Mohon tunggu...
Nancy Duma
Nancy Duma Mohon Tunggu... karyawan swasta -

born in north sumatra

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Gue dan Jelita

31 Agustus 2016   23:06 Diperbarui: 1 September 2016   08:58 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Selamat, Romero," Pak Sutrisno, bos gue, menjabat erat tangan gue berulang kali. Wajahnya sumringah.

"Terima kasih, Pak!" sahut gue. Bangga dan gembira. Bagaimana tidak? Gue dinyatakan lolos seleksi mendapatkan beasiswa dari kantor. Gue satu-satunya karyawan termuda yang terpilih. Gue dinilai karyawan cemerlang, disiplin dan rajin. Usia gue masih 23 tahun.

Gue dapat beasiswa kuliah S1. Cihui! Rasanya sudah tidak sabar ingin menceritakan kabar baik ini kepada Jelita.

"Selamat, Sayang." Tangan Jelita terasa hangat dalam genggaman tangan gue. Yep, Jelita adalah kekasih gue. Dag, dig, dug, seeer, itulah yang gue rasakan saat pertama kali melihatnya di rumah teman gue. Adik teman gue teman sekelas Jelita. Kala itu Jelita masih kelas 1 SMA, sedangkan gue kuliah D3 tingkat 2.

Gue melakukan pdkt. Gayung bersambut. Ia merasakan hal yang sama. Kami pun jadian.

Bagi teman-teman kami, hubungan gue dan Jelita relationship goal banget. Kami kompak. Kalau Jelita ada ujian, gue nemenin dia belajar. Jelita juga setia nemenin gue ngerjakan tugas kuliah.

Jelita adalah pujaan hati gue. Gue yakin, ia adalah perempuan yang tepat untuk menjadi istri gue. Ia pun ingin selalu bersama gue.

Meskipun demikian, gue enggak mau aji mumpung. Seks di luar nikah enggak banget buat gue. Nasihat orangtua gue pun selalu terngiang-ngiang di telinga. Mereka berpesan agar gue berhati-hati dalam pergaulan.

"Romero!" panggil Jelita. Yang mengherankan, dia terus memanggil nama gue. Padahal jelas-jelas gue duduk di hadapannya. Terus, kenapa ada suara bayi nangis-nangis?

"Romero! Romero!" Suara Jelita meninggi. Suara bayi itu juga tambah keras.

Gedubrag, gue terkapar di lantai. Jelita yang tadi tersenyum manis, kini jadi Jelita yang enggak jelita. Ia melotot sambil berkacak pinggang. "Tidur mulu! Sana, gantian jaga Dirly!" perintahnya.

Astaga, jadi, tadi itu hanya mimpi? 

"Buruan, Romero. Aku udah ngantuk banget ni. Dirly pup tuh. Gantiin."

"Pliiis, Jelita. Besok aku gak boleh telat lagi masuk kantor. Aku udah ditegur," sahut gue dengan memelas. Gue sering telat karena harus bantu Jelita menyiapkan perlengkapan. Ibu dan bapak mertua gue sudah tiada. Ibu gue harus menemani bapak yang sakit-sakitan. Membayar pembantu, gue enggak sanggup. Jadilah kami harus mengurus Dirly tanpa bantuan orang lain.

"Lho kan kita sudah bikin perjanjian. Dari pagi sampai kamu pulang, aku yang urus Dirly. Malam, gantian kamu."

Gue terdiam sambil berusaha keras menahan kantuk. "Pliiis," gue berusaha membujuknya lagi.

Tahu-tahu, dia terduduk di pinggir tempat tidur lalu menangis tersedu-sedu.

Dirly enggak mau kalah. Dia menjerit sejadi-jadinya. Gue jadi bingung harus nenangin yang mana dulu. Secepat kilat gue putuskan untuk ngurus Dirly dulu.

"Iiih, Dirly jorok. Eek di celana," kata gue kepada bayi kami yang baru berusia 3 bulan itu. Setengah bergidik gue menggulung lalu membuang diaper kotor Dirly ke dalam tempat sampah.

"Jelita," kata gue pelan setelah Dirly kembali terlelap.

"Aku capek! Aku sudah berkorban. Aku gak jadi kuliah!" isak Jelita. "Tinggal seharian di rumah. Kamu? Kamu bisa kerja! Bisa ha-ha hi-hi dengan teman-teman kamu!"

Gue terdiam. Gue pede habis waktu tamat kuliah D3 langsung dapat kerjaan. Gue ngedesak Jelita supaya mau segera nikah sama gue. Gue pikir, toh gue sudah kerjaan.

Waktu Jelita bilang, dia takut langsung hamil, gue menepis kekhawatirannya.

Setengah tahun pertama pernikahan kami, program kami lancar. Tapi, bulan ketujuh, rencana kami buyar. Jelita hamil.

Gue menarik napas panjang. Baru tadi pagi gue baca berita seputar sosialisasi BKKBN terkait nikah usia ideal untuk raih masa depan cemerlang. Ah, seandainya waktu bisa diputar kembali, Jelita gak bakal sedih kayak sekarang. Menikah memang perlu kesiapan mental, kesehatan reproduksi, ekonomi, dan usia. (Nancy)

 

Fb: www.facebook.com/Nancy Duma Sitohang

Twitter: www.twitter.com/nancysitohang

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun