Mohon tunggu...
Nanda Pratiwi
Nanda Pratiwi Mohon Tunggu... Guru - Guru

Membaca

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Penggunaan Eufemisme dalam Pembelajaran di Kelas

9 Desember 2022   21:57 Diperbarui: 14 Desember 2022   23:13 410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sifat eufemisme yang menyamarkan maksud sesungguhnya yang bernada atau bermakna kasar dengan ungkapan yang diperhalus menjadikan eufemisme sebagai gaya bahasa pilihan seorang pendidik dalam melakukan interaksi pembelajaran di kelas. Dengan menggunakan eufemisme, pendidik dapat mengkritisi dan menyampaikan pendapatnya pada peserta didik secara aman dan tanpa menyinggung perasaan. 

Dalam hal ini, eufemisme berkaitan erat dengan prinsip kesopanan dalam berbahasa. Berkaitan dengan interaksi pembelajaran di kelas, pendidik perlu memperhatikan penggunaan eufemisme dalam bahasa Indonesia meliputi berbagai bidang kehidupan. Menurut Sunarso (1998: 71), ada 8 bidang kehidupan yang dapat menerapkan eufemisme, yaitu.

  • Eufemisme yang berhubungan dengan kematian, misalnya ungkapan menghadap Tuhan Yang Maha Esa, mendahului, pergi, dan sebagainya, untuk menggantikan kata mati.
  • Eufemisme yang berhubungan dengan seks, misalnya alat vital, kemaluan, rahasia laki-laki, dan sebagainya untuk menggantikan kata pelir; bercampur, bergaul, memenuhi kebutuhan biologi, dan sebagainya untuk menggantikan kata bersetubuh.
  • Eufemisme yang berhubungan dengan penyakit dan cacat tubuh, misalnya penyakit kotor untuk menggatikan raja singa; bertukar akal untuk menggantikan kata gila; gangguan penglihatan untuk menggantikan kata buta, dan sebagainya.
  • Eufemisme yang berhubungan dengan pengeluaran kotoran badan, misalnya ke belakang untuk menggantikan kata berak; kamar kecil untuk menggantikan kata kakus, dan sebagainya.
  • Eufemisme yang berhubungan dengan kenyataan sosial yang dianggap sebagai sesuatu yang buruk, misalnya pramu wisma, asisten rumah tangga untuk menggantikan kata babu atau pembantu; tunawisma untuk menggantikan gelandangan, dan sebagainya.
  • Eufemisme yang berhubungan dengan nasib yang tidak menyenangkan, misalnya pembebastugasan, pemberhentian, pemutusan hubungan kerja untuk menggantikan pemecatan; pengamanan untuk menggantikan kata penangkapan; kurang berhasil untuk menggantikan gagal; penyesuaian harga untuk menggantikan kenaikan harga; desa prasejahtera untuk menggantikan desa miskin, dan lain sebagainya.
  • Eufemisme yang berhubungan dengan sifat yang jelek, misalnya tidak terlalu pandai, perlu belajar lebih giat untuk menggantikan kata bodoh; kurang rajin untuk menggantikan kata malas, dan sebagainya.
  • Eufemisme yang berhubungan dengan hal yang dapat menimbulkan bahaya, misalnya raja hutan untuk menggantikan harimau; bencana alam untuk menggantikan Tsunami, gempa bumi, tanah longsor dan lain sebagianya.

Simpulan

Berdasarkan pembahasan tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam proses pembelajaran, seorang pendidik harus memperhatikan penggunaan bahasa. Seorang pendidik harus menjadi panutan (role model) dalam penggunaan bahasa yang sopan, sehingga peserta didik pun menggunakan bahasa yang sopan dalam berkomunikasi.

Pendidik yang tidak menggunakan bahasa sopan tentu akan memberikan dampak negatif bagi peserta didik. Dampak negatif yang didapatkan peserta didik, seperti hilangnya kepercayaan diri, ketakutan yang berlebihan, jijik, hilangnya rasa empati, dan berdampak pula pada perilaku berbahasa peserta didik yang tidak santun.

Kajian eufemisme ini mengenalkan kepada pendidik akan sebuah alternatif yang dapat digunakan dalam meredam atau memanipulasi kata-kata dan bahasa yang dirasa kasar atau tidak santun, sehingga tidak menimbulkan dampak yang negatif pada peserta didik. Dengan demikian, aktifitas berbahasa pendidik dalam interaksi pembelajaran dapat dipahami dengan memperhatikan berbagai komponen konteks tutur yang berpedoman pada indikator kesantunan, sehingga aktifitas berbahasa dalam bentuk lisan maupun tulisan yang bernada kasar dan tidak menyenangkan, dapat dimanipulasi dengan menggunakan eufemisme.

Daftar Pustaka

Ahmadi, Mukhsin. 1990. Dasar-Dasar Komposisi Bahasa Indonesia. Malang: Yayasan Asih Asah Asuh Malang.

Djajasudarma, T. Fatimah. 2013. Semantik 2 Relasi Makna Paradigmatik, Sintagmatik, dan Derivasional. Bandung: PT Refika Aditama.

Hidayat, A.A. (2014). Filsafat bahasa: Mengungkap hakikat bahasa, makna dan tanda. Remaja Rosdakarya: Bandung.

Karim, Yurni, dkk. 2013. Semantik Bahasa Indonesia. Tanggerang: PT Pustaka Mandiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun