Mohon tunggu...
Afrianandani D. A
Afrianandani D. A Mohon Tunggu... -

Ketika menulis dijadikan tempat terakhir untuk memulangkan segala pikiran.. Salam sayang, dari papan ketik :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Topi Bambu

2 Oktober 2017   16:10 Diperbarui: 2 Oktober 2017   16:33 605
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo credit by Google

"Negeri kita ini kaya, nak," Dika kembali menatap Sang Ayah lamat-lamat.

"Tinggal bagaimana Dika ingin berbuat setelah ini.  Berpangku tangan menerima hasil atau menjadi salah satu bagian Indonesia maju dengan jalan yang meski tak sebening kristal tapi jangan pula sepekat langit malam,"

Dika mengerti apa yang ayahnya inginkan. Ayahnya selalu memilih jalan yang ia yakini benar meski harus kehilangan banyak hal.

***

"Yah, mau jualan lagi? Bukannya Ayah masih sakit?" Tanya Dika ketika melihat ayahnya tergopoh-gopoh membawa tumpukan topi yang akan Ia masukkan kedalam keranjang.

"Kalau Ayah ndak pergi, lalu nanti malam Dika mau bagaimana makannya?"

"Tapi Yah," Dika urung melanjutkan ketika melihat Ayahnya meletakkan kembali topi-topi yang telah di anyamnya ke meja.

"Dika, Ayah tahu, Dika sudah sering bertanya pada Ayah, 'kenapa menganyam topi dari bambu?' 'kenapa Ayah memilih ini?' 'Memangnya Ayah tidak pernah berusaha untuk mendapatkan pekerjaan lain?' begitu kan, nak?" Tutur sang Ayah sembari duduk di bangku kayu yang sudah lapuk.

Dika hanya menatap bingung Ayahnya. Enggan menjawab karena takut ia akan dimarahi atau bahkan diacuhkan seperti kali-kali sebelumnya setiap dia bertanya hal seperti itu.

"Duduk sini, nak," Ajak sang Ayah sembari menepuk-nepuk bangku kayu disebelahnya. Dika menghampiri meski menggangguk dengan tidak yakin.

"Ayah mau mendongeng sedikit. Tidak apa-apa kan? Apa Dika sudah lapar?"

"Gapapa, Yah. Ayah bisa cerita, kok,"

"Jadi topi bambu itu, sudah ada dari dulu sekali. Dari jaman eyang buyut Dika," tutur sang Ayah sambil menatap sendu tumpukan topi di meja. Dika hanya diam mendengarkan.

"Topi Bambu ini yang Ayah tahu sudah ada sejak tahun 1800 hingga awal tahun 1900-an. Topi Bambu ini sangat populer sampai ke Eropa dan Amerika, bahkan Ayah pernah dengar pemasarannya pernah merajai Negara Prancis," Jelas sang Ayah dengan mata berbinar senang membayangkan bagaimana berjayanya topi anyaman bambu itu.

"Dahulu dijaman revolusi, sentra pembuatan Topi Bambu di Kabupaten Tangerang terdapat di Desa Cikupa, Desa Tenjo, Desa Balaraja, Desa Tigaraksa, dan beberapa desa lainnya. Tapi ya seperti yang Dika tahu, roda kehidupan berputar cepat bahkan sebelum kita menyadarinya. Pengrajin topi bambu di Tangerang ini pernah berhenti karena kerusuhan anti warga Tionghoa yang diprovokasi oleh Pemerintahan Sipil Hindia Belanda yang berkedudukan di Indonesia. Akhirnya kerajinan Topi Bambu ini pun menghilang hingga beberapa dasawarsa lamanya. Sekarang ini sudah tak banyak pengrajin topi bambu, nak,"

"Tapi topi bambu menjadi salah satu ciri khas dari Kabupaten Tangerang, tempat kita tinggal ini. Kalau alasan mengapa Ayah tetap mempertahankan pekerjaan ini, karena Bunda.."

Terjadi hening lama sebelum akhirnya sang Ayah melanjutkan.

"Bunda dulu suka sekali mengenakan topi anyaman bambu. Sekali waktu, Bunda yang belum mengetahui kalau Ayah bisa membuat topi dari anyaman bambu ini senang dengan hadiah yang Ayah berikan. Sebuah topi anyaman bambu dengan pita berwarna merah jambu untuk mempercantik tampilan Bunda. Ayah ingat betul bagaimana Bunda kamu tersenyum saat itu. Berdiri di hadapan Ayah dengan setelan apalah itu Ayah ndak paham tentang pakaian-pakaian. Hari itu tepat sebulan sebelum Bunda melahirkan kamu. Bunda mu menginginkan suatu hari kita bisa pergi piknik bersama dengan menggunakan topi anyaman bambu yang dibuat Ayah. Kita bertiga, Dika. Tapi Dika tahu, Tuhan lebih sayang Dika, ah atau sayangnya sama besar pula dengan Bunda mu. Tuhan ingin Dika hidup dan melihat dunia tapi Tuhan juga tidak ingin melihat Bunda harus kesakitan. Saat itu Ayah belum paham, kalau Tuhan sedang menjabarkan apa itu berkorban," Sang Ayah menunduk, membangun bendungan untuk menahan kuatnya air mata yang sudah berkumpul di pelupuk matanya.

"Maaf karena Ayah hanya ingin mengenang Bunda mu dengan terus membuat topi-topi anyaman bambu ini. Menjadikan Dika harus hidup susah dan berhenti menjejakkan kaki ke SMA seperti ini. Tapi kamu tahu Dika, Indonesia, negeri kita ini adalah sebuah negeri yang kaya. Hanya dengan bambu, tanaman yang tersebar di seluruh penjuru negeri, mampu untuk menghidupi kita, dan juga orang-orang lain yang sama-sama memanfaatkan bambu," Dika menatap ayahnya lamat-lamat.

"Tinggal bagaimana Dika ingin berbuat setelah ini. Dika tahun ini genap berusia 18 tahun, kan?  Dika ingin berpangku tangan menerima hasil atau menjadi salah satu bagian Indonesia maju dengan jalan yang meski tak sebening kristal tapi jangan pula sepekat langit malam. Ayah akan berada tepat disamping Dika, membimbing, mendoakan. Ayah tak akan menuntut Dika untuk menjadi lemah seperti Ayah,"

Dika mengerti apa yang ayahnya inginkan. Ayahnya selalu memilih jalan yang ia yakini benar meski harus kehilangan banyak hal.

 "Ayo, Yah. Dika temani Ayah berjualan hari ini,"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun