Saya setuju dengan pendapat Arist bahwa kemudahan mengakses situs porno-lah yang memicu meningkatnya angka kejahatan seksual pada anak.
Siapa sih dari kita yang tidak punya telepon genggam? Bahkan anak-anak pun sudah dibekali telepon genggam demi kelancaran berkomunikasi dengan orangtua yang sibuk bekerja di luar rumah.
Kemajuan teknologi pula yang membuat telepon genggam semakin canggih sehingga disebut telepon pintar. Jaringan internet, misalnya, sudah tentu ada. Berkat fitur internet, kita mudah mendapat informasi dan melakukan komunikasi. Namun, fitur internet pula yang membuat kita semua, tanpa memandang usia, jenis kelamin, atau profesi, rentan terpapar dengan konten-konten pornografi.
Banyak orang menganggap bahwa pornografi tidaklah berbahaya. Padahal hasil penelitian justru mengatakan hal sebaliknya.
Dr. Donald Hilton, seorang neurolog Amerika menyimpulkan bahwa ketika seseorang menonton atau melihat pornografi, otak akan memproduksi senyawa kimiawi bernama dopamine; senyawa yang menimbulkan rasa senang.
Paparan pornografi yang terus-menerus akan memicu produksi dopamine yang berlimpah. Untuk mengatasi jumlah yang berlebih tersebut, sebagian receptor dipadamkan. Akibatnya, pengguna mencari lebih banyak lagi stimulus untuk mendapatkan kadar senang yang sama. Jika dalam narkoba, pecandu harus menambah jumlah konsumsi narkotika, pecandu pornografi mencari jenis pornografi baru. Dari softcore porn menjadi hardcore porn. Dari hardcore porn menjadi child pornography.4 Dengan kata lain, pornografi bersifat adiktif. Menyebabkan orang kecanduan. Perkenalkan, pornografi si narkoba bentuk baru.
Pornografi dan Kejahatan Seksual pada Anak
Banyak orang, termasuk remaja yang sedang memasuki masa pubertas, menganggap pornografi adalah sarana yang baik untuk memuaskan keingintahuan tentang seks atau untuk menambah wawasan tentang seks. Padahal, anggapan itu sangat keliru.
Pornografi membentuk imajinasi seksual bahwa hubungan seks dapat dilakukan kapan saja, di mana saja dan dengan siapa saja. Padahal, norma agama dengan tegas melarang seks bebas dan seks pranikah. Dari segi kesehatan, seks bebas dan seks pranikah juga tidak baik. Penyakit infeksi kelamin menular, HIV sampai AIDS mengancam. Nyawa jadi taruhan.
Pornografi juga membentuk ekspektasi destruktif dalam hubungan seksual. Pornografi memperlihatkan dominasi absolut laki-laki terhadap perempuan. Perempuan baik-baik saja dan senang-senang saja diperlakukan bagaimana pun. Dengan kata lain, perempuan dijadikan obyek seks. Padahal, di dunia nyata, hubungan seksual dalam pernikahan pun membutuhkan kesediaan kedua belah pihak, yaitu suami dan istri. Hubungan seksual yang dipaksakan dan tidak dikehendaki oleh salah satu pihak sama dengan pemerkosaan.
Seseorang yang terpapar stimulus dari pornografi akan mengalami gejolak batin untuk mempraktikkan tayangan-tayangan pornografi yang telah ia lihat. Dan keinginan tersebut seringkali dilampiaskan pada anak-anak atau anak yang berusia lebih muda. Akibatnya, terjadilah kejahatan seksual terhadap anak.5