Mohon tunggu...
Nanda Erlina
Nanda Erlina Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Mencintaimu itu seperti sholat tarawih, bukan siapa yang datang paling awal, namun siapa yang sanggup bertahan hingga akhir..

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Kawin Colong: Menghargai Tradisi atau Mengabaikan Hak Asasi Manusia

19 Oktober 2023   13:12 Diperbarui: 19 Oktober 2023   13:19 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kawin colong, tradisi pernikahan unik yang dilakukan suku Osing di Banyuwangi, menuai kontroversi ditengah masyarakat.

Selain terkenal dengan destinasi wisata yang menakjubkan, Banyuwangi juga memiliki banyak sekali budaya dan tradisi yang tidak kalah unik juga menarik. Salah satunya adalah tradisi Kawin Colong. Tradisi ini berasal dari suku asli Banyuwangi yang dikenal sebagai suku Osing. 

Jika kawin lari dalam pandangan masyarakat dianggap sebagai sesuatu yang tidak lazim. Namun berbeda lagi dengan suku Osing yang menganggap kawin colong sebagai suatu tradisi yang patut dilestarikan. 

Colong dalam bahasa Osing berarti mlayokaken yang berarti mencuri. Tapi dalam konteks kawin colong, bukan bermakna negatif seperti mencuri barang yang biasa kita pahami. 

Sebaliknya kawin colong dalam teori bahasa dan makna memunculkan makna positif sebagai bentuk cinta sejati dan penghormatan terhadap budaya leluhur. Sehingga kata colong mempunyai makna konotatif.

Dalam sejarahnya, tradisi ini telah ada sejak zaman nenek moyang lalu diwariskan secara turun temurun. Memang belum diketahui kapan tepatnya tradisi ini mulai muncul, namun yang jelas tradisi kawin colong ini ditemukan ketika suatu hari ada seorang laki-laki yang cintanya tidak direstui oleh orang tua si perempuan yang dicintainya. 

Maka dari itu laki-laki tersebut membawa atau melarikan si perempuan pergi tanpa sepengetahuan keluarga perempuan ke kediamannya. Dengan demikian kawin colong adalah suatu bentuk tradisi melarikan seorang perempuan yang dilakukan oleh si laki-laki dengan maksud untuk dijadikan istri dengan menggunakan prosedur sesuai dengan adat setempat.

Disamping itu, munculnya kawin colong karena adanya faktor yang mempengaruhi mereka melakukan tradisi tersebut seperti, ketiaksetujuan keluarga si perempuan. 

Alasan pihak orang tua perempuan tidak merestui, biasanya karena ada perbedaan status sosial, usia dan perekonomian. Faktor kedua yaitu perempuan telah dijodohkan dengan orang lain, karena si perempuan tidak tertarik dengan pilihan orang tuannya dan telah memiliki kekasih, maka pasangan tersebut merencanakan kawin colong. 

Faktor ketiga adalah mempercepat pernikahan, dalam bahasa Osing disebut nyepetaken lakon. Maksudnya, ketika kedua belah pihak telah setuju dengan waktu pernikahan, namun karena waktunya terlalu lama dan khawatir dengan hal-hal yang melanggar aturan seperti zina, maka menggunakan cara alternatif yaitu dengan kawin colong.

Jadi ketika kawin colong, kurang dari 24 jam pihak laki-laki harus mengirim seorang colok ke rumah orang tua si perempuan untuk memberitahukan kepada mereka bahwa anaknya sedang dalam proses kawin colong. 

Colok merupakan seorang perantara sekaligus menjadi penerang bagi keluarga perempuan yang pada saat itu tengah mengalami masa kegelapan yakni ketika sang anak dicolong. 

Pada saat itu terjadilah perundingan antara colok dengan keluarga perempuan yang awalnya tidak setuju pada akhirnya menyetujui kawin colong tersebut. Maka peran colok sangatlah penting dalam keberangsungan tradisi ini, sehingga pemilihan colok pun tidak boleh sembarang orang, harus yang disegani dan pandai berargumentasi. 

Kemudian ada tahapan yang harus dilaksanakan ketika adat kawin colong yaitu bakalan, nyolong, ngutus obor, ngempotaken, munggah kawin, surup, dan terakhir neng kuade.

Meskipun kawin colong terkenal sebagai tradisi yang unik, namun hal ini menuai pro dan kontra. Pihak masyarakat yang pro berpikir bahwa tradisi ini patut terus dilestarikan karena pasti memiliki dampak yang baik. Sebagian masyarakat yang kurang paham pasti akan memandang negatif dari tradisi ini. Hal ini dianggap telah melanggar hak asasi manusia terutama bagi si perempuan dalam memilih pasangan. 

Terlebih lagi juga menimbulkan ketegangan sosial bagi keluarga si perempuan, yang merasa terusik dan tidak tenang karena putrinya dibawa kabur oleh seorang laki-laki tanpa seizinya. Namun, ketika kita mencoba mengulik lebih dalam mengenai kawin colong, yang mana diketahui bahwa sebenarnya pihak yang melakukan tradisi tersebut adalah pasangan yang saling mencintai, sehingga tidak ada unsur paksaan yang akan menjadi permasalahan dalam pengabaian HAM.

Dengan demikin, sebelum menjalankan kawin colong, mereka berdua setuju dan telah bersepakat, sehingga dalam hal ini dapat dikatakan tidak ada pihak yang dirugikan dan terpaksa melakukan tradisi ini. 

Hal ini diperkuat dengan teori kesepakatan, yang menyebutkan bahwa kawin colong harus berdasarkan kesekapakatan dua orang, yaitu si pasangan sendiri. Namun jika diprakarsai hanya dari satu pihak, maka tradisi tersebut menjadi tidak sah dan boleh menuntut si laki-laki ke ranah hukum. 

Selain itu, ketegangan sosial yang dirasakan oleh pihak wanita akan berangsur-angsur mereda ketika proses kawin colong ini selesai. Segala kemarahan akan sirna dengan sendirinya dan keadaan akan pulih seperti biasa.

Jika dikaji lebih mendalam, eksistensi kawin colong sangat membantu masyarakat Osing dalam penyelesaian masalah pernikahan yang ditentang oleh orang tua. Sehingga proses pernikahan yang awalnya rumit menjadi mudah dan cepat dengan melakukan tradisi kawin colong. 

Dengan demikian, sebagai suatu tradisi khas Banyuwangi yang telah ada sejak dahulu, maka sudah menjadi tugas kita dalam melestarikan dan memperkenalkan kepada masyarakat luas yang belum mengetahui tradisi kawin colong, agar tidak memandang sebelah mata dan berfikiran negatif. Sehingga ditarik kesimpulan, bahwa tidak ada pengabaian HAM apabila kedua belah pihak telah setuju melakukan tradisi tersebut tanpa paksaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun