2. Balai Pustaka
Balai Pustaka adalah perusahaan yang bergerak di bidang penerbitan, percetakan dan multimedia. Pemerintah Belanda mendirikan Balai Pustaka pada tahun 1908. Mulanya, lembaga itu bernama Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur atau Komisi untuk Bacaan Sekolah Pribumi dan Bacaan Rakyat.
Tujuan didirikannya komisi ini adalah untuk mengembangkan bahasa-bahasa daerah utama di Hindia Belanda, seperti bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Melayu, dan bahasa Madura. Komisi ini juga bertugas untuk menyensor karya-karya sastra yang dianggap berbahaya bagi kepentingan kolonial Belanda.
Balai Pustaka dibuat untuk menerbitkan buku, majalah, dan koran. Semua jenis tulisan berkesempatan untuk diterbitkan di Balai Pustaka kecuali satu: tulisan yang mengandung unsur perjuangan.
Kebanyakan karya yang diterbitkan Balai Pustaka adalah jenis bacaan yang dapat meninabobokan para pribumi. Dengan kata lain, Belanda ingin agar rakyat pribumi lupa bahwa mereka tengah dijajah.
Nama Balai Pustaka mengalami perubahan pada masanya. Setelah Commissie voor de Volkslectuur, nama 'Balai Pustaka' digunakan pada 1917. Ketika Jepang mulai menginvasi Indonesia, namanya berubah menjadi Gunseikanbu Kokumin Tosyokyoku.
Balai Pustaka sempat berpindah ke tangan ke Belanda pada Juli 1947. Namun pada 1949, Balai Pustaka dikembalikan setelah secara resmi mengakui kedaulatan Republik Indonesia. Hingga kini, nama Balai Pustaka-lah yang digunakan.
3. Yayasan Marsudirini
Di jalan Matraman Raya, berdiri Sekolah yang katolik terkenal yang ternyata sudah ada sejak zaman Kolonial Belanda. Sekolah Marsudirini Matraman didirikan oleh para suster OSF, dengan letak gedungnya yang sangat strategis lahir berkat kemurahan hati Ordo Suster-suster ursulin pada tahun 1955.
Pada awal berdirinya yang menjadi peserta didik karya pendidikan Marsudirini adalah siswi putri. Namun sejalan dengan kebutuhan masyarakat Marsudirini Matraman menerima siswa putra menjadi bagian dalam karya pelayanan pendidikan.
Sekolah Marsudirini Matraman dibawah naungan Yayasan Pendidikan Marsudirini yang dikelola oleh suster dari Fransiskus (ordo OSF) Semarang sejak tahun 1870 yang mengadakan karya pendidikan di Gedangan, yang akhirnya menyebar ke berbagai daerah di Indonesia.