Bulan terkejut sesaat setelah dirinya membuka mata. Dia melihat kamarnya sudah terhiasi banyak bunga-bunga khas pernikahan. Dirinya mencoba bangkit dari tempat tidurnya dan melihat ada seorang perempuan yang terlihat seumuran dengannya. Lantas perempuan itu pun langsung membantunya untuk duduk. Entah mengapa kepalanya terasa pusing dan pandangannya berkunang-kunang. "Pasti anemiaku kambuh lagi," Ucapnya dalam hati.
"Hati-hati, Mbak Bulan. Sini saya bantu," ujar perempuan itu. Bulan pun langsung menerima uluran tangannya. Namun, dirinya masih bingung dan bertanya-tanya siapa perempuan ini dan mengapa dia ada di kamarnya?
"Kamu siapa? Dan kenapa kamu ada di kamarku?" tanya Bulan dengan masih memegangi kepalanya.
"Lho, Mbak Bulan lupa? Saya Nawang, Mbak. Minggu lalu Mbak Bulan menghubungi saya untuk merias buat acara pernikahannya, Mbak," Ucapan perempuan itu pun langsung membuat Intan sangat terkejut sekaligus makin bingung dengan apa yang sedang terjadi. Bulan pun langsung buru-buru menuju ke depan meja riasnya dan membelalakkan matanya kala melihat penampakan dirinya yang sudah mengenakan gaun pernikahan dan make up minimalis yang menambah kecantikannya.
"Ada apa ini sebenarnya? Pernikahan? Aku menikah? Bahkan seingatku aku tidak punya kekasih. Lantas siapa yang akan menikah denganku?" Gumamnya masih dengan ekpresi terkejut dan bingung. Tak lama dari itu, suara ketukan pintu pun membuyarkan lamunanya. Dirinya pun langsung membuka pintu, dan terlihatlah seorang laki-laki yang tak asing baginya. Dia adalah Langit, kakak tingkat yang sudah lama Bulan kagumi semenjak masa ospek berlangsung.
"Kak Langit? Kakak, kok ada di sini?" Pertanyaan itu pun membuat Langit mengerutkan kedua alisnya tanda heran dan bingung dengan pertanyaan itu.
"Apa maksud kamu? Hari ini kan hari pernikahan kita, Sayang. Pasti kamu kelelahan menyipakan pernikahan kita sampai lupa dengan calon suamimu ini," Jawaban Langit itu pun seketika membuat Bulan hampir terjatuh karena saking kagetnya. Untungnya Langit langsung sigap menahan tubuh Bulan.
Bulan yang tidak mengerti dengan apa yang terjadi itu pun berusaha mengingat-ingat hari-hari sebelumnya. Namun, dirinya benar-benar tidak ingat tentang pernikahan ini. Bahkan mendengar Langit memanggil dirinya sayang saja baru kali ini.
Akhirnya dia pun memilih untuk masa bodoh dengan ingatan-ingatannya dan hanya ingin mengingat hari bahagianya sekarang. Bulan seketika merasa sangat bahagia, karena hari di mana dirinya akan menikah dengan orang yang selama ini ia kagumi akhirnya datang. Rasanya seperti dongeng yang menjadi kenyataan. Kebahagiaannya itu membuatnya lupa pada penyakit anemianya yang sempat kambuh.
Kini dirinya duduk di depan meja penghulu dengan senyuman yang tak henti-hentinya merekah, walau sekarang hatinya tengah berdebar sangat kencang. Momen ini adalah saat-saat yang sudah lama ia khayalkan tatkala melihat Langit orasi di depan gedung rektorat menuntut hak-hak mahasiswa. Ternyata memang benar jika cinta membuat seseorang menjadi aneh, dan Bulan adalah contoh nyatanya.