuni.
Jika konsumen sudah nyaman “ngobrol” dengan suatu merek, maka mereka akan lebih engage dan keinginan mereka untuk merekomendasikan merek yang mereka nyaman tersebut kepada orang lain.
Kesimpulan
Seperti yang telah kita lihat, lingkungan digital terus berinovasi dan berubah, dan mencoba merangkul setiap tren bisa jadi luar biasa. Jika kita ingin merek kita tetap up to date, rekomendasi saya adalah memprioritaskan aspek-aspek berikut:
Pertama, korporasi harus lebih fleksibel terhadap standar yang lebih tinggi dan pengukuran kinerja suatu merek.
Suatu merek bisa berkembang maksimal butuh waktu. Terkadang saya masih melihat bahwa standar yang terlalu tinggi untuk suatu merek hingga hari ini masih merupakan stopper untuk merek.
Netflix butuh 13 tahun untuk mencapai titik mereka saat ini.
Kedua, membangun ikatan yang signifikan antara merek dan konsumen. Hal ini penting dilakukan agar ekuitas konsumen terbangun dengan baik.
Ketiga, menggunakan strategi sosial media secara tepat. Ini menjelaskan mengapa banyak korporasi menggunakan instagram dan platform lain untuk mempromosikan pembelian dalam aplikasi serta belanja langsung, sebuah tren yang sudah mapan di negara-negara Asia dan kemungkinan akan menguat di 2022.
Terakhir, konten dan pesan suatu merek. Alih-alih menggunakan influencer pada momen tertentu atau kampanye mandiri, menurut saya lebih baik merek beralih ke pendekatan "selalu aktif" di mana mereka dapat terus memengaruhi pengguna melalui strategi yang berkelanjutan.
Salam hangat saya
Referensi:
Harvard Business Review: A Better Way to Map Brand Strategy
Harvard Business Review: Build Your Brand as a Relationship
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H