Mbak Sri, seorang guru SD di suatu desa, seringkali pulang kerja dengan perasaan lelah dan frustasi. Beban mengajar yang berat, ditambah dengan tuntutan dari orang tua siswa, membuatnya merasa terjebak dalam lingkaran setan. Kisah Mbak Sri bukanlah cerita yang berdiri sendiri. Banyak guru di Indonesia yang mengalami hal serupa, hingga pada titik di mana mereka merasa putus asa dan kehilangan semangat untuk mengajar.
Menjadi guru bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah. Terkadang dalam proses mengajar terdapat suatu masalah yang membuat stres. Guru harus berhadapan dengan berbagai macam karakteristik murid. Tak jarang beban pekerjaan ini menjadi tantangan secara mental, salah satunya adalah rasa cemas. Kecemasan yang dialami guru dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti stres, tekanan dari beban pekerjaan, dan kelelahan emosional. Sebuah penelitian menemukan bahwa guru merupakan profesi yang lebih rentan terhadap stres pekerjaan, tekanan psikologis umum dan burnout dibandingkan dengan pekerjaan lain (Johnson et al., 2005).
Teacher burnout merupakan salah satu penyebab guru mengalami kecemasan. Teacher burnout merupakan masalah psikologis yang dialami seorang guru sebagai respons terhadap stres yang tinggi dari pekerjaan, kelelahan emosional, depersonalisasi, dan turunnya prestasi dalam diri. Dengan tuntutan yang besar, seorang guru seringkali merasa lelah secara emosional dan merasa cemas akan kinerjanya. Apalagi guru juga dituntut memiliki dorongan yang tinggi dalam membantu orang lain dan harus menangani masalah murid di sekolah, serta berkomunikasi dengan orang tua murid.
Sebuah survey pada 122 guru di Australia menemukan sekitar 18% guru mengalami gejala depresi sedang hingga berat, sekitar 62% mengalami gangguan kecemasan sedang hingga berat dan sekitar 19,75% mengalami gangguan kecemasan berat (Stapleton, 2019). Dari survei tersebut menunjukkan bahwa guru merasa khawatir akan keselamatan dan kesejahteraan mereka saat bertugas di sekolah. Hal ini tentu saja mengkhawatirkan, mengingat peran penting guru dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
Banyaknya guru yang dipenjarakan karena menengur, menghukum, dan manasehati siswa dewasa ini menjadi isu krusial dalam dunia pendidikan. Mengapa kasus ini bisa terjadi?
Faktor PenyebabÂ
Ada beberapa faktor yang mungkin menjadi penyebab terjadinya kasus ini antara lain; Pertama interpretasi hukum yang berbeda. Batasan antara disiplin dan kekerasan. Terkadang, garis antara tindakan disiplin yang wajar dan kekerasan fisik atau verbal sulit ditentukan. Perbedaan interpretasi antara guru, orang tua, dan pihak berwajib dapat memicu konflik. Perubahan norma sosial. Pandangan masyarakat terhadap tindakan disiplin di sekolah telah berubah seiring waktu. Apa yang dianggap wajar di masa lalu mungkin tidak lagi diterima saat ini.
Kedua dinamika hubungan guru-murid. Komunikasi yang kurang efektif: Komunikasi yang tidak efektif antara guru dan murid seringkali menjadi pemicu utama terjadinya kesalahpahaman dan konflik yang berujung pada situasi yang tidak diinginkan. Konflik pribadi. Adanya konflik pribadi antara guru dan murid atau orang tuanya dapat memperparah situasi.
Ketiga tekanan sosial media; a) Viralitas informasi. Informasi mengenai kasus ini dapat dengan cepat menyebar melalui media sosial, seringkali tanpa konfirmasi yang akurat. Hal ini dapat memicu opini publik yang terpolarisasi dan tekanan terhadap pihak-pihak yang terlibat, b) Kelemahan sistem hukum. Proses hukum yang panjang dan rumit. Proses hukum yang panjang dan rumit dapat membuat guru merasa tidak pasti dan rentan terhadap tuntutan hukum, dan c) kurangnya perlindungan hukum bagi guru. Meskipun secara hukum guru dilindungi, dalam praktiknya seringkali sulit untuk membuktikan bahwa tindakan mereka dilakukan dalam rangka menjalankan tugas.
Tantangan Hukum yang Dihadapi Guru
Dari beberapa kasus, menunjukkan bahwa masih ada kesenjangan dalam pemahaman dan penerapan undang-undang yang melindungi guru dan anak-anak. Â Ada beberapa hal yang mungkin menjadi penyebabnya antara lain; a) Kurangnya sosialisasi hukum: Banyak guru dan orang tua yang belum memahami secara mendalam hak dan kewajiban mereka sesuai dengan undang-undang., b) Perbedaan kepentingan. Terkadang, kepentingan guru dan orang tua dapat saling bertentangan, sehingga sulit untuk mencapai kesepakatan., c) Kurangnya koordinasi antar Lembaga. Lembaga-lembaga terkait, seperti sekolah, kepolisian, dan dinas pendidikan, belum bekerja sama secara efektif dalam menangani kasus-kasus seperti ini.
Bagaimana Solusinya?
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan upaya bersama dari berbagai pihak, antara lain; a) Peningkatan kualitas pendidikan guru. Guru perlu diberikan pelatihan yang memadai mengenai manajemen kelas, komunikasi efektif, dan perlindungan anak, b) Sosialisasi hukum. Undang-undang yang terkait dengan pendidikan dan perlindungan anak perlu disosialisasikan secara luas kepada guru, orang tua, dan masyarakat, c) Penguatan sistem perlindungan anak. Sistem perlindungan anak perlu ditingkatkan agar kasus kekerasan terhadap anak dapat ditangani secara cepat dan tepat, d) Penyempurnaan peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pendidikan dan perlindungan anak perlu terus dievaluasi dan diperbaiki, dan e) Peningkatan kerjasama antar Lembaga. Lembaga-lembaga terkait perlu bekerja sama secara efektif untuk mencegah dan menangani kasus kekerasan di sekolah.
Saat kita ikut terlibat dalam kampanye perlindungan guru dan anak, atau memberikan dukungan kepada organisasi yang bergerak di bidang pendidikan. Melalui kampanye perlindungan anak dan guru, kita berharap kasus-kasus serupa tidak terjadi lagi, Pendidikan adalah investasi masa depan yang luar biasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H