Di tahun 2024, kenaikan biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT) di berbagai universitas di Indonesia menjadi topik hangat beberapa minggu terakhir, yang memicu keresahan di kalangan mahasiswa baru dan orang tua. Kenaikan UKT ini sejalan dengan ditetapkannya Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOPT). Peraturan ini digunakan sebagai dasar untuk peningkatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bagi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan PTN Badan Hukum (PTN-BH). Di tahun 2024, kenaikan biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT) di berbagai universitas di Indonesia menjadi topik hangat beberapa minggu terakhir, yang memicu keresahan di kalangan mahasiswa baru dan orang tua.Â
Kenaikan UKT ini sejalan dengan ditetapkannya Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOPT). Peraturan ini digunakan sebagai dasar untuk peningkatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bagi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan PTN Badan Hukum (PTN-BH).
Fenomena ini bukan hanya terjadi di satu atau dua universitas, tetapi hampir di seluruh perguruan tinggi di Indonesia, termasuk institusi-institusi besar seperti Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Universitas Indonesia (UI).
Pada 27 Mei 2024, setelah dipanggil Jokowi Nadiem Makariem mengumumkan bahwa pemerintah membatalkan kenaikan UKT untuk tahun 2024. Namun jika begitu, apakah kenaikan UKT ini akan berlaku tahun depan? Lalu langkah apa yang akan diambil pemerintah untuk permasalahan UKT ini. Apakah ada mekanisme yang akan diterapkan untuk memastikan bahwa biaya kuliah tetap terjangkau?
Wacana Student Loan
Sebagai salah satu solusi untuk mengatasi masalah ini, pemerintah mengusulkan program student loan. Student loan adalah skema pinjaman biaya yang ditujukan oleh mahasiswa dalam menempuh pendidikan tinggi. Pinjaman ini dimaksudkan untuk memperluas akses pendidikan tinggi, terlebih dikhususkan oleh mahasiswa kurang mampu. Prinsip dari student loan sendiri adalah mahasiswa wajib membayar utang mereka setelah lulus.
Pada Februari 2024, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, menyampaikan bahwa Dewan Pengawas Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) tengah mengkaji pengembangan program bantuan pinjaman biaya pendidikan dengan bunga rendah untuk mahasiswa. Pemerintah berharap skema ini dapat membantu mahasiswa yang kesulitan membayar UKT.
Namun, rencana ini menimbulkan kontroversi di masyarakat. Di Amerika Serikat (AS), program student loan telah berjalan sejak lama, tetapi data menunjukkan bahwa sebagian besar lulusan tetap dibebani oleh cicilan student loan hingga masa tuanya. Di AS sekitar 60% peminjam student loan memperkirakan akan melunasi utangnya di usia 40-an.Â
Menurut data, per 2024 lebih dari 50% mahasiswa di AS lulus dengan tanggungan utang menggunung yang totalnya hingga 1.7 triliun USD yakni dengan rata-rata utang sekitar 28.900 USD atau setara dengan Rp400 juta per mahasiswa.
Hal ini semakin keruh akibat interest rate yang dinilai tinggi dan akhirnya membuat masyarakat miskin secara disproporsional lebih terbebani oleh utang pendidikan. Pada 22 Mei 2024, pemerintah AS melunasi utang mahasiswa untuk 160 ribu peserta dengan total nilai pinjaman mencapai 7.7 miliar USD.
Menurut masyarakat Indonesia, solusi pemerintah untuk menggunakan student loan dirasa kurang bijak untuk menangani masalah kenaikan UKT. Beberapa mahasiswa telah menolak implementasi kebijakan ini karena alih-alih memberikan pendidikan yang terjangkau, student loan dinilai dapat mengalihkan tanggung jawab pemerintah dalam memberikan akses pendidikan yang layak, dan justru memberikan solusi dengan menyuruh mahasiswanya untuk berutang.
Pinjaman Online di ITB: Sebuah Alarm
Wacana student loan muncul karena adanya kasus yang terjadi di ITB, dengan memfasilitasi mahasiswa yang kekurangan dana, dan terpaksa membayar biaya kuliah menggunakan pinjaman online (pinjol). Hal itu memperlihatkan betapa mendesaknya masalah ini. Pinjol seringkali mengenakan bunga tinggi dan memiliki syarat yang memberatkan, sehingga memperburuk situasi finansial mahasiswa. Fakta ini menegaskan bahwa diperlukan solusi yang lebih berkelanjutan dan tidak membebani mahasiswa dengan utang yang melumpuhkan.
Dalam pandangan ini, perguruan tinggi perlu meninjau kembali besaran UKT dengan lebih transparan. Penghitungan UKT harus berdasarkan kemampuan finansial mahasiswa dan orang tua, bukan semata-mata kebijakan umum yang tidak mempertimbangkan kondisi individu.Â
Pemerintah dan perguruan tinggi juga harus memperluas program beasiswa dan bantuan keuangan untuk mahasiswa dari keluarga kurang mampu, dan juga meningkatkan kualitas pendidikan untuk memastikan bahwa pendidikan tinggi di Indonesia tetap berada di tingkat yang baik dan dapat dijangkau oleh semua kalangan.
Dampak Jangka Panjang di Indonesia
Penerapan student loan di Indonesia sepertinya malah menjadi beban finansial bagi mahasiswa di kemudian hari. Terutama bagi mahasiswa yang ketika lulus tidak langsung memiliki pekerjaan, tetapi wajib mengembalikan pinjaman biaya pendidikan saat kuliah.
Dampak student loan tidak hanya terbatas pada biaya kuliah, tetapi juga dapat berdampak pada ketidaksetaraan generasi, GDP, dan gagal bayar. Richardson, kepala ekonom manajemen HRD di firma ADP, menekankan bahwa pinjaman pelajar lebih berdampak pada kaum muda saat ini, ketimbang generasi-generasi di atasnya. Selain itu, lulusan saat ini memasuki salah satu periode dunia kerja paling tidak menguntungkan, sehingga akan menimbulkan dampak jangka panjang berupa ketidaksetaraan generasi.
Langkah Praktis Pemerintah
Dalam konteks ini, Mendikbudristek harus menyelesaikan janji hentikan kenaikan biaya kuliah yang tak masuk akal. Â Pemerintah harus memastikan bahwa biaya kuliah yang dikenakan oleh perguruan tinggi tidak semakin naik dan memberatkan masyarakat.Â
Selain itu, pemerintah perlu mengadakan kajian yang matang dan transparansi dalam pengelolaan student loan dengan memastikan bahwa student loan yang diterapkan tidak mengikuti model negara lain, tetapi disesuaikan dengan kondisi perekonomian negara. Model yang digunakan di negara-negara maju seperti AS mungkin tidak sepenuhnya cocok untuk diterapkan di Indonesia.
Oleh karena itu, pemerintah perlu memberikan subsidi untuk meringankan beban bunga pinjaman. Hal ini akan membantu mahasiswa untuk tidak terlalu terbebani dengan cicilan yang tinggi setelah lulus. Pemerintah juga harus memastikan bahwa student loan tidak dikomersialisasi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, sehingga dapat berubah menjadi skema pinjaman berbunga komersial yang merugikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H