Mohon tunggu...
Andesna Nanda
Andesna Nanda Mohon Tunggu... Konsultan - You Are What You Read

Kolumnis di Kompas.com. Menyelesaikan S3 di Universitas Brawijaya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mengapa Kita Suka Meniru dan Mengikuti Orang Lain?

25 Mei 2021   19:53 Diperbarui: 25 Juni 2021   11:45 1976
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosial | Sumber: Foto oleh Priscilla Du Preez di Unsplash

Apakah orang tua kamu pernah mengatakan ini padamu, "Jika semua temanmu melompat dari jembatan, maukah kamu melakukannya?" 

Atau apakah kamu pernah merasa tertekan untuk membeli merek pakaian tertentu, model ponsel tertentu, atau mobil baru hanya untuk terlihat "cocok" di tempat kerja atau dengan teman-teman kamu?

Jika pernah, maka kamu telah mengalami satu hal yang dalam behavioral science disebut dengan social proof.

Apa Itu Social Proof?

Social proof adalah tendensi kita untuk menggambarkan kecenderungan naluriah mencoba sesuatu yang baru hanya karena melihat orang lain melakukannya. 

Tidak masalah sudut pandang mana yang kita lihat, semua orang termasuk saya pasti mencari yang namanya penerimaan sosial. 

Secara psikologis kita pasti memiliki keinginan untuk menyesuaikan dengan semua orang. Dengan berbagai cara, termasuk perilaku sosial kita.

Coba tanyakan pada diri sendiri, apakah pernah membeli produk karena rekomendasi dari orang lain? 

Atau pernah tidak melakukan dan mencoba hal-hal baru karena seolah-olah mendapat "bukti" bahwa hal itu baik untuk kita, hanya karena orang lain sukses melakukannya?

Jika pernah, kita berarti terpengaruh social proof. Padahal belum tentu produk atau hal baru tersebut cocok untuk kita. 

Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Robert Cialdini dalam bukunya Influence tahun 1984, dan konsep ini juga dikenal sebagai transformational social influence. 

Saya berikan contoh ringan, misalnya diet.  Akhir-akhir ini banyak sekali bermunculan pola diet berdasarkan seleb A, pola diet seleb B, atau pola diet yang saya bahkan tidak terbayang bagaimana menjalaninya.

Tapi pertanyaannya adalah, apakah itu sudah pasti cocok untuk kita? Jawabannya bisa cocok, bisa juga malah berbahaya untuk tubuh kita.

Lalu kenapa orang tetap terpengaruh? Hal ini merupakan bukti bahwa social proof membuat kita membeli atau melakukan sesuatu bukan karena kualitas produk atau manfaat hal tersebut. 

Sosial | Sumber: Foto oleh Priscilla Du Preez di Unsplash
Sosial | Sumber: Foto oleh Priscilla Du Preez di Unsplash
Bagaimana Cara Kerja Sosial Proof?

Mari kita bahas situasi kehidupan nyata untuk menunjukkan cara kerja social proof. Misalnya sebagai berikut:

Saat itu saya sedang dalam perjalanan dinas ke suatu tempat yang kali pertama saya datangi. Kemudian saat sedang berjalan mencari makan malam, saya dan rekan-rekan saya menemukan sebuah restoran yang dipenuhi dengan orang-orang yang semuanya terlihat menikmati makanan.

Kami jadi berpikir bahwa pasti restorannya menyajikan makanan berkualitas tinggi, karena mengapa bisa begitu banyak orang yang makan di sana?

Skenario ini mendemonstrasikan cara kerja social proof dalam tindakan. Kami melihat konsumen lain yang terlibat dengan produk yang populer, akhirnya kami juga melihat produk itu menarik.

Kenapa hal itu bisa terjadi? 

Begini, jadi jika kita berada di suatu tempat yang baru, mencari tempat makan, kemungkinan besar kita akan berjalan ke restoran yang ramai dengan orang-orang yang terlihat tertawa yang bahagia, daripada restoran yang sepi dan tidak ada tanda-tanda bahwa tempat tersebut menyajikan makanan yang enak.

Dalam aplikasi di dunia pemasaran, social proof ini merupakan taktik yang sangat ampuh. Misalnya, untuk mendorong penjualan dengan social proof adalah dengan menggunakan ulasan produk dan testimonial. 

Menjadi jelas bukan kenapa di media sosial selalu ada "minta testimoni-nya dong kak". Karena secara psikologis, kita pasti meminta pendapat orang lain sebelum melakukan pembelian.

Ilustrasi Belanja | Sumber: Foto oleh Christiann Koepke di Unsplash
Ilustrasi Belanja | Sumber: Foto oleh Christiann Koepke di Unsplash
Kenapa Kita Bisa Terpengaruh Social Proof?

Penjelasan di atas menggambarkan betapa sulitnya kita menghindari social proof dalam aktivitas sehari-hari. Apalagi saat ini dengan media sosial yang sangat mendominasi hidup kita.

Otak menjadi penuh akan informasi. Kita menjadi mudah terpengaruh dan mempengaruhi orang lain. Keputusan-keputusan yang diambil menjadi rentan terjebak dalam bias kognitif.

Kita menjadi rentan melakukan pembelian impulsif yang bahkan kita sendiri tidak perlu produk tersebut. 

Dalam sudut pandang negatif misalnya, jika kita tidak bisa menghindari dan meminimalisasi social proof ini maka kita bisa terjebak mencoba produk-produk yang merusak kesehatan. Misalnya, narkoba.

Tentu sangat disayangkan sekali bukan generasi penerus di masa kini sangat rentan dengan social proof ini. Mereka berlomba-lomba meniru dan melakukan hal-hal yang mereka sangka itu baik. Padahal malah membawa pengaruh buruk.

Lantas apa saja yang membuat kita terpengaruh social proof ini? 

Berdasarkan pengalaman saya, setidaknya ada beberapa hal yang bisa membuat kita terpengaruh social proof sebagai berikut:

1. Melihat panutan kita
Secara spontan, kita lebih cenderung mencari masukan dari orang yang kita anggap expert. Apalagi jika kita dalam kondisi yang kita sendiri belum pernah melakukannya. 

Ini adalah prinsip penting social proof, di mana mereka yang memiliki lebih banyak pengetahuan tentang suatu situasi dapat memimpin reaksi.

2. Jumlah orang yang melakukannya
Semakin banyak orang yang kita lihat melakukan hal tersebut atau semakin banyak orang yang membeli produk tersebut, maka semakin terpengaruh kita. 

Hal ini sangat dipengaruhi oleh satu konsep yang disebut dengan herd mentality, ketika sekelompok orang mengalami sesuatu yang tidak pasti bersama-sama, tindakan mayoritas akan dianggap benar dan valid.

3. Kemiripan
Nah, ini saya sering mengalaminya. Jika kita mengalami atau melihat sesuatu yang tidak biasa dengan sekelompok besar orang, kita lebih cenderung mengikuti reaksi orang-orang yang kita anggap mirip dengan kita.

4. Ketidakpastian
Ini biasanya terjadi jika kita berada didalam satu ketidakpastian, maka biasanya kita sowan ke rumah orang yang kita anggap lebih tua atau lebih punya pengalaman. Makanya kalau musim pilkada, sering sekali kita melihat safari para calon ke tokoh masyarakat.

Untuk lebih jelasnya, saya mencoba memberikan ilustrasi social proof ini. Silahkan coba perhatikan gambar di bawah ini.

Social Proof | Sumber: Dokumentasi Pribadi
Social Proof | Sumber: Dokumentasi Pribadi
Social Proof adalah senjata yang sangat kuat untuk membujuk dan mempengaruhi. Kesadaran tentang bagaimana mekanismenya bekerja dan memengaruhi kehidupan pribadi kita, pilihan konsumen, pendidikan, interaksi sosial, dan setiap aspek lain dari kehidupan kita sehari-hari, bisa sangat membantu.

Jangan Biarkan Social Proof Ini Mempengaruhi Kita

Kita semua pada hakikatnya menjual sesuatu. Ada yang menjual ide. Ada yang menjual Produk. Menjual layanan. Atau ada juga yang menjual Mimpi.

Di sinilah titik esensial kita harus mampu menahan pengaruh social proof ini. Kita harus mampu memilih dan memilah barang yang benar-benar kita butuhkan, kita harus benar-benar tahu perilaku sosial mana yang harus kita ikuti.

Berdasarkan pengalaman saya, ada beberapa langkah yang bisa kita lakukan sebagai berikut:

1. Pikirkan dengan matang-matang sebelum kita ingin membeli atau melakukan satu hal baru. Ini penting supaya kita tidak terjebak pada hal-hal yang tidak bermanfaat. 

2. Biarkan saja judgment orang terhadap kita. Yang sering jadi permasalahan adalah, kita terlalu sering mendengarkan apa kata orang. 

"Eh... handphonenya kok masih model lama?", "Eh....sudah coba clubhouse?", "Eh....mobil belum ganti juga?", "Eh....tas-nya kurang matching tuh!", semuanya kita dengarkan. Lama-lama kita stres dan terpengaruh. Padahal semuanya masih baik-baik saja.

3. Tahu apa yang kita mau. Ini yang seharusnya bisa kita kontrol 100%! We know what we want...jangan sampai biarkan orang lain yang menentukan pilihan kita.

Kesimpulan

Social proof adalah efek psikologis yang membuat kita meniru perilaku orang lain. Ini telah menjadi bagian penting dari cara kita berkomunikasi, karena hal ini sebenarnya membantu kita memilih siapa dan apa yang harus dipercaya. 

Dalam lingkungan yang tidak pasti seperti saat ini, social proof memberikan jalan baru bagi kita untuk membuat keputusan yang lebih baik.

Sederhananya, social proof adalah kekuatan pendorong yang memaksa kita untuk meniru pilihan orang lain. Itu ada karena, sebagai makhluk sosial, kita secara alami bersatu dan berperilaku sebagai "satu kelompok". 

Menariknya, sisi lain dari social proof ini tidak selalu mengarah pada tindakan positif. Social proof hanyalah bukti bahwa orang lain melakukan sesuatu bahwa "sesuatu" belum tentu sesuatu yang "baik", dan dapat digunakan (baik sengaja maupun tidak) untuk mendorong kita bertindak.

Terakhir, apapun keputusan atau perilaku sosial kita, pastikan kita sudah memikirkannya secara matang agar keputusan dan perilaku sosial tersebut membawa manfaat bagi diri sendiri ataupun orang lain.

Salam Hangat.

Referensi: Cialdini, R. B., Wosinska, W., Barrett, D. W., Butner, J., & Gornik-Durose, M. (1999). Compliance with a request in two cultures: The differential influence of social proof and commitment/consistency on collectivists and individualists. Personality and Social Psychology Bulletin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun