Mohon tunggu...
Nityananda
Nityananda Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Halo, saya Gusti Ayu Putu Laksmi Nityananda, mahasiswa aktif semester 2 program studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar di Universitas Pendidikan Ganesha, salam literasi!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Tradisi Mekare-Kare, Keindahan Kearifan Budaya Lokal di Desa Tenganan Pegringsingan

2 Juli 2024   23:18 Diperbarui: 2 Juli 2024   23:48 324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Desa Tenganan Pegringsingan (Sumber: Gusti Ayu Putu Laksmi Nityananda)

Indonesia memiliki kekayaan budaya yang luar biasa, salah satunya adalah tradisi dan kearifan lokal yang ada di setiap daerah. Pulau Bali, yang dikenal sebagai salah satu destinasi wisata terpopuler di dunia, menawarkan keunikan budaya yang menarik wisatawan dari seluruh penjuru dunia. Setiap kabupaten di Bali memiliki ciri khas budayanya masing-masing, termasuk Desa Adat Tenganan Pegringsingan di Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem.

Wawancara Tradisi Perang Pandan (Sumber: Gusti Ayu Putu Laksmi Nityananda)
Wawancara Tradisi Perang Pandan (Sumber: Gusti Ayu Putu Laksmi Nityananda)

Dalam sebuah wawancara, Bapak Putu Yudiana, Kelian Desa Adat Tenganan Pegringsingan, menyatakan bahwa desa tersebut memiliki karakteristik unik sebagai destinasi budaya, khususnya terkait kebudayaan masa Bali pra-Majapahit. Desa Tenganan Pegringsingan terkenal dengan tradisi Perang Pandan atau Mekare-Kare yang menjadi daya tarik utama bagi wisatawan.

Tradisi Mekare-Kare di Desa Adat Tenganan Pegringsingan adalah tradisi perang simbolis yang diadakan untuk menghormati Dewa Indra, yang dipuja sebagai dewa perang dan kesuburan. Masyarakat Tenganan Pegringsingan menghormati Dewa Indra sebagai dewa tertinggi yang telah menganugerahkan tanah luas kepada mereka. Walaupun tidak ada catatan tertulis yang mendetail tentang sejarah tradisi ini, Tradisi Mekare-Kare telah dilestarikan dari generasi ke generasi selama bertahun-tahun.

Tradisi Mekare-Kare hanya dilaksanakan pada bulan kelima menurut penanggalan Hindu Bali, sekitar bulan Juni menurut kalender Masehi. Upacara ini digelar di Bale Banjar atau alun-alun desa, dengan pria-pria yang akan bertanding dan wanita-wanita yang turut meramaikan suasana. Senjata yang digunakan adalah daun pandan berduri yang dipotong dan diikat dengan tali, serta tameng dari rotan. Pertarungan dilakukan satu lawan satu, dengan tujuan menggesekkan pandan ke tubuh lawan dalam tempo singkat, sekitar dua menit, diiringi oleh gamelan.

Ritual ini adalah puncak dari Tradisi Mekare-Kare, diadakan di depan balai Petemu Kelod tanpa panggung khusus. Dua peserta berhadapan dengan daun pandan di tangan kanan dan tameng rotan di tangan kiri, dipandu oleh penengah. Pertarungan diakhiri ketika salah satu menyerah, meski dalam budaya Tenganan Pegringsingan, menyerah adalah hal yang tabu. Juri mengawasi jalannya pertarungan, dan tidak ada pemenang atau pecundang; semua dilakukan untuk menghormati Dewa Indra. Luka-luka diobati dengan obat tradisional yang disiapkan sebulan sebelumnya oleh pemudi desa.

Desa Tenganan Pegringsingan (Sumber: Gusti Ayu Putu Laksmi Nityananda)
Desa Tenganan Pegringsingan (Sumber: Gusti Ayu Putu Laksmi Nityananda)

Bagi masyarakat Tenganan Pegringsingan, Tradisi Mekare-Kare memiliki makna mendalam. Tradisi ini adalah bentuk penghormatan kepada Dewa Indra dan simbol kekuatan serta kesatuan masyarakat desa. Nilai-nilai kearifan lokal seperti gotong royong, keberanian, dan kesetiaan kepada adat istiadat diwariskan kepada generasi muda melalui tradisi ini.

Desa Adat Tenganan Pegringsingan dikenal sebagai desa tradisional yang berhasil mempertahankan berbagai tradisi dan kearifan lokal.

Setiap aspek dari tradisi ini, mulai dari persiapan dengan teliti hingga pelaksanaan yang penuh ritual, mengandung makna mendalam tentang keberanian, gotong royong, dan kesetiaan kepada adat istiadat. Pria-pria yang bertarung dengan daun pandan berduri sebagai senjata dan tameng rotan sebagai pertahanan bukan sekadar menunjukkan keterampilan fisik, tetapi juga memperlihatkan kekuatan spiritual yang menguatkan jalinan sosial di desa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun