Mohon tunggu...
nanda sihombing
nanda sihombing Mohon Tunggu... polri -

J'aime la vie! I feel that to live is a wonderful thing.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Berpikir Filosofis

6 Januari 2016   13:03 Diperbarui: 6 Januari 2016   14:29 3869
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Filsafat adalah dasar dari pengetahuan. Filsafat merupakan suatu pencarian akan kebenaran fundamental. Fundamental artinya mendasar dan mendetail dari apa yang terlihat dari penampakan luar. Contohnya : jenis kelamin yaitu jantan dan betina, yang dapat diketahui dari penampakan fisik luar sedangkan dari dalam dibedakan dari jenis kromosom X dan Y.

CREDO adalah keyakinan dalam ilmu. Tidak ada kebenaran yang mutlak dalam ilmu. Filsafat ilmu merupakan metafisika (di luar fisika) maksudnya adalah bahwa filsafat adalah hal-hal yang tidak dapat ditangkap oleh indra atau tinjauan diluar fisika.

Filsafat menurut pandangan lama (plato dan aristoteles) merupakan pencarian kebenaran normative yang mendasar mengenai kehidupan dan pencarian pandangan dunia (tinjauan metafisika). Pendapat baru menyatakan filsafat adalah analisis penggunaan bahasa ( Kata dan kalimat) dalam pemakaian sehari-hari. RENE DESCARTES menyatakan “COGITO (yang artinya berfikir), ERGO SUM” berarti “aku berfikir maka aku ada”. Berfikir lebih duluan daripada ada.

Ciri-ciri penalaran filosofis antara lain :

  1. skeptis (meragukan)
  2. radikal (mengakar, sampai mentok ke akar-akarnya)
  3. menyeluruh (sehabisnya, sebisa-bisanya)
  4. analisis (memilah-milah)
  5. kritis (mempertanyakan)

Konsep tiga pilar pengetahuan dalam filsafat menurut Dosen pengajar mata kuliah filsafat ilmu di STIK-PTIK Prof. Dr. Dr. dr Theodorus Immanuel Setiawan (2015), antara lain adalah ilmu, agama dan seni. 

 

ILMU

AGAMA

SENI

Ilmiah

Ilmiah (dari sudut pandang

Bersifat sangat subjektif

Harus ada pembuktian empirik

kebenaran sejarah agama)

(antar masing-masing

 

 

individu berbeda)

Tiga dasar ilmu (eksakta dan

Tidak ilmiah (dari sudut

Tidak usah diperdebatkan

sosial ) :

pandang keimanan masing-

kesubjektifannya

a. pembenaran

masing individu manusia dan

 

b. sistematik

kepercayaan kepada Tuhan yang diyakininya)

 

c. intersubjektif

 

 

Rasional (dapat berubah)

Rasional (tapi tidak berubah)

Bisa menjadi rasional bila

 

 

ada penjelasan tentang

 

 

nilai seni yang terkandung

 

 

sehingga yang tidak tahu

 

 

menjadi paham

 

Kebenaran ilmiah tidak dapat dicampuradukkan dengan kebenaran agama maupun seni, karena akan menimbulkan konflik atau bahkan perang agama. Namun, akan lebih baik lagi jika masing-masing dapat maju bersama-sama walaupun mungkin tetap akan ada kontra. Maka dari itu, filsafat bukanlah ilmu, karena tidak memiliki bukti empiris. Filsafat adalah dasar dari ilmu. Ilmu dimulai dari rasionalitas dan sikap percaya lalu dilanjutkan dengan berpikir. Namun, pada prosesnya axioma (percaya lebih dulu) ilmu dapat berubah setelah berpikir.

Pengetahuan pada intinya adalah semua hal yang kita tahu. Ciri pengetahuan ilmiah adalah rasional dan empirik. Contohnya : teori relativitas Einstein. Sesuatu hal yang tidak ilmiah (misalnya pemikiran rasional tentang penciptaan bumi dan bulan. Serta upaya manusia untuk membuat bulan buatan selama ini tidak pernah berhasil, hal tersebut dikarenakan perhitungan manusia tidak akan bisa sesempurna perhitungan Tuhan) bukan berarti tidak benar.

Pada awal saya mendapat pelajaran filsafat, saya langsung bersikap skeptis (meragukan). Pemahaman awal saya adalah bahwa filsafat itu adalah pembenaran bagi orang-orang yang tidak percaya kepada Tuhan (ateis). Namun, setelah mendapat pencerahan melalui ajaran mata kulah filsafat ilmu dari Prof. Dr. Dr. dr Theodorus Immanuel Setiawan, yang merupakan seorang dosen yang sangat luar biasa cerdas dan bijaksana, saya kemudian sadar bahwa sikap skpetis dan kritis saya terhadap filsafat itu sendiri sudah merupakan cara berpikir yang filosofis. Hal positif yang dapat saya ambil adalah bahwa dalam menjalani kehidupan ini kita memang setidaknya harus memiliki cara berpikir yang skeptis, analitis dan kritis. Dengan cara berpikir skeptis, maka kita akan lebih berpikiran terbuka, peka dan selalu ingin tahu apa yang ada di balik suatu hal atau kejadian yang terjadi. Cara berpikir analitis akan membantu kita mempermudah menyelesaikan suatu permasalah secara lebih sistematis. Sedangkan, cara berpikir kritis akan membuat kita tidak mudah mempercayai hal-hal yang tidak memiliki bukti empiris dan tidak mudah diperdaya terutama oleh kebenaran-kebenaran semu. Bahkan apabila kita bisa memahami esensi utama dari filsafat adalah kerendahan hati dan ajaran agar kita tidak sombong, bahwa ada kuasa besar di atas segala yang ada di alam raya jagat semesta ini.

 

Referensi :

Resume Perkuliahan Mata Kuliah Filsafat Ilmu bulan Agustus-November tahun 2015 oleh Prof. Dr. Dr. dr Theodorus Immanuel Setiawan. Jakarta : STIK-PTIK

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun