Mohon tunggu...
Nanda Putra Anindita
Nanda Putra Anindita Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Hukum

Mahasiswa Hukum yang mencoba menjadi orang yang lebih baik.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

An Indonesian Way: Langkah Berdaulat Indonesia Menyikapi Manuver Tiongkok di Laut China Selatan

27 Mei 2024   15:03 Diperbarui: 27 Mei 2024   16:22 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto: Unsplash/linfeng Li

Sekilas mengenai Laut China Selatan

Dalam publikasi Asian Development Bank berjudul "Asia 2050: Realizing the Asian Century" yang dirilis pada tahun 2011 memperhitungkan bahwa pada tahun 2050 Asia akan mengalami suatu kondisi yang disebut sebagai "the Asian Century". Kondisi tersebut menjadikan 51% Gross Domestic Product (GDP) dunia berada di Asia dengan pendapatan per kapita naik 6 kali lipat menjadi berkisar 38.600 dolar sehingga masyarakat Asia akan semakmur masyarakat Eropa. Salah satu indikator mengapa skenario tersebut dapat terjadi pada Asia adalah keberadaan suatu kawasan perairan yang strategis dan penting di dunia bernama South China Sea atau Laut China Selatan.

Laut China Selatan menjadi jalur lalu lintas perairan tersibuk kedua di dunia setelah Terusan Suez di Mesir. United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) menyatakan bahwa sepertiga dari perdagangan maritim dunia melalui Laut China Selatan. Jika dikalkulasikan aktivitas yang berlangsung di atas Laut China Selatan senilai 3,4 triliun dolar AS. Tak hanya sebagai jalur transportasi laut dan perdagangan internasional, Laut China Selatan memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Laut China Selatan memiliki sepertiga dari total keanekaragaman laut di dunia yang berkontribusi terhadap 10% dari total tangkapan ikan di dunia. Di sektor kekayaan tambang, 40% cadangan minyak dan gas bumi dunia terdapat di Laut China Selatan. United States Geological Survey (USGS) memperkirakan Laut China Selatan mengandung antara 2,4 miliar barel hingga 9,2 miliar barel minyak bumi dan cairan lainnya serta antara 62 triliun kaki kubik hingga 216 triliun kaki kubik gas alam bahkan berpotensi lebih besar dari penelitian tersebut.

Posisi Laut China Selatan yang vital dan strategis di dunia justru menjadi sumber ketegangan berkepanjangan antar negara di kawasan tersebut seperti Tiongkok, Vietnam, Filipina, Malaysia, maupun Brunei Darusalam. Masing-masing negara saling berebut kepemilikan wilayah termasuk fitur-fitur maritim yang ada di kawasan Laut China Selatan sesuai dengan klaim interpretasi subjektif negara didasarkan oleh kepentingan nasionalnya. Perbedaan interpretasi subjektif atas klaim wilayah Laut China Selatan oleh negara-negara pengklaim (claimant state) menjadi masalah serius karena wilayah yang diklaim saling tumpang tindih satu sama lain. Tiongkok menjadi aktor utama naiknya eskalasi konflik setelah mengklaim sebagian besar wilayah Laut China Selatan melalui Nine-Dash Line. Nine-Dash Line merupakan 9 (sembilan) garis putus-putus yang mencakup hampir keseluruhan Laut China Selatan yang digambarkan pada sebuah peta. Peta tersebut pertama kali dibuat pada tahun 1947 dengan Eleven-Dash Line yang diubah menjadi Nine-Dash Line pada 1952. Pada tahun 2023, Tiongkok merilis peta baru dengan menambahkan satu garis sehingga menjadi Ten-Dash Line.

Klaim Tiongkok melalui Nine-Dash Line didasarkan pada prinsip historical rights. Tiongkok menyebut Nine-Dash Line merupakan wilayah "traditional fishing ground" Tiongkok karena nelayan-nelayan tradisional Tiongkok terdahulu telah menggunakan wilayah perairan ini untuk mencari ikan dan memenuhi kebutuhan hidup. US Department of State dalam laporannya menyatakan bahwa kawasan yang berada di dalam klaim Nine-Dash Line seluas 2.000.000 km2 atau setara dengan 22% dari total wilayah darat Tiongkok. Wilayah dalam klaim Nine-Dash Line tersebut meliputi wilayah-wilayah yang disengketakan dengan negara lain termasuk juga berada di dalamnya adalah Laut Natuna Utara milik Indonesia.

Paling tidak terdapat dua hal yang menjadi sumber konflik di Laut China Selatan. Pertama, bahwa negara-negara claimant state seperti Malaysia, Brunei Darussalam, dan Filipina menggunakan aturan United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS 1982) untuk memperpanjang yurisdiksi kedaulatan secara unilateral dan membenarkan klaim mereka atas wilayah di Laut China Selatan. Hal ini menjadi bermasalah ketika ternyata wilayah-wilayah laut yang mereka tetapkan dengan menggunakan UNCLOS 1982 tumpang tindih dan beririsan satu sama lain. Kedua, klaim Nine-Dash Line Tiongkok yang didasarkan pada klaim historis sangat mencederai hukum internasional karena bertentangan dengan aturan UNCLOS 1982. Tak hanya itu, klaim Nine-Dash Line mengganggu stabilitas dari negara-negara di kawasan ASEAN karena mencakup baik wilayah maritim dari claimant state (Filipina, Vietnam, Malaysia, Brunei Darussalam) maupun non-claimant state (Indonesia).

Hukum Internasional mengenai Wilayah dan Yurisdiksi Negara di Laut

Klaim atas kawasan maritim pada dasarnya diatur oleh UNCLOS 1982. Konvensi ini mulai berlaku pada tanggal 16 November 1994. Dalam ketentuan hukum internasional dinyatakan bahwa perjanjian mengenai hukum laut dalam UNCLOS 1982 baru mengikat para pihak (negara) setelah negara meratifikasi konvensi ini. Indonesia serta negara-negara claimant state yang bersengketa atas Laut China Selatan termasuk Tiongkok sendiri telah meratifikasi UNCLOS 1982. Negara yang meratifikasi UNCLOS 1982 dianggap telah mengakui dan menyepakati aturan dalam konvensi sehingga wajib patuh dan tunduk atas aturan konvensi tersebut.

UNCLOS 1982 telah menentukan bahwa negara pantai seperti Indonesia atau Tiongkok berhak atas kawasan laut yang diukur dari garis pangkal. Garis pangkal ini pada umumnya menggunakan garis pantai sebagai acuannya. Kawasan laut tersebut meliputi Laut Teritorial (12 mil laut), Zona Tambahan (24 mil laut), Zona Ekonomi Eksklusif (200 mil laut) dan Landas Kontinen atau dasar laut yang lebarnya bisa lebih dari 200 mil laut. Di dalam kawasan laut tersebut negara pantai mempunyai hak atas wilayah kedaulatan (sovereignty) dan hak berdaulat (sovereignt right).

Pasal 2 Ayat (1) UNCLOS 1982 mengatur bahwa laut teritorial menjadi bagian dari wilayah kedaulatan (sovereignty) suatu negara pantai. Akibatnya negara pantai memiliki kedaulatan penuh atas Laut Teritorial sebagai bagian kepemilikan dan kekuasaan dari wilayah negara pantai. Di wilayah Laut Teritorial negara pantai juga memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan innocent passage atau hak lintas damai bagi negara lain yang diatur dalam pasal 17 dan 18 UNCLOS 1982. Pasal 19 Ayat (2) UNCLOS 1982 telah mengatur hak dan kewajiban kapal-kapal negara lain yang melewati Laut Teritorial suatu negara pantai yakni hanya berhak untuk melintas saja dan tidak diperbolehkan untuk melakukan aktivitas lain seperti mengeksplorasi kekayaan alam di dalamnya.

Adapun hak berdaulat (sovereign rights) adalah hak-hak eksklusif yang dimiliki oleh negara pantai dan berlaku terhadap sumber-sumber daya alam dalam batas tertentu yang telah ditetapkan. Pasal 55 UNCLOS menetapkan bahwa suatu negara pantai mempunyai hak berdaulat dan yurisdiksi khusus untuk memanfaatkan kekayaan alam yang berada pada Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE), termasuk pada dasar laut dan tanah di bawahnya. Lebih lanjut negara pantai dalam melaksanakan hak berdaulat dibatasi hanya pada hal-hal yang berkaitan dengan penggunaan secara ekonomis dari bagian laut tersebut yang dapat berupa eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan manajemen sumber daya alam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun