Tujuh belas Agustus yang lalu, kita bergembira karena memperingati Hari Kemerdekaan yang ke-70 tahun negara kita. Sampai hari ini, umbul-umbul yang didominasi warna merah dan putih serta bendera merah putih di berbagai tempat masih berkibar. Spanduk-spanduk bertuliskan ajakan ‘ayo kerja keras’ masih terpasang.
Ya, ya, kita memang sudah merdeka dari penjajahan bangsa asing. Tapi ..., menurut saya, kita masih berada di bawah beragam penjajahan bentuk baru. Salah satunya adalah pornografi yang memicu kejahatan seksual pada anak. Yang dimaksud anak di sini adalah mereka-mereka yang belum berusia 18 tahun, ya.
Kejahatan Seksual pada Anak
Masih ingat, Komnas Perlindungan Anak pernah menyatakan tahun 2013 sebagai tahun siaga kejahatan seksual terhadap anak? Pernyataan tersebut bukan tanpa alasan. Mari kita tilik data-data ini.
Tahun 2010, jumlah kasus kejahatan seksual yang menimpa anak-anak mencapai 42%. Tahun 2011, jumlah itu meningkat menjadi 58 persen. Tahun 2012, jumlah kasus naik menjadi 62 persen. Dan pada semester pertama tahun 2013, jumlah kasus meningkat tajam hingga 75 persen.1
Bagaimana dengan tahun 2014 dan 2015?
Di semester pertama 2014, Komnas Perlindungan Anak menerima 1.689 laporan kasus pelanggaran hak anak. 48% dari jumlah tersebut merupakan kasus kejahatan seksual. Hingga Desember 2014 terdapat 2.750 kasus kekerasan pada anak. 58% dari jumlah tersebut merupakan kasus kejahatan seksual.2
Menurut Ketua Komnas Perlindungan Anak, Arist Sirait, angka kejahatan seksual tahun 2015 diprediksi akan meningkat 12 persen. Arist menyatakan bahwa kemudahan mengakses situs porno-lah yang memicu meningkatnya angka kejahatan seksual pada anak.3
Ingin tahu, saya memasukkan kata kunci ‘kekerasan seksual pada anak’ di mesin pencari situs Kompas.com. Benar saja. Sudah banyak kasus kejahatan seksual  di tahun 2015 yang diberitakan. Di Jakarta Timur, seorang pria beristri dua mencabuli keponakan perempuannya yang berumur 13 tahun. Di Surabaya, seorang guru ekstrakurikuler musik mencabuli murid. Seorang ayah di Tebing Tinggi mencabuli anak kandungnya selama 3 tahun. Di Tangerang, seorang kepala sekolah SD melakukan pelecehan seksual terhadap siswa.
Sungguh mengerikan. Pelakunya adalah orang-orang dewasa di lingkungan yang dekat dengan anak. Guru, kepala sekolah, tetangga. Bahkan, ayah kandung! Saya yakin, jika dicari lebih lanjut, pasti ada kasus-kasus lain yang melibatkan anak sebagai pelaku, baik itu terhadap teman sebaya, maupun terhadap anak yang lebih muda.
Pornografi, Narkoba Bentuk Baru
Saya setuju dengan pendapat Arist bahwa kemudahan mengakses situs porno-lah yang memicu meningkatnya angka kejahatan seksual pada anak.
Siapa sih dari kita yang tidak punya telepon genggam? Bahkan anak-anak pun sudah dibekali telepon genggam demi kelancaran berkomunikasi dengan orangtua yang sibuk bekerja di luar rumah.
Kemajuan teknologi pula yang membuat telepon genggam semakin canggih sehingga disebut telepon pintar. Jaringan internet, misalnya, sudah tentu ada. Berkat fitur internet, kita mudah mendapat informasi dan melakukan komunikasi. Namun, fitur internet pula yang membuat kita semua, tanpa memandang usia, jenis kelamin, atau profesi, rentan terpapar dengan konten-konten pornografi.
Banyak orang menganggap bahwa pornografi tidaklah berbahaya. Padahal hasil penelitian justru mengatakan hal sebaliknya.
Dr. Donald Hilton, seorang neurolog Amerika menyimpulkan bahwa ketika seseorang menonton atau melihat pornografi, otak akan memproduksi senyawa kimiawi bernama dopamine; senyawa yang menimbulkan rasa senang.
Paparan pornografi yang terus-menerus akan memicu produksi dopamine yang berlimpah. Untuk mengatasi jumlah yang berlebih tersebut, sebagian receptor dipadamkan. Akibatnya, pengguna mencari lebih banyak lagi stimulus untuk mendapatkan kadar senang yang sama. Jika dalam narkoba, pecandu harus menambah jumlah konsumsi narkotika, pecandu pornografi mencari jenis pornografi baru. Dari softcore porn menjadi hardcore porn. Dari hardcore porn menjadi child pornography.4 Dengan kata lain, pornografi bersifat adiktif. Menyebabkan orang kecanduan. Perkenalkan, pornografi si narkoba bentuk baru.
Pornografi dan Kejahatan Seksual pada Anak
Banyak orang, termasuk remaja yang sedang memasuki masa pubertas, menganggap pornografi adalah sarana yang baik untuk memuaskan keingintahuan tentang seks atau untuk menambah wawasan tentang seks. Padahal, anggapan itu sangat keliru.
Pornografi membentuk imajinasi seksual bahwa hubungan seks dapat dilakukan kapan saja, di mana saja dan dengan siapa saja. Padahal, norma agama dengan tegas melarang seks bebas dan seks pranikah. Dari segi kesehatan, seks bebas dan seks pranikah juga tidak baik. Penyakit infeksi kelamin menular, HIV sampai AIDS mengancam. Nyawa jadi taruhan.
Pornografi juga membentuk ekspektasi destruktif dalam hubungan seksual. Pornografi memperlihatkan dominasi absolut laki-laki terhadap perempuan. Perempuan baik-baik saja dan senang-senang saja diperlakukan bagaimana pun. Dengan kata lain, perempuan dijadikan obyek seks. Padahal, di dunia nyata, hubungan seksual dalam pernikahan pun membutuhkan kesediaan kedua belah pihak, yaitu suami dan istri. Hubungan seksual yang dipaksakan dan tidak dikehendaki oleh salah satu pihak sama dengan pemerkosaan.
Seseorang yang terpapar stimulus dari pornografi akan mengalami gejolak batin untuk mempraktikkan tayangan-tayangan pornografi yang telah ia lihat. Dan keinginan tersebut seringkali dilampiaskan pada anak-anak atau anak yang berusia lebih muda. Akibatnya, terjadilah kejahatan seksual terhadap anak.5
Kembali ke soal eskalasi, seorang pecandu pornografi yang sudah mencapai tahap senang menonton pornografi anak, akan menganggap bahwa melakukan hubungan seksual dengan anak-anak adalah hal yang wajar. Padahal, hubungan seksual dengan anak-anak adalah kejahatan yang tidak bisa ditolerir. Pelakunya harus dikenakan hukuman seberat-beratnya karena sangat merusak perkembangan fisik, jiwa, dan mental anak.
Kejahatan seksual pada anak dapat menimbulkan gangguan emosional. Anak mudah marah, sedih, gugup dan rasa percaya dirinya rendah. Mental anak pun terganggu. Anak depresi serta mengalami gangguan pola makan. Tidak berhenti di situ, anak akan tumbuh menjadi individu yang terlibat dengan masalah obat terlarang serta minuman keras, sulit berkomunikasi, bahkan punya keinginan untuk bunuh diri.
Bebaskan Diri dari Penjajahan Pornografi
Bangsa yang besar harus memiliki kepribadian dan perilaku yang mulia. Apa jadinya bangsa Indonesia kalau kita terus membiarkan diri dijajah pornografi?
Sambil membiarkan pemerintah melalui Keminfo menjalankan tugasnya memblokir situs-situs porno, mari kita juga memilih menjauhi pornografi. Masa depan kita dan bangsa ini juga ditentukan oleh pilihan tontonan kita, lho.
Ya, tentu saja kita harus terlebih dulu memperkaya wawasan mengenai bahaya pornografi dan sisi hitam industri pornografi yang sangat erat berkaitan dengan narkotika, penyakit kelamin, perdagangan dan eksploitasi manusia.
Baru setelah itu kita bersihkan memori komputer, telepon genggam dan koleksi DVD dari konten pornografi.
Yuk, kita mulai dari sekarang untuk merdeka dari penjajahan pornografi!
Referensi
- Kejahatan Seksual Terhadap Anak Marak di Tahun 2013
https://komnaspa.wordpress.com/2013/07/24/kejahatan-seksual-terhadap-anak-marak-di-tahun-2013/
- 38 Persen Pelaku Kejahatan Anak Terinspirasi Situs Dewasa
- Kejahatan Seksual pada Anak Diprediksi Melonjak Â
- HAGELIN: Addiction to porn is real, destructive
- 2015’s Biggest Health Concern: Porn
http://www.fightthenewdrug.org/2015s-biggest-health-concern-porn/
- ANALISIS Kekerasan Seksual dan Pornografi pada Anak
http://analisis.news.viva.co.id/news/read/404620-kekerasan-seksual-dan-pornografi-pada-anak
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI