2. Biarkan saja judgment orang terhadap kita. Yang sering jadi permasalahan adalah, kita terlalu sering mendengarkan apa kata orang.Â
"Eh... handphonenya kok masih model lama?", "Eh....sudah coba clubhouse?", "Eh....mobil belum ganti juga?", "Eh....tas-nya kurang matching tuh!", semuanya kita dengarkan. Lama-lama kita stres dan terpengaruh. Padahal semuanya masih baik-baik saja.
3. Tahu apa yang kita mau. Ini yang seharusnya bisa kita kontrol 100%! We know what we want...jangan sampai biarkan orang lain yang menentukan pilihan kita.
Kesimpulan
Social proof adalah efek psikologis yang membuat kita meniru perilaku orang lain. Ini telah menjadi bagian penting dari cara kita berkomunikasi, karena hal ini sebenarnya membantu kita memilih siapa dan apa yang harus dipercaya.Â
Dalam lingkungan yang tidak pasti seperti saat ini, social proof memberikan jalan baru bagi kita untuk membuat keputusan yang lebih baik.
Sederhananya, social proof adalah kekuatan pendorong yang memaksa kita untuk meniru pilihan orang lain. Itu ada karena, sebagai makhluk sosial, kita secara alami bersatu dan berperilaku sebagai "satu kelompok".Â
Menariknya, sisi lain dari social proof ini tidak selalu mengarah pada tindakan positif. Social proof hanyalah bukti bahwa orang lain melakukan sesuatu bahwa "sesuatu" belum tentu sesuatu yang "baik", dan dapat digunakan (baik sengaja maupun tidak) untuk mendorong kita bertindak.
Terakhir, apapun keputusan atau perilaku sosial kita, pastikan kita sudah memikirkannya secara matang agar keputusan dan perilaku sosial tersebut membawa manfaat bagi diri sendiri ataupun orang lain.
Salam Hangat.
Referensi: Cialdini, R. B., Wosinska, W., Barrett, D. W., Butner, J., & Gornik-Durose, M. (1999). Compliance with a request in two cultures: The differential influence of social proof and commitment/consistency on collectivists and individualists. Personality and Social Psychology Bulletin.