Mohon tunggu...
Dhammananda Justin Yu
Dhammananda Justin Yu Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar SMA Kanisius

Belajar, belajar, kerja, kerja

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bagaimana Indonesia Mengatasi Masalah Natuna?

22 November 2024   21:45 Diperbarui: 22 November 2024   21:56 1222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Prabowo Bertemu dengan Presiden China, Xi Jin Ping, di Beijing (sumber: detik.com)

Tenggelamkan! - Bu Susi Pudjiastuti, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan

Dalam dunia modern ini, mungkin tidak sering kita mendengar terjadinya perang. Dengan kondisi dunia yang semakin mengutamakan perdamaian dan anti-perang, tampaknya semua baik-baik saja. Tapi, seberapa sadarkah kita bahwa dibalik itu semua, banyak "perang-perang dingin" terjadi antar negara? Permasalahan masa kini bukan lagi cara kolonialis yang kita kenal dulu; masalah saat ini adalah kolonialisme modern yang jauh lebih rumit dan riwet.

Pertikaian Natuna, daerah yang "diakui" China

Bukan hal yang baru bila dikatakan, negara-negara adidaya menindas negara-negara kecil. Sejak jaman dahulu, negara-negara yang lebih kaya banyak memanfaatkan wilayah-wilayah lain. Mungkin tidak tampak bagi kita saat ini, tapi hal serupa masih saja terjadi. Bila dikatakan Indonesia tidak perlu kekuatan militer lagi, jelas salah! Menjaga kedaulatan Indonesia bukan hanya mencegah orang-orang mengambil alih wilayah daratan Indonesia; Indonesia adalah negara kepulauan. Harta terbesar kita bukanlah daratan; justru, lautan dan seluruh pulau-pulau adalah aset terbesar bangsa ini.

Masa kini, mungkin kita mendengar masalah terkait "Kepulauan Natuna" yang didatangi China. Masalah ini berdasar pada tindakan yang dilakukan perahu-perahu asal China di perairan itu. Kepulauan Natuna dan sekitarnya, yang berada di Laut China Selatan, adalah bagian dari ZEE atau Exclusive Economic Zone (EEZ) milik Indonesia. Apa istilah ini? Menurut United Nations atau PBB, Zona Ekonomi Ekslusif adalah daerah yang membetang tidak lebih dari 200 mil laut dari garis pangkal tempat lebar laut teritorial diukur. 

Kepulauan Natuna yang menjadi bagian dari Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (sumber: Indonesia Ocean Justice Initiative)
Kepulauan Natuna yang menjadi bagian dari Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (sumber: Indonesia Ocean Justice Initiative)

Meski sudah dilakukan aksi menenggelamkan kapal, tampaknya hal ini masih terus menerus terjadi. Lantas sebenarnya, Indonesia sudah melakukan apa? Pada kenyataannya, Indonesia sudah banyak bertindak menghadapi hal ini, bahkan sebelum topik ini ramai dibincang dalam sosial media. Satu sumber utama yang menggambarkan ini merupakan sebuah jurnal dari Universitas Sam Ratulangi.

Solusi dan Tanggapan Indonesia

Persengketaan dan permasalahan kepulauan Natuna antara Tiongkok dan Indonesia merupakan permasalahan serius yang belakangan ini sedang terjadi. Jurnal yang tertera menggambarkan persis konflik yang terjadi di lautan kepulauan Natuna ini yang menjadi tempat terjadinya pelanggaran hukum internasional akibat berbagai bentuk penyalahgunaan dominasi kekuasaan, hingga upaya Tiongkok mencari celah dalam perundang-undangan dan kesepakatan antar-negara. Walau demikian, ada beberapa bentuk upaya Indonesia mempertahankan Natuna sebagai kepulauan terluar Indonesia.

Meninjau kembali sejarah terlebih dahulu, kepulauan Natuna dahulu masuk dalam wilayah Kerajaan Pattani dan Kerajaan Johor di Malaysia. Namun, tetapi pada awal mula abad ke 19, kekuasaan pindah ke Kesultanan Riau yang kemudian menyerahkannya kepada Indonesia saat Riau ikut tergabung. Dengan ini, 18 Mei 1956 menandakan bukti resmi bahwa kepulauan Natuna menjadi wilayah kedaulatan Indonesia yang diakui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Tetapi tentu dalam kenyataannya, ini saja tidak cukup.

Oleh karena itu, Indonesia melakukan beberapa upaya yang akan diklasifikasi ke dalam beberapa jenis. Pertama adalah upaya langsung berupa kritik dan penyampaian langsung kepada Tiongkok. Kedua, Indonesia terlibat dalam beragam wujud perjanjian bersama Tiongkok yang dilandasi hukum internasional dalam upaya menyelesaikan isu secara diplomatis dan dengan proses yang sesuai. Ketiga, Indonesia berkoordinasi bersama PBB dalam upaya menyelaraskan pandangan dan menyelesaikan pertikaian. Keempat, mendukung kepulauan Natuna dan mengembangkan wilayah tersebut. Langkah-langkah ini tidak tertuliskan secara urut, melainkan berperan sebagai kesatuan proses yang bertujuan menjaga kepulauan Natuna.

Kritik Terbuka

Prabowo Bertemu dengan Presiden China, Xi Jin Ping, di Beijing (sumber: detik.com)
Prabowo Bertemu dengan Presiden China, Xi Jin Ping, di Beijing (sumber: detik.com)

Upaya pertama adalah melalui penyampaian terbuka kepada Tiongkok, baik melalui Menteri Luar Negeri maupun dengan media lain. Setelah masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Presiden Joko Widodo pernah menyatakan secara terbuka bahwa pembatasan maritim “sembilan titik garis” yang disebutkan milik China itu tidak ada basis hukumnya. Memang benar bahwa pada kenyataannya, China secara sepihak pada 2009 menggambarkan titik-titik ini yang diklaim sebagai wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) mereka. Upaya Presiden Joko Widodo menyebutkan bahwa China perlu hati-hati menentukan peta perbatasan lautnya.

Konfrontasi terbuka yang dilakukan pemerintahan Indonesia menarik perhatian banyak pihak. Dalam jurnal, Jokowi menyatakan hal tersebut saat berada di Jepang, yang kemudian dikutip dalam Kabar Jepang Yomiuri Shimbun dan pastinya menggambarkan kondisi Laut China Selatan kepada semakin banyak orang. Republik Indonesia tegas dalam mengajak China menghormati hukum internasional setelah penyitaan KM. Kway Fey 10078, bendera Tiongkok di Lautan Natuna. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi memanggil perwakilan China, Sun Weide, yang saat itu berkuasa sementara sebagai Kedutaan Besar Tiongkok di Indonesia. Aksi ini adalah teguran keras berupa protes atas pelanggaran kedaulatan laut teritorial Indonesia dan harapan agar China bisa mematuhi hukum. Ini juga terjadi dalam hal illegal fishing yang dilakukan China.

Diplomasi dan Peran Geopolitik Dunia

Namun, pendekatan seperti ini tidak selalu berhasil. Langkah kedua Indonesia adalah menjalin diplomasi dan komunikasi bersama China. Diplomasi dilakukan secara langsung ataupun melalui PBB, seperti wujud protes Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terhadap Komisi Landas Kontinen PBB saat garis putus-putus China dimodifikasi. PBB sebagai lembaga persatuan bangsa-bangsa menjadi penentu dan pemilik wewenang hukum yang berlaku pada semua negara di dunia, oleh karena itu akan banyak dilibatkan.

Salah satu permasalahan utama dari klaim China adalah garis-garis demarkasi yang tidak tertuliskan secara jelas dan tak memiliki wujud lengkap. Terbentuknya 9 titik disertai garis itu tak dapat disahkan sebagai batas teritorial karena tidak sesuai hukum internasional yang terdefinisi dan stabil. Kesulitan menentukan koordinat dan posisi geografis ini mengancam ZEE, karena berada di posisi perbatasan Natuna ini. Indonesia telah berupaya dengan diplomasi.

Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea (DOC) merupakan kesepakatan antara Indonesia dan China yang ingin saling percaya, bekerja sama, dan memelihara stabilitas di area laut itu. Melalui perjanjian antar negara yang sah ini, diplomasi menjaga Natuna benar efektif. Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa mengusulkan draft kode etik/zero draft code of conduct yang menjadi jaminan hukum kuat dengan poin yaitu menciptakan 1) rasa saling percaya, 2) mencegah terjadinya insiden, dan 3) mengelola insiden jika memang terjadi dan tak dapat dihindari. Kesepakatan ini berhasil disetujui China pada Agustus 2013.

Keberhasilan diplomasi ini menjadi pionir dari cara pandang luar negeri Indonesia yang dikenal sebagai “Doktrin Natalegawa” (Dynamic Equilibrium). Doktrin itu menyatakan bahwa kondisi berkaitan dengan hubungan antar negara harus berdasar pada kemitraan dan keyakinan bahwa tatanan internasional baru bersama bersifat win-win (saling menguntungkan dua pihak), bukan zero-sum. Dengan demikian, kedua belah pihak memilih kedudukan sama, inti utama dari diplomasi.

Traktat dan Perjanjian

Negara Luxembourg ikut bergabung dalam ASEAN Treaty of Amity and Cooperation (sumber: asean.org)
Negara Luxembourg ikut bergabung dalam ASEAN Treaty of Amity and Cooperation (sumber: asean.org)

Poin ini berkaitan dengan upaya ketiga yaitu keterlibatan PBB dalam kesepakatan dan proses kerja sama antara Indonesia dan China. Deklarasi itu berhasil mempersatukan pihak-pihak menjalankan prinsip dalam ASEAN Treaty of Amity and Cooperation sebagai dasar kode etik internasional khusus kawasan Laut China Selatan. Agar memiliki basis legal, deklarasi mengonfirmasi Charter PBB dan UN Convention on the Law of the Sea 1982, serta semua hukum internasional berkaitan. Dengan demikian, kesepakatan benar adanya dan memiliki landasan hukum yang sah.

Membangun Natuna Dari Dalam

Upaya keempat tidak berkaitan dengan negara lain atau diplomasi, melainkan dari Indonesia sendiri. Melihat dari sejarah, banyak warga Natuna yang memang tidak puas dengan Indonesia. Jurnal the Diplomat pada 2 Oktober 2014 menggambarkan permintaan resmi warga keturunan Tionghoa dalam Vol.23/No. 10/Juli-Desember/2017 Jurnal Hukum Unsrat Tampi B: Konflik Kepulauan Natuna. Sebagian antara mereka meminta Republik Rakyat China (RRC) mengambil alih Natuna. Jelas ini menggambarkan kurangnya perhatian terhadap wilayah tersebut.

Maka, selain melindungi Natuna dari ancaman pelanggaran hukum negara lain, Angkatan Laut atau TNI AL juga berperan penting menjalankan tugas ini. Mereka memiliki peran militer, diplomasi, dan polisionil yang seluruhnya diperlukan untuk mengamankan perairan Indonesia, tidak hanya Natuna. Penting untuk melakukan patroli keamanan laut dan menunjukkan Indonesia serius mempertahankan kekuasaan laut. Hal ini bisa dilakukan melalui aksi “pameran bendera” atau “show of flag” yang menjauhkan pihak-pihak asing yang mau mengganggu (deterrence effect).

Dalam menggambarkan letak pasti batas-batas lautan, TNI Al khususnya Dinas HIdro Oseanografis bisa melakukan survei Hidrografi, menetapkan titik dasar dan garis pangkal. Survei semacam ini bersifat objektif dan nyata serta berperan dalam menegakkan hukum-hukum internasional. Melalui mereka juga kepulauan terpencil ini didukung dan dibangun. Pemberdayaan pulau-pulau terluar ini harus memiliki aspek lembaga, yuridis, dan program. Realisasi ini dilakukan oleh Tim Koordinasi Pengelolaan Pulau Kecil dan Terluar. Dengan demikian, jelas bahwa upaya melindungi Natuna juga bermulai dengan membangunnya hingga dirasa memang berhak dimiliki Indonesia.

Lalu...apa kesimpulannya?

Sebagai kesimpulan, Indonesia ternyata sudah kok, bertindak menghadapi hal ini. Ada beragam aksi konkret yang dilakukan Indonesia untuk menjaga kedaulatan kepulauan Natuna. Secara umum, Indonesia harus dengan tegas menyuarakan protes dan berkomunikasi, terlibat dalam perjanjian dan kesepakatan melalui PBB dan organisasi, serta keempat mengembangkan daerah-daerah itu dan pulau-pulau terluar di seluruh Indonesia. Dengan demikian, Indonesia bisa mempertahankan kepulauan Natuna dari segala pihak-pihak lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun