Mohon tunggu...
Anas Isnaeni
Anas Isnaeni Mohon Tunggu... Administrasi - -ASN DJPb Kemenkeu-Alumni STAN 2010-Alumni Universitas Brawijaya 2019-

Seorang pembelajar kehidupan dan perekam momen-momen yang ada di dalamnya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ambiguitas Diri

18 April 2011   07:56 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:41 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ambiguitas itu makin lama makin menguat pada diri. Dua sisi yang berlawanan itu kian lama kian menonjol. Dua sisi yang bergabung menjadi satu pada satu tubuh itu menjadikan dilemma perasaan yang luar biasa. Karena mereka bertentangan dan menimbulkan apa yang disebut dengan ambiguitas.

Ambiguitas adalah suatu ketidakjelasan, suatu ketidaktegasan, suatu ketidakpastian. Umpamanya ia adalah warna, maka ia adalah abu-abu di antara hitam dan putih. Hitam dan putih adalah warna yang bertentangan, maka dalam ambiguitas diri terdapat pertentangan antara dua sosok yang berlawanan. Dua sosok yang abstrak, tetapi mereka memberikan pengaruh yang sangat nyata dan mewujud pada tindakan diri.

Pada satu sisi itu, di sanalah tempat ia mendekam. Sisi itu berwarna hitam dan ia adalah suatu bentuk kenegatifan diri. Ia ada dengan keburukannya dan segala pikiran untuk berontak melalui makar-makarnya. Begitulah kekelaman warna hitam telah menyelimuti dirinya pada satu sisi diri ini. Diri hendak mengusirnya dan menjadikan seluruh bagian itu terang benderang tanpa ada lagi sisi yang kelam. Akan tetapi, ia masih bertahan di sana dan merencanakan makar yang lebih dahsyat lagi dengan tipu dayanya untuk menyebarkan kekelaman yang lebih luas lagi.

Kelamnya sisi kegelapan itu kontras dengan sisi yang penuh akan cahaya, sehingga menjadikannya berwarna putih. Putihnya adalah harapan dan keinginan. Harapan untuk menjadi insan yang memahami makna kehidupan pada jalan yang benar dan keinginan untuk mendedikasikan kehidupan yang telah ia rasakan sebagai bentuk manifestasi amalan kebaikan yang terus menerus. Harapan dan keinginan inilah yang menjadikan sisi ini terang benderang. Seakan-akan sosok malaikat dengan damainya berdiam di sana dan terus menasehati diri menuju pada pembentukan insan yang sholeh.

Mereka ada dan menempati satu rongga tubuh bernama hati. Mereka ada dan mereka begitu berbeda. Mereka ada dan mereka berusaha saling merebut posisi pengaruh kuasa dalam diri. Begitulah apa yang ada dalam diri karena diri adalah manusia. Manusia memang seperti itu. Ya, seperti itu...

Sebagaimana memori kemudian mengalunkan suatu kisah tentang Hanzhalah yang berkeluh kesah kepada Abu Bakar As Shidiq, “Bila kita berada di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau mengingatkan kita tentang neraka dan surga hingga seakan-akan kita bisa melihatnya dengan mata kepala kita. Namun bila kita keluar meninggalkan majelis Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, istri, anak dan harta kita menyibukkan kita-kita, hingga kita banyak lupa/lalai”.

Subhanallah para sahabat yang mempunyai karakteristik mulia itu mengeluhkan sisi hitam yang “hanya” seperti itu... Sedangkan diri? Begitu banyak hal yang melupakan diri dari apa yang harus diri pertanggungjawabkan di Hari Perhitungan nantinya... Sisi hitam itu begitu kuat mencengkeram hati dan menjadikannya sangat hina dengan perbuatan yang telah merendahkan hakikat kemanusiaannya sebagai hamba.

Mungkin, sepertinya mungkin, masih ada tertera warna putih ini. Walaupun ia begitu sekarat berusaha mempertahankan dirinya dari berbagai serangan kekelaman diri, tetapi ia mencoba untuk bertahan. Karena ia percaya akan kekuatan Rabb-nya yang akan memberikan kekuatan dan petunjuk, maka ada pertolongan yang datang pada dirinya dan menyelamatkannya dari arah yang tak ia sangka-sangka. Ia bisa kembali menguasai ruang hati dan mencerahkan kehidupan diri. Tetapi sebagaimana Hanzhalah, penguasaan itu hilang seiring dengan hilangnya momen. Diri kembali lupa dan sisi kelam mulai mencoba merambah hati lebih beringas lagi.

Kelalaian ini telah dimanfaatkan oleh sisi kelam diri. Berbagai aksi maksiat ditawarkan olehnya dan alhasil terjebaklah diri pada godaan-godaan yang tak bisa diri tahan dengan baik. Mungkin tak apalah kalau kelalaian itu hadir dan melenakan diri sejenak pada batas kewajaran, tetapi bilamana kelalaian ini telah sebegitunya melenakan dan dimanfaatkan oleh kekelaman sisi hati?

Muncullah ambiguitas diri. Pada suatu waktu diri sebegitunya menjadi sosok yang berusaha memutihkan hatinya, tetapi pada waktu yang lain seketikanya menjadi sosok yang telah terjerumus menghitamkan hatinya. Dua sosok yang kontras, tetapi mewujud pada satu pribadi, pada waktu yang berbeda pula.

Ambiguitas ini memunculkan kerisauan dan ketidaknyamanan hati. Karena diri takut menjadi sosok yang munafik, sosok yang begitu Alloh benci, dengan adanya hal ini. Diri sangat menolak untuk menjadi sosok yang keimanannya hanyalah sekadar kedok belaka. Tidak! Diri tak ada maksud untuk menjadi seperti itu. Hanya saja, kelemahan diri ini dalam menjaga hati mengantarkan pada perbuatan-perbuatan yang malah menodai keimanan itu sendiri dengan maksiat dan dosa.

Apa yang harus diri lakukan? Bagaimana caranya menepis ambiguitas itu? Mengapa tak bisa warna putih saja yang mendominasi dalam hati?

Maka takutkanlah diri kepada Alloh SWT akan azab dan balasannya yang pedih bagi orang-orang yang luput dari perintah-Nya... Maka ingatkanlah diri akan pengawasan Alloh SWT yang begitu Maha Mengetahui apa yang diri kerjakan... Maka pikirkanlah diri tentang kehidupan akhirat yang nantinya akan kau jalani dengan apa yang telah kau perbuat di dunia...

Semua pemahaman itu muncul dari kekuatan pikiran yang mengendalikan tindakan diri. Ambiguitas ini begitu abstrak, tetapi keabstrakan itu dapat dihadapi dengan keabstrakan ketegasan kekuatan pikiran yang berusaha menepisnya. Pergelutan keabstrakan ini ada dalam alam pikiran.

Kuasai pikiranmu, wahai diri... Condongkanlah ia pada pemahaman untuk menepis ambiguitas ini...

Nurani juga merupakan tameng yang sangat diperlukan. Nurani akan memberikan sensor apabila diri telah melakukan tindakan yang menyimpang. Sensor itulah menjadikan adanya kerisauan dan ketidaknyamanan.

Maka, pekalah pada nurani, wahai diri... Tanggaplah akan peringatan yang ia berikan padamu...

Hati boleh saja lalai mengingat-Nya karena Rasul pun memaklumi adanya hal yang demikian sebagaimana diterangkan pada lanjutan penggalan kisah Hanzhalah, “Wahai Hanzhalah, ada saatnya begini, ada saatnya begitu. Seandainya hati-hati kalian senantiasa keadaannya sebagaimana keadaan ketika ingat akan akhirat, niscaya para malaikat akan menjabat tangan kalian, hingga mereka mengucapkan salam kepada kalian di jalan-jalan.Ada saatnya untuk manusia memikirkan akhirat dan ada saatnya mengurusi penghidupan di dunia yang sedikit banyak dapat membuatnya lalai.

Akan tetapi, kelalaian ini haruslah dijaga karena lalai adalah kondisi yang rawan. Seumpamanya dapat diibaratkan ia seperti berada di tepi jurang dan sangat berpotensi untuk jatuh terperosok dalam jurang. Akan lebih baik apabila mencegah diri untuk tidak terperosok daripada sudah terlanjur jatuh dan begitu susah payah untuk kembali bangkit lagi.

Maka, tegaskanlah warna putih di hatimu, hai diri! Tepiskanlah ambiguitas yang telah membuat dirimu begitu hampa dan galau... Iringkanlah pinta doa, “Ya Alloh, yang Maha Membolakbalikkan hati, tetapkan hati ini dalam dien-Mu, tetapkan hati ini dalam ketaatan kepada-Mu,” pada Rabb-mu Yang Maha Mendengar...

*suatu nasehat untuk diri*

Paseban, 9 Februari 2011, 22:35

also posted in http://nanazh.multiply.com/journal/item/156/ambiguitas_diri

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun