"Negeri kita ini kaya, nak," Dika kembali menatap Sang Ayah lamat-lamat.
"Tinggal bagaimana Dika ingin berbuat setelah ini. Â Berpangku tangan menerima hasil atau menjadi salah satu bagian Indonesia maju dengan jalan yang meski tak sebening kristal tapi jangan pula sepekat langit malam,"
Dika mengerti apa yang ayahnya inginkan. Ayahnya selalu memilih jalan yang ia yakini benar meski harus kehilangan banyak hal.
***
"Yah, mau jualan lagi? Bukannya Ayah masih sakit?" Tanya Dika ketika melihat ayahnya tergopoh-gopoh membawa tumpukan topi yang akan Ia masukkan kedalam keranjang.
"Kalau Ayah ndak pergi, lalu nanti malam Dika mau bagaimana makannya?"
"Tapi Yah," Dika urung melanjutkan ketika melihat Ayahnya meletakkan kembali topi-topi yang telah di anyamnya ke meja.
"Dika, Ayah tahu, Dika sudah sering bertanya pada Ayah, 'kenapa menganyam topi dari bambu?' 'kenapa Ayah memilih ini?' 'Memangnya Ayah tidak pernah berusaha untuk mendapatkan pekerjaan lain?' begitu kan, nak?" Tutur sang Ayah sembari duduk di bangku kayu yang sudah lapuk.
Dika hanya menatap bingung Ayahnya. Enggan menjawab karena takut ia akan dimarahi atau bahkan diacuhkan seperti kali-kali sebelumnya setiap dia bertanya hal seperti itu.
"Duduk sini, nak," Ajak sang Ayah sembari menepuk-nepuk bangku kayu disebelahnya. Dika menghampiri meski menggangguk dengan tidak yakin.
"Ayah mau mendongeng sedikit. Tidak apa-apa kan? Apa Dika sudah lapar?"