Onggok kayu merapuh kau jadikan sandaran, di mana letak sisi hati bermain?
Menghinakan diri, bagaikan debu tak berharga sepicing mata.
Debu tetaplah debu yang mengotori permukaan, kamu memandangku hanya untaian usang
Mampukah embun menghapuskan butiran debu, sementara hujan berkisah jemu
Kadangkala rasa sayang terkalahkan oleh ego yang mendasari diri
Ia muncul tak punya hati
Ia buta manakala tak melihat
Ia lupa ada hati yang peka terabaikan
Sosok raga tak patut menjadi panutan
Harusnya rasa syukur tak terhingga masih dapat menghirup udara segar tanpa batas
Namun, memaksa diri mengungkap cerita tentangmu, mengurai bersama Anila dan eloknya pandangan langit sukar di definisikan
Kau berubah nengikuti arah mata angin
Berputar di sumbu yang membara
Takkala menjauh makin menjerat, tak sanggup menyeru
Kalau kutau begini tak sudi memberi ruang dan waktu untukmu wahai pembenci.Â
Kamu sekejam ratu lebah menyengat, mulutmu berbisa membalikkan fakta, buasmu tak kendali.Â
Andai kutau kamu tak layak dijadikan seseorang penuh arti kenapa tidak dijadikan bonsai saja?
Menakuti diri bersamamu akan hari esok
Titian sepi bukan akhir
Bireuen, 17 Januari 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H