Saya berikan contoh ringan, misalnya diet. Â Akhir-akhir ini banyak sekali bermunculan pola diet berdasarkan seleb A, pola diet seleb B, atau pola diet yang saya bahkan tidak terbayang bagaimana menjalaninya.
Tapi pertanyaannya adalah, apakah itu sudah pasti cocok untuk kita? Jawabannya bisa cocok, bisa juga malah berbahaya untuk tubuh kita.
Lalu kenapa orang tetap terpengaruh? Hal ini merupakan bukti bahwa social proof membuat kita membeli atau melakukan sesuatu bukan karena kualitas produk atau manfaat hal tersebut.Â
Mari kita bahas situasi kehidupan nyata untuk menunjukkan cara kerja social proof. Misalnya sebagai berikut:
Saat itu saya sedang dalam perjalanan dinas ke suatu tempat yang kali pertama saya datangi. Kemudian saat sedang berjalan mencari makan malam, saya dan rekan-rekan saya menemukan sebuah restoran yang dipenuhi dengan orang-orang yang semuanya terlihat menikmati makanan.
Kami jadi berpikir bahwa pasti restorannya menyajikan makanan berkualitas tinggi, karena mengapa bisa begitu banyak orang yang makan di sana?
Skenario ini mendemonstrasikan cara kerja social proof dalam tindakan. Kami melihat konsumen lain yang terlibat dengan produk yang populer, akhirnya kami juga melihat produk itu menarik.
Kenapa hal itu bisa terjadi?Â
Begini, jadi jika kita berada di suatu tempat yang baru, mencari tempat makan, kemungkinan besar kita akan berjalan ke restoran yang ramai dengan orang-orang yang terlihat tertawa yang bahagia, daripada restoran yang sepi dan tidak ada tanda-tanda bahwa tempat tersebut menyajikan makanan yang enak.
Dalam aplikasi di dunia pemasaran, social proof ini merupakan taktik yang sangat ampuh. Misalnya, untuk mendorong penjualan dengan social proof adalah dengan menggunakan ulasan produk dan testimonial.Â