Mungkin ini kisah konyolku yang sulit kulupakan. Pengalaman masa lalu layaknya film Benyamin masuk kota. Pernah kami bertiga melangkahkan kaki ke negeri jiran untuk chek-up kesehatan. Saat itu aku, suami serta adik ipar bertiga menjelajahi tempat di negeri jiran tersebut.
****Â
Begitu indah memesonanya keelokan sebuah negeri, kebersihan juga tatanan kota lebih maju selangkah dibandingkan dengan kota asalku. Patutlah menjadi contoh dari segi daya tariknya.
Burung-burung pun bersahutan, terbang dari satu dahan ke dahan yang lain. Baru pertama kali aku melihat jelas gerombolan burung gagak di tengah perkotaan, pemandangan itu jelas terlihat dari jendela apartemen kami. Suasana beraroma seram, biasanya burung itu ada di film horor yang aku tontoni. Kuamati tingkah mereka satu persatu, sambil berdesir hati ini teramat dalam. Pertanda apakah gerangan?
Kami mengunjungi rumah coklat, batu ferigi dan pasar orang Thai, tak lupa singgah di pasar Jocket, Menara kembar dan toko Maydin bagian penjualan bros-bros cantik. Maklumlah orang dari udik, kemana saja kami susuri tanpa ada beban pikiran.Â
****
Waktu menunjukkan tibanya makan siang, kami bertiga menyusuri jalan pertokoan sambil mencari warung minang yang menyediakan kuah rendang. Susah sekali pun mendapatinya, dimana-mana hanya warung Melayu dan Tionghoa. Alarm di perut tidak kompromi, bunyinya saling bersahutan, bunyi keluar masuk saling mendesis.
Tetiba di perempatan jalan, ada sebuah warung orang padang. Seakan meleleh liurku melihat seorang lelaki sedang menyantap kikil sambil menarik gigitannya dengan lahap, sepertinya ia sedang melampiaskan hasrat terpendam. Potongan kikil lumayan besar serasa ditunjang berselera. Pemandangan menyita perhatianku, wah, gulai tunjang sepertinya enak banget, yahh!Â
Aku duduk persis di depan meja bapak itu, selera banget menyaksikan cara ia mengunyah gulai tunjang, tetapi aku masih tergiur empuknya rendang. Kami segera mengambil makanan sendiri-sendiri. Aku sasarkan pandangan menuju target kuah rendang.Â
"Wouw, asiik! gebetanku, akhirnya bisa juga ngerendang di negeri jiran," teriakku spontan.Â
"Kak Nan. Kita makan satu piring berdua, yah!" ajak adik iparku yang lagi diet lemak sembari mengirit kantong.
 "Mari, dek Ridha, kakak ambilin piring makannya, yah!Â
Aku langsung menyendok nasi beserta kuah rendang sampai meleleh ilerku. Siapa sih, yang tidak berselera dengan rendang? Â orang tidak menyukai rendang dipastikan sedang bermasalah dengan penyakit dalam.Â
Kuah rendang kusiram menutupi sebagian nasi, lalu memenuhi semua piringku.Â
"Kak Nan," panggil adik ipar dengan nada terkejut setelah melihat pemandangan merendang.
 "Kakak? panggilnya berulang-ulang untuk menyadarkanku, karena dari tadi aku belum menyahutinya.Â
"Kakak?" dek Ridha ambil piring juga, yah! "Dek Ridha pengen makan sayur pare di kuah lemak, rasanya enak gitu, kak! Pahit-pahit tapi nagih," dalih sang adik yang mulai gelisah dengan penampakan kuah rendang melumer. Terlihat ekspresi wajah adik ipar bingung sebagai refleks dari gelagatku yang tak lazim.Â
Entah bisikan dari mana lelehan kuah rendang begitu menggoda, macam perempuan lagi ngidam. Aku cuma ngambil kuahnya saja, malah yang direndang tak kusentuh sedikitpun  Hehe, kalau ingat sekarang, koq jadi geli hati, ya!Â
****Â
Waktu beranjak gelap, pertanda malam akan menemaniku pulang. Tak terasa Bus yang kami tumpangi melaju dengan cepat dari Kuala Lumpur menuju Penang. Begitu tertibnya penumpang di dalam bus tersebut. Tidak ada yang merokok sangat membuat nyaman penumpang.Â
Berbeda di daerah kami, jikalau menaiki bus seperti ada bebauan asap.
Mereka tidak memperdulikan penumpang lainnya, buat geram.Â
"Hei...! kalian, hargailah kami yang ingin hidup sehat," teriakku dalam hati.Â
Terkadang aku protes juga, tetapi dianggapnya terlalu lebay.Â
"Kalau mau ena-ena bawa mobil pribadi bu!" ledek salah satunya.Â
 "Andai punya mobil sendiri, tidak akan menaiki bus kalian, pak supir dan pak kernet pun sama-sama sok cuek," gerutuku dalam hati sambil ngelus dada.
***** Â
Sesampai di tempat tujuan, masih dini hari. Â Duh, cepat kali nyampe busnya padahal masih ena-ena tidur. Kami pun terpaksa turun dari bus. Malam itu serasa direnggut paksa kebahagiaan mimpi indahku, merasakan tidur nyenyak karena seharian lelahnya di jalanan.Â
Aku turun dengan gamang tanpa tujuan. Kami coba menyewa apartemen, tetapi tidak ada yang menyediakan part time di tengah malam. Kelelahan yang mendera, matapun sudah merem, kucoba bertahan dalam dingin dan berkabutnya malam. Aku teramat buntu, benakku tak sanggup lagi berpikir. Kemana harus kami tuju sementara waktu menunjukkan di angka 03.00 waktu setempat.
 Akhirnya kami menunggu di taman. Kami bertiga rebahan di kursi sembari melawan rasa takut, bertahan di keganasan malam, dingin yang menggigit dan hawa kantuk yang semakin menjeratku. Kami tidak berpernah berpikir tentang rawannya keamanan di negeri orang, kami juga tak pernah berpikir tertidur di taman dekat halte bus, seakan nyawa taruhannya.Â
Namun, serasa ada pengawal yang menjagai kami, saat tertidur di taman dengan tas koper sekaligus dompet berisikan surat dokumen penting, uang sisa belanja pun masih tersusun penuh di dompet.Â
Menengadahkan tangan berdoa pada Sang Rabb, semoga bisa melewati malam ini dengan aman, sebagai pendatang traveling wisata kesehatan. Sudah lumrah, biasanya pendatang merupakan salah satu sasaran empuk bagi begal, perampok, copet juga rawan tindakan kriminal lainnya.Â
Alhamdulillah kami masih bisa menghirup udara segar di pagi hari, untuk melanjutkan perjalanan pulang ke negeri asalku. Puji syukur ya, Allah. Inilah cerita konyolku, mana cerita konyolmu? Mohon krisan dan kripik pedasnya biar sekaligus meleleh bersama rendang yang maknyuss! Terimakasih. Â Â
Kenangan, 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H