Perkembangan bisnis-dari masa ke masa menjadi semakin kompleks. Kesatuan bisnis/perusahaan pada masa lalu, dijalankan oleh perorangan atau hanya beberapa pihak saja dalam struktur yang sederhana, namun saat ini, perusahaan pada umumnya dijalankan oleh banyak pihak yang terkait di dalamnya. Salah satu asumsi dasar dalam akuntansi -yaitu economic entity, menyatakan bahwa perusahaan adalah entitas ekonomi yang independen yang mensyaratkan pemisahaan antara pemilik usaha (owner) dengan pihak yang menjalankan usaha tersebut (manajemen).
Pemisahan ini selain memberikan berbagai manfaat, juga menimbulkan beberapa permasalahan. Permasalahan mengenai asumsi dasar economic entity ini dibahas dalam teori agensi (agency theory). Teori agensi mengasumsikan bahwa masing-masing dari owner dan manajemen pempunyai kepentingan masing-masing terhadap perusahaan. Manajemen sebagai pihak yang melaksanakan kegiatan operasional perusahaan mempunyai kewajiban untuk memenuhi kepentingan pemegang saham sebagai pemilik perusahaan. Namun di sisi lain pihak manajemen juga mempunyai kepentingan untuk memaksimumkan kesejahteraan mereka. Perbedaan kepentingan antara pihak pengelola perusahaan (manajemen) sebagai agen dengan pihak pemegang saham (prinsipal) akan menyebabkan konflik kepentingan yang biasa disebut sebagai masalah keagenan atau agency problem.
Audit dan Agency Theory
Teori keagenan menggambarkan perusahaan sebagai suatu titik temu antara pemilik perusahaan (principal) dengan manajemen sebagai agent. Teori keagenan lahir sekitar tahun 1970an, berawal dari adanya bentuk korporasi yang memisahkan dengan tegas antara kepemilikan perusahaan dengan kontrol atau dengan kata lain ada pemisahan yang jelas antara pemilik perusahaan dengan pihak manajemen. Semakin rumit dan besarnya suatu perusahaan membuat pihak pemilik tidak bisa secara intensif mengelola perusahaannya sehingga meminta pihak manajemen untuk mengelola kelangsungan hidup perusahaan dalam usahanya mendapatkan profit. Selanjutnya manajemen dianggap sebagai agen dan pemilik dianggap sebagai prinsipal. Hubungan tersebut oleh banyak ahli disebut dengan hubungan keagenan/agency relationship.
Teori agensi menjelaskan hubungan kontraktual antara  principals dan  agents. Pihak principals adalah pihak yang memberikan mandat kepada pihak lain, yaitu agent, untuk melakukan semua kegiatan atas nama principals dalam kapasitasnya sebagai pengambil keputusan. [1]
Tujuan dari teori agensi adalah pertama, untuk meningkatkan kemampuan individu (baik prinsipal maupun agen) dalam mengevaluasi lingkungan dimana keputusan harus diambil (The belief revision role). Kedua, untuk mengevaluasi hasil dari keputusan yang telah diambil guna mempermudah pengalokasian hasil antara prinsipal dan agen sesuai dengan kontrak kerja (The performance evaluation role).
Secara garis besar teori agensi dikelompokkan menjadi dua yaitu positive agency research dan principal agent research.[2] Positve agent research memfokuskan pada identifikasi situasi di mana agen dan prinsipal mempunyai tujuan yang bertentangan dan mekanisme pengendalian yang terbatas hanya menjaga perilaku self serving agen. Secara ekslusif, kelompok ini hanya memperhatikan konflik tujuan antara pemilik (stockholder) dengan manajer. Sementara itu principal agent research memfokuskan pada kontrak optimal antara perilaku dan hasilnya, secara garis besar penekanan pada hubungan principal dan agent. Principal-agent research mengungkapkan bahwa hubungan agent-principal dapat diaplikasikan secara lebih luas, misalnya untuk menggambarkan hubungan pekerja dan pemberi kerja, lawyer dengan kliennya, auditor dengan auditee.
Agency theory tidak dapat dilepaskan dari kedua belah pihak di atas, baik prinsipal maupun agen merupakan pelaku utama dan keduanya mempunyai bargaining position masing-masing dalam menempatkan posisi, peran dan kedudukannya. Prinsipal sebagai pemilik modal memiliki akses pada informasi internal perusahaan sedangkan agen sebagai pelaku dalam praktek operasional perusahaan mempunyai informasi tentang operasi dan kinerja perusahaan secara riil dan menyeluruh. Posisi, fungsi, situasi, tujuan, kepentingan dan latar belakang prinsipal dan agen yang berbeda dan saling bertolak belakang tersebut akan menimbulkan pertentangan dengan saling tarik menarik kepentingan (conflict of interest) dan pengaruh antara satu sama lain.
Permasalahan yang muncul dari agency problem mampu diatasi melalui salah satu mekanisme pengawasan yang dinamakan audit. Watts et al. (1986) berargumen bahwa pengauditan memainkan peranan penting dalam memonitor kontrak dan mengurangi risiko informasi. Selain itu, Wallace (1985) juga menyatakan bahwa audit merupakan cara yang mampu mengurangi biaya agensi akibat adanya perilaku mementingkan diri sendiri oleh manajer dan asimetri informasi.[3]
Berkaitan dengan auditing, baik prinsipal maupun agen diasumsikan sebagai orang yang memiliki rasionalitas ekonomi, di mana setiap tindakan yang dilakukan termotivasi oleh kepentingan pribadi atau akan memenuhi kepentingannya terlebih dahulu sebelum memenuhi kepentingan orang lain. Oleh karena itu, dibutuhkan adanya pihak yang melakukan proses pemantauan dan pemeriksaan terhadap aktivitas yang dilakukan oleh pihak-pihak tersebut diatas. Aktivitas pihak-pihak tersebut, dinilai lewat kinerja keuangannya yang tercermin dalam laporan keuangan.
Auditing merupakan suatu proses sistematik yang terdiri atas langkah-langkah yang berurutan termasuk (1) evaluasi internal control accounting, (2) tes terhadap subtansi transaksi-transaksi dan saldo. Sistem akuntansi, mencakup pengendalian internal yang diperlukan, dan menghailkan data yang tercantum dalam laporan keuangan. Karena itu auditor mempelajari dan mengevaluasi pengendalian inteern seebelum melakukan tes substansi dari transaksi-transaksi dan saldo-saldo perkiraan (substantive testing). Pengendalian intern yang kuat meningkatkan tingkat kepercayaan auitor dan mengurangi jumlah tes atas transaksi-transaksi dan saldo-saldo perkiraan. Auditor harus mengumpulkan dan mengevaluasi bukti-bukti audit yang sufficient (cukup) dan competent.