Mohon tunggu...
Andesna Nanda
Andesna Nanda Mohon Tunggu... Konsultan - You Are What You Read

Kolumnis di Kompas.com. Menyelesaikan S3 di Universitas Brawijaya

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Kamu Harus Memahami 3 Pertanyaan Ini untuk Mengatasi Rasa Cemas

23 Juli 2021   15:59 Diperbarui: 14 April 2022   06:29 968
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap orang pasti memiliki aspirasi dan harapan. Namun terkadang kita tidak begitu memikirkan efek atau dampak aspirasi dan harapan tersebut untuk hidup kita.

Di titik yang ekstrim, aspirasi dan harapan tersebut akan membuat kita merasa cemas jika aspirasi dan harapan tersebut tidak tercapai.

Hal ini disebabkan karena otak kita tidak berhenti untuk mengirimkan sinyal ke seluruh anggota tubuh untuk tetap berharap semua hal yang kita cita-citakan tercapai.

Tentunya tidak ada yang salah dengan hal tersebut. Sebagai manusia kita memang dibekali oleh free will untuk terus berharap maju dan bergerak secara dinamis.

Pengalaman saya selama ini mengejar aspirasi dan harapan membuat saya sadar bahwa rasa cemas selalu akan datang ketika kita tidak bisa memahami makna sesungguhnya dari mengejar aspirasi dan harapan.

Rasa cemas itu akan membuat kita menjadi tidak bahagia dalam kehidupan dan keluarga. Rasa cemas akan membuat kita mengeluh mengenai bos kita, teman sekantor, pasangan, dan bahkan orang tua kita sendiri.

Saya sendiri adalah pribadi yang mencoba hidup berdampingan dengan rasa cemas yang saya ciptakan sendiri.

Rasa cemas yang saya ciptakan karena begitu besar aspirasi dan harapan saya untuk hidup secara sempurna.

Di satu titik rasa cemas itu terkadang berubah menjadi nyeri di dada yang cukup intens. Namun kemudian saya sadar bahwa saya harus belajar melakukan kontrol terhadap hal tersebut.

Saya sadar bahwa urusan saya bukan hanya soal rasa cemas. Sebagai kepala keluarga saya harus tetap tenang dan hadir untuk seluruh orang-orang yang saya cintai.

Mengapa Mengontrol Rasa Cemas Itu Penting?

Jawabannya adalah berhubungan dengan uang, aspirasi dan harapan atau tujuan jangka pendek atau jangka panjang.

Sebagai manusia normal tentunya kita menyukai uang dan membutuhkan uang bukan hanya sebagai alat transaksi tapi juga sebagai sarana mencapai aspirasi dan harapan-harapan tersebut.

Permasalahannya adalah kita cemas karena mengasosiasikan aspirasi dan harapan tersebut dengan uang. Pada akhirnya kita tidak lagi mengejar aspirasi dan harapan tersebut tapi kita mengejar uang.

Kita menjadi transaksional, melakukan apa pun yang diinginkan orang lain dan akhirnya gagal memahami apa sebenarnya yang diinginkan oleh diri kita sendiri.

Rasa cemas berlebihan | Foto oleh Gustavo Fring dari Pexels
Rasa cemas berlebihan | Foto oleh Gustavo Fring dari Pexels

Premis tersebut akan membawa kita pada tingkat kecemasan yang berlebihan karena kita dipaksa “menyetujui” apa yang diinginkan oleh orang lain.

Hal ini ditambah lagi dengan kita hidup di era digital di mana banyak sekali orang-orang yang so called influencers seakan-akan mengarahkan bagaimana seharusnya aspirasi dan harapan kita.

Hal ini membuat tingkat kecemasan kita semakin bertambah seiring dengan meningkatnya aspirasi dan harapan kita yang semakin bertumbuh ketika kita melihat hidup orang lain.

Dengan kita mampu mengontrol rasa cemas maka kita akan lebih bisa melihat dan memahami apa yang sebenarnya kita inginkan.

Lantas Bagaimana Cara Mengontrol Rasa Cemas?

Pengalaman saya hidup dengan kecemasan yang berlebihan terhadap hal-hal yang saya ciptakan sendiri membuat saya sadar ada 3 pertanyaan yang harus kita pahami untuk mengatasi rasa cemas ini.

1. Tanyakan pada diri sendiri apa akhir yang diharapkan dari aspirasi dan harapan kita itu

Sebelum kita membuat aspirasi dan harapan atau misalnya sedang dalam proses mencapai aspirasi dan harapan tersebut, coba tanyakan dulu pada diri sendiri, “apa akhir yang kita harapkan dari aspirasi dan harapan tersebut?”.

Kemampuan menjawab pertanyaan tersebut menjadi penting agar kita tahu sebenarnya apa hasil akhir yang kita harapkan.

Sebagai contoh, misalkan ada rekan atau kolega yang menyarankan kita untuk mengambil sekolah lagi di tingkat S2.

Mereka mungkin akan mengatakan “sekarang sarjana sudah biasa, perlu S2.” Atau “tanpa sekolah S2 karir akan terhambat.”

Pendapat itu mungkin ada benarnya juga. Namun apakah kita sudah menanyakan pada diri kita sendiri apa sebenarnya hasil akhir yang kita harapkan dengan sekolah S2 tersebut.

Hal ini pernah saya alami ketika saya memutuskan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang tertinggi. Pada waktu itu saya masih bingung dan cemas apakah memang ini pilihan terbaik. 

Pada akhirnya saya bertanya pada diri saya sendiri apa hasil akhir yang saya harapkan dari langkah tersebut.

Di titik itulah saya berhasil menemukan jawaban atas pertanyaan tersebut yang akhirnya membuat saya bisa mengatasi rasa cemas yang muncul karena adanya gap antara aspirasi dan harapan dengan kenyataan.

2. Tanyakan pada diri sendiri siapa atau apa yang membuat kita bergerak ke arah aspirasi dan harapan tersebut

Saya pikir kebanyakan dari kita saat melakukan setting aspirasi dan harapan otak pasti penuh dengan pemikiran dan cara untuk mencapai hal tersebut.

Namun saya cukup yakin hanya sedikit dari kita yang berani bertanya pada diri sendiri mengenai apa dan siapa yang membuat kita bergerak untuk meraih aspirasi dan harapan tersebut.

Apakah itu sahabat? Teman? Pasangan? Orang tua?

Kebanyakan dari kita selalu yakin bahwa apa dan siapa itu adalah diri kita sendiri. Nope! keputusan untuk bergerak menggapai aspirasi dan harapan itu pasti ada penggeraknya.

Penggeraknya adalah apa dan siapa yang harus kita temukan. Dengan mengetahui apa dan siapa yang mendorong maka kita akan lebih memahami makna aspirasi dan harapan tersebut.

Dengan memahami makna aspirasi dan harapan tersebut maka tingkat kecemasan akan berkurang karena kita tahu persis arti terdalam dari proses dan risiko yang akan kita hadapi.

Tanpa tahu makna terdalam dari aspirasi dan harapan tersebut maka hanya akan menjadi beban kecemasan. 

Padahal tujuan kita meraih aspirasi dan harapan tersebut adalah agar kita menikmati prosesnya. Bukan malah memberikan rasa cemas yang ujungnya bisa menjadi delusional.

3. Tanyakan pada diri sendiri apa yang terjadi jika kita gagal meraih aspirasi dan harapan tersebut

Ketika saya lulus Sekolah Menengah Atas (SMA) sebenarnya saya mempunyai aspirasi dan harapan untuk masuk Akademi Militer. Namun saat itu Ibu saya mempunyai aspirasi dan harapan yang berbeda.

Ibu saya mengharapkan saya menjadi pegawai kantoran yang artinya saya harus mengambil jalur kuliah sarjana di suatu Universitas.

Pada waktu itu saya merasa gagal dalam meraih aspirasi dan harapan saya. Saya kemudian mengalami rasa cemas bagaimana nasib saya selanjutnya. Apakah saya akan bisa memenuhi aspirasi dan harapan ibu saya itu atau tidak.

Namun setelah belasan tahun berlalu saya baru memahami bahwa kita selalu bisa bertanya pada diri sendiri mengenai apa yang akan terjadi ketika kita gagal mencapai aspirasi dan harapan tersebut.

Pada waktu itu akhirnya saya malah mendapatkan aspirasi dan harapan yang sama sekali tidak saya duga. 

Saya pun diterima masuk melalui Undangan Seleksi Mahasiswa IPB (USMI) atau dulu orang tua kita mengenal dengan sebutan PMDK.

Akhirnya dari hal tersebut saya memahami ternyata penting untuk bertanya pada diri sendiri mengenai apa yang akan terjadi selanjutnya.

Banyak orang gagal menjawab pertanyaan ini yang akhirnya membuat mereka terbenam dalam rasa penyesalan dan kegagalan yang tidak berkesudahan.

Cara mengontrol rasa cemas | Foto oleh Yan Krukov dari Pexels
Cara mengontrol rasa cemas | Foto oleh Yan Krukov dari Pexels

Kesimpulan

Sebagai konklusi dari artikel ini saya ingin memulai dengan satu pendapat dari Thomas Hobbes, seorang filosofis abad ke 17 dari Inggris, yang memberikan suatu abstrak bahwa rasa cemas itu terjadi karena kita memikirkan masa depan.

Masa depan itu dapat terbentuk dari aspirasi dan harapan. Kemudian setiap ekspresi dari aspirasi dan harapan kita adalah juga merupakan ekspresi rasa cemas kita. Kita tidak akan cemas jika kita tidak punya aspirasi dan harapan.

Rasa cemas merupakan bagian tak terpisahkan dari proses aspirasi dan harapan. Jadi jika kita ingin tetap ingin mempunyai aspirasi dan harapan, maka kita harus bersedia hidup dengan rasa cemas yang menyertainya.

Salam Hangat

Sumber:

  1. Randy Johnson/Anxiety self help: Why Can't I Stop Worrying? With a FREE EBOOK INSIDE, Why am I Fearful All The Time? How Can I Overcome These Anxiety Issues And Have ... Anxiety Relief, Anxiety and depression)
  2. Charlotte Lieberman/Harvard Business Review/How to Manage Your Anxiety
  3. Morra Aarons-Mele/Harvard Business Review/Leading Through Anxiety
  4. Butler, G., & Mathews, A. (1983). Cognitive processes in anxiety. Advances in behaviour research and therapy
  5. Olivia Remes/TED/how to cope with anxiety

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun