Menjalani hidup sebagai sebagai santri ternyata tak mudah. Ketekunan para santri dan santriwati adalah sebuah hal yang saya kagumi ketika merasakan proses mengaji.
Jauh sebelum matahari terbit, para santri dan santriwati sudah menjalankan ibadat dan berdoa. Bukan satu dua hari, tetapi setiap hari mereka melakukannya.
Perjumpaan saya bersama mereka dalam studi membawa rasa senang. Meski kita berbeda, ternyata kita sama-sama kesulitan akan pelajaran yang sama. Entah itu matematika yang rumit, atau sejarah yang sangat panjang. Meski beragam, kita semua adalah pelajar.
Perbincangan singkat bersama mereka menyadarkan saya bahwa terkadang, perasaan kita tak jauh berbeda: rasa bosan, malas, hingga kesal.
Di tempat ini, saya kagum. Saya kagum akan cara pandang di Pondok Pesantren Al-Ittifaq.
Dikala membuat mochi dan berbincang, saya teringat akan kata-kata Om Dandan, pengurus pondok pesantren generasi yang ke-4.
Para pendiri Al-Ittifaq menyadari bahwa keagamaan senantiasa menjadi pusat dari pendidikan pondok pesantren; akan tetapi, pentingnya membekali para santri santriwati di kehidupan nanti dengan keterampilan nyata mendorong Al-Ittifaq untuk tak hanya sukses mendidik para santri santriwati, tetapi memiliki keterkaitan para alumni yang begitu erat.Â
Tak terbayangkan di benak saya membuat mochi di sebuah pondok pesantren jauh dari rumah.
Sebuah pengalaman umum bagi para santri, yang menggunakan buah-buahan hasil mereka sendiri pula menghasilkan produk-produk manisan seperti ini.
Keindahan alam Ciwidey menyejukkan perjalanan kami mendaki perbukitan berisi sawah yang terbentang sejauh mata melihat. Perjalanan yang tak mudah bagi kami tampak seperti hari biasa bagi teman-teman santri.Â